"... Perkenalkan nama saya Ani, pimpinan jurusan perhotelan, dan di samping saya ini..pimpinan jurusan katering, dan disampingnya lagi...pimpinan jurusan wedding organizer." kata pembawa acara tersebut.
Dewi tidak bisa fokus ke semua kata yang diucapkan oleh pembawa acara tersebut, tapi dia bisa dengan tegas menarik satu kesimpulan. Jadi sekolah ini memang dipimpin oleh guru-guru muda. Bukan guru-guru senior.Â
Alih-alih mendengarkan pembawa acara tersebut, Dewi justru merenung mengamati orang-orang yang ada di depannya itu. Ah, inilah perbedaan antara sekolah swasta dan negeri. Kalau sekolah swasta dipimpin oleh tenaga-tenaga yang muda dan energik seperti ini. Dan ih, ada Chinese-nya lho, sorry, bukan rasisme, hanya sebuah kekaguman. Chinese biasanya lebih tertarik ke dunia bisnis daripada dunia pendidikan. Dan ini, oke...
Kembali lagi, sedangkan sekolah negeri dipimpin oleh...haha..aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku, nanti kualat. Tapi ya intinya begini, kalau negeri itu dipimpin oleh orang-orang yang memang sudah matang, sudah senior, sudah berpengalaman, dan sudah dewasa dalam mengambil keputusan.
Tapi tentu saja ada plus minus dalam hal ini. Untuk sekolah swasta, yang dipimpin oleh orang-orang muda seperti mereka, bahkan aku yang termasuk yang paling muda di rombonganku, masih sedikit lebih tua daripada mereka, pasti mereka berani mengambil keputusan yang beresiko. Darah muda, dan jiwa muda kan ya, pasti begitulah, punya ide dan gagasan yang cemerlang, tinggal minta ACC lalu bisa langsung dijalankan. Sukses dan gagal urusan nanti, yang penting diuji coba dulu. Kalau sukses ya keren..bagus..dapat pujian..dapat keuntungan. Kalau gagal ya..paling tidak sudah dicoba. Jadi sekolah perkembangannya sangat cepat, layaknya bisnis.
Tapi kalau sekolah negeri, yang mengambil keputusan adalah para orang yang sudah matang, sudah dewasa, dan segala sesuatunya dipikirkan dengan masak-masak. Apalagi sekolah negeri sering terkendala dengan keuangan. Ini menyebabkan banyak ide yang terkubur dengan tenang dan rapi sebelum dijalankan. Jadi jangankan mencicipi dan menikmati keberhasilan dari ide tersebut. Diterima saja belum tentu.Â
Hmm..Dewi tersenyum sendiri lagi, lagi, dan lagi memikirkan masalah tersebut. Meski demikian ia mulai merasa ngantuk, sangat ngantuk.
Dewi menunduk dan menutup mulutnya rapat-rapat, karena menguap.Â
Semakin lama, rasa kantuknya semakin berat. Jadi, jangankan dapat mendengarkan penjelasan orang-orang yang ada didepannya dengan jelas, bahkan dia justru merasa seperti didongengi..
Klotak..! Dewi kaget dan refleks menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ternyata sebuah pulpen milik rekan Dewi yang senior, yang lelaki, terjatuh. Senior itu sendiri kaget, yang menandakan bahwa senior tadi juga terkantuk-kantuk.Â
Dewi tertawa sendiri, merasa lebih segar sedikit, namun setelah itu mengantuk lagi.