Mohon tunggu...
Diana NovitaPermataSari
Diana NovitaPermataSari Mohon Tunggu... Guru - Guru/Pendidik

Menjadi pendidik di salah satu sekolah menengah kejuruan Negeri. Hobi utama membaca, sekarang sedang giat berlatih menulis, dan sangat suka jalan-jalan, kadang kulineran, dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memang Bukan Dewi Persik

21 Juli 2023   11:59 Diperbarui: 21 Juli 2023   12:01 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pria yang mengenakan sandal selop, celana jeans, kaos putih, dan menggendong ransel warna hitam itu tersenyam-senyum, mengamati sambil berjalan mendekati seorang wanita.

Seorang wanita yang dimaksud adalah seorang wanita mungil yang sedang duduk di tempat duduk dari semen di bawah pohon besar. Wanita itu mendekap tas ranselnya yang juga mungil berwarna hitam dan menatap ke tanah yang ada di depannya. Seolah mengantuk, tetapi juga seolah termenung melamun. Seperti seorang hantu yang sedang menunjukkan wujud cantiknya, tapi juga seperti seorang dewi yang kesepian yang ditinggal oleh teman-temannya.

Di malam hari, dengan beberapa jarak, wajahnya mungil, hidungnya mancung kecil, bibirnya alami tanpa pemerah bibir, meskipun sedang menunduk garis matanya cukup panjang menunjukkan matanya cukup besar seperti mata gadis-gadis dalam serial komik, alisnya melengkung baik seperti bulan sabit di tanggal satu.

Wanita itu sendiri mengenakan gaun putih panjang, dengan hiasan brokat putih di sisi-sisinya. Sebuah jilbab warna coklat susu. Dan sepatu kets warna putih. Karena kecilnya badannya, meskipun ia duduk di kursi yang cukup rendah, kakinya masih menggantung. 

Dia sendiri duduk sambil memukul-mukulkan kakinya ke kursi semen di belakangnya secara berirama, entah sedang menghalau kantuk, atau entah sedang bersenandung kecil di dalam hatinya.

Tapi di bawah pohon besar, dengan pakaian seperti itu, jam 02.30 pagi, adalah sesuatu yang menakutkan bagi sebagian orang. 

"Dewi... kamu masih ngantuk? Apa lagi bingung jalan?" tanya pria itu sambil tersenyum, ketika posisinya sudah dekat dengan Dewi.

"Kamu duduk di sini sendirian, jam segini, akan membuat orang takut. Kenapa tidak kembali ke bis saja, atau menyusul rekan-rekan ke dalam masjid?" tanya pria itu lagi.

Wanita yang dipanggil Dewi itu, yang tadi duduk menunduk, mendongakkan kepalanya, lalu tersenyum manis kepada pria tersebut. Hari memang masih gelap, tetapi lampu-lampu kuning di taman, di depan masjid yang megah dan besar itu mengelilingi mereka. Di bawah lampu kuning itulah, Dewi nampak manis, layaknya seorang dewi, namun masih ngantuk, namun juga masih seperti seorang anak kecil.

"Aku tidak ngantuk, hanya aku sedang mengumpulkan nyawa, Win." kata Dewi, masih sambil tersenyum kepada pria yang dipanggil Win itu, yang nama sebenarnya adalah Erwin.

"Kalau masih mengantuk jangan duduk di sini, sana loh, masuk sana. Rekan-rekanmu sudah pada masuk ke sana, tempat wudhu khusus wanita..!" suara seseorang lagi sambil melentangkan tangan kanannya, menunjukkan tempat wudhu wanita. Karena memang tak lama setelah kedatangan Erwin, dua teman Erwin juga datang mendekati mereka. Seorang bernama Ilham, berbadan cukup tinggi dan agak berisi, mengenakan kaos putih, celana jeans, dan menggendong tas ransel besar warna hitam. Dan seorang lagi bernama Panji yang tinggi seperti Ilham, hanya memiliki badan lebih kurus, mengenakan kaos hitam, celana jeans, dan juga menggendong tas ransel warna hitam.

"Kenapa sih dia, ngantuk apa bingung?" tanya Panji pada Ilham.

Dewi tersenyum lagi masih dalam suasana bangun tidurnya, "Aku tidak ngantuk, juga tidak bingung... Tapi baiklah, aku akan menyusul kesana!" kata Dewi akhirnya, segera berdiri dan meninggalkan gerombolan cowok tersebut. 

Sambil berjalan, Dewi merasa kesal, karena dia memang sengaja ingin duduk santai di depan masjid tersebut terlebih dahulu, menunggu waktu hingga agak siang sedikit. Menunggu rekan-rekannya sholat terlebih dahulu, karena dia memang sedang tidak sholat. 

Tapi ya sudahlah, jam segitu di depan masjid, dikelilingi segerombol cowok juga tidak pantas, meski mereka teman sendiri.

Sampai di depan masjid, Dewi segera melepas sepatu ketsnya sambil berdiri dengan satu kakinya. Badannya sempoyongan, karena hanya berdiri dengan satu kakinya. Setelah itu, ia melepas sepatu yang satunya lagi.

"Itu, taruh di situ sepatunya!" perintah Ilham lagi sambil menunjuk kotak-kotak kayu penyimpan sepatu yang terletak di samping kiri tempat mereka berdiri. 

Dewi kaget, karena tiga lelaki itu juga tiba-tiba sudah berada di belakangnya lagi 

"Iya.." kata Dewi sambil tersenyum ramah kepada tiga pria itu, demi menjaga kenyamanan, situasi, dan kondisi. Bagaimanapun, jauh di depan mereka, berjarak sekitar tiga meter, ada dua orang satpam yang berbadan tinggi besar, mengenakan seragam hitam, yang sedang mengamati mereka. Jadi Dewi tidak ingin banyak berdebat saat dipandangi satpam itu. 

Tapi tanpa diketahui tiga lelaki itu, Dewi tertawa sendiri tanpa suara. Dia tadi memang niat tidak akan meletakkan sepatu ketsnya di rak sepatu. Dia akan meletakkannya di situ saja. Itu karena sudah ada dua atau tiga pasang sepatu yang tergeletak di situ, yang memberinya inspirasi untuk juga ikut meletakkannya di situ.

"Itu, arah wudhu wanita ke sana!" kata Ilham lagi, melentangkan tangan kanannya lagi menunjuk arah wudhu wanita.

"Baik, siap!" kata Dewi lagi, sambil tersenyum. Dewi segera menyimpan sepatu ketsnya di rak sepatu, lalu segera memasuki ruangan. 

Ketika melewati kedua satpam tersebut, Dewi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Yang dibalas dengan senyum ramah dan anggukan kepala sang satpam.

Setelah sampai di toilet dan sekaligus tempat wudhu, Dewi mengamati rekan-rekan kerjanya yang semuanya adalah seniornya,

"Kok tidur kayak orang mati sih, Mba, rekan-rekannya sudah turun semua, sudah dibangunkan juga, Mba Dewi masih diam saja, tetap tidur di atas bis. Ya sudah kami tinggal saja! Biasa bangun siang ya?" tanya bu Yuna, senior Dewi, yang baru selesai berganti pakaian, sambil menatap Dewi dengan lirikan tidak sukanya.

Meskipun sudah senior, dalam kondisi santai atau tidak terlalu formal, seseorang biasanya tetap memanggil dengan awalan 'Mba' kepada juniornya, dengan alasan, katanya mengajari siswa-siswi untuk menyapa dengan sapaan hormat.

"Saya dengar Ibu membangunkan saya, hanya saja saya sedang tidak sholat, jadi saya pikir untuk apa juga saya buru-buru bangun..?" kata Dewi membela diri jengah, ditatap oleh sekitar sepuluh pasang mata wanita di tempat tersebut. Tatapan mata yang menghakimi dan menyalahkan. Seolah paling junior sendiri, tapi juga paling membuat kesalahan sendiri.

"Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting sekarang sudah berada di sini. Kami tadi khawatir kamu akan ketinggalan agenda rombongan, dan terlambat, dan sebagainya.." kata bu Rinda, yang lebih senior dari bu Yuna, sambil tersenyum ke arah Dewi. Yang membuat semua pasang mata yang tadi menghakimi dan menyalahkan Dewi, sekarang tenang dan tidak tegang, pun mulai ada yang tersenyum kepada Dewi.

"Ayo, segera mandi!" perintah bu Ita, yang berusia sekitar empat atau lima tahun lebih tua dari Dewi, sambil tersenyum.

Dewi tersenyum sambil mengangguk ke bu Ita. Ia lalu berjalan akan meletakkan tasnya di atas wastafel, sambil mengamati semua wanita yang menjadi rekan kerjanya. Semua sudah mandi, meski masih ada beberapa yang masih berganti pakaian, tapi sisanya sudah mulai menggunakan tata rias.

"Ini kita udah mau pada selesai, kamu mau ditinggal apa gimana? Berani nggak sendirian di tempat ini?" tanya bu Ita sambil mengoleskan lipstik di bibirnya.

"Berani Bu, ditinggal saja tidak apa-apa, toh sedang tidak solat!" kata Dewi lagi sambil tersenyum.

Dewi mengeluarkan sikat dan pasta giginya sambil merenung, sudah memutuskan untuk tidak ikut bersama ya berarti berani, termasuk konsekuensi sendirian di kamar mandi.

"Kami ke atas dulu ya.." kata bu Ita lagi sambil tersenyum.

"Ya.." kata Dewi sambil tersenyum lagi.

Tak lama setelah rekan-rekan senior Dewi keluar, masuk dua orang bergamis dan berjilbab besar berwarna hitam. Mereka mengangguk dan tersenyum kepada Dewi.

Dewi membalas anggukan tersebut, ini tempat umum dan tempat ibadah, pasti ramai, kenapa juga tidak berani, pikir Dewi lagi.

*

Selesai bersih-bersih diri, Dewi segera naik tangga menyusul rekan-rekannya kerjanya ke lantai atas, ke tempat sholat.

Sampai di lantai atas, Dewi tersenyum senang melihat desain masjid itu. Sebagian dindingnya dibiarkan masih terbuka, sehingga orang yang sholat bisa melihat warna langit secara langsung.

Dewi duduk di bagian paling belakang, sambil menunggu rekan-rekannya tersebut mau sholat.

"Nggak sholat kan ya? Minta tolong tas-tas kami sambil dijagain ya?" kata Bu Ita lagi.

Dewi tersenyum sambil mengangguk. Tuh kan, aku tetap menunggu juga, pikir Dewi. Tapi tak apa-apa di sini aku bermanfaat, bisa menjaga barang rekan-rekan, pikir Dewi lagi.

Setelah sholat subuh, mereka segera menuruni tangga, dan keluar dari masjid. 

Alih-alih kembali ke bis untuk tidur lagi, rombongan tersebut memilih menunggu waktu sambil duduk-duduk di taman masjid. Menikmati bekal sisa dari bis, atau memesan kopi dan teh hangat di kantin-kantin di depan masjid. Dan mereka pikir memang itulah yang terbaik bagi mereka, daripada tidur lagi setelah subuh, meskipun mata sebenarnya juga sangat ingin dipejamkan lagi.

Sambil menahan kantuk dan hawa dingin, Dewi yang duduk di salah satu serambi kantin di depan masjid bersama beberapa rekannya, lebih tertarik mengamati pemandangan di depan dan sekeliling masjid itu, daripada mendengarkan obrolan rekan-rekannya. 

Masjid itu dibangun di atas tanah yang cukup luas, sehingga memiliki taman yang luas. Pohon-pohon juga ditanam di sekeliling masjid, sudah besar-besar, dan mungkin sudah berumur puluhan tahun. Dan pagi itu, begitu indahnya, karena angin bertiup sepoi-sepoi, menggugurkan daun-daun dari pohon-pohon yang besar itu. Tanpa sadar Dewi tersenyum, sejenak, ia merasa bagai hidup di negara empat musim di kala musim gugur, seperti yang ia lihat di TV-TV atau di YouTube-YouTube. 

Setelah puas mengamati pemandanan sekelilingnya, Dewi mengalihkan pandangannya, mengamati mejanya dan akan mengambil donatnya, karena merasakan perutnya lapar.

"Donatnya siapa ini?" tanya Bu Anin.

"Saya Bu" jawab Dewi.

"Kumakan dulu ya, nanti di bis kuganti." kata Bu Anin lagi, sambil mengambil donat yang ada di depannya itu, membukanya, lalu menyantapnya.

Dewi tertawa hingga memperlihatkan gigi-giginya, meski tanpa suara, sambil menganggukkan kepalanya dengan mantap. Ia lalu mengalihkan pandangannya lagi ke pemandangan sekitar. Meski demikian, ia masih sempat memikirkan donat tersebut. 

Dia sangat menginginkan donat itu, itulah kenapa dia lebih membawa donat itu dari bisnya, daripada makanan yang lain. Lagipula di saat yang sama, bangun sepagi itu membuatnya lebih merasa kelaparan, jadi donat adalah makanan yang cocok untuk itu. 

Dewi tertawa sendiri lagi, hanya ada dua kemungkinan tentang donat itu. Kemungkinan pertama senior tersebut lupa menggantinya dan Dewi akan berani meminta. Kemungkinan kedua senior tersebut lupa dan Dewi tidak berani memintanya. Dan kemungkinan kedualah yang paling mungkin.

"Lapar sih memang ya? Mas, ada makanan apa saja di sini Mas?" suara Pak Rudi, salah satu senior Dewi, yang suaranya menarik perhatian Dewi.

Dewi menengok ke arah Pak Rudi, dan Pak Rudi sedang melambaikan tangan dan memberi kode kepada pramusaji agar pramusaji itu mendekat kepadanya.

Pramusaji itu mendekat kepadanya, "Baru ada nasi goreng, nasi kuning, dan bubur ayam." kata Pramusaji.

Dan tawaran pramusaji itu pun disambut dengan penuh suka cita oleh orang-orang yang ada di situ. Dan nasi goreng menjadi pilihan favorit utama. 

Dewi sendiri juga akhirnya memesan nasi goreng, meskipun akhirnya hanya dihabiskan setengahnya, harapan perutnya menyantap sesuatu yang manis, tapi yang didapatkan adalah makanan yang asin.

"Mari kita lanjutkan perjalanan." kata kepala sekolah akhirnya. "Sudah hampir jam 08.00 ini, waktu yang tepat untuk melanjutkan perjalanan kita." kata kepala sekolah lagi, yang bangkit dari kursinya, lalu diikuti anak buahnya.

*

Acara studi banding ke salah satu sekolah swasta di kota besar itu berjalan sesuai dengan dugaan Dewi. Hanya ada satu keganjilan yang mengganjal di mata Dewi, Dewi mengamati orang-orang yang menyambut mereka, adalah orang yang sangat muda-muda. Tapi kemudian Dewi berpikir, mungkin mereka adalah para asisten guru-guru senior.

Dewi pikir, orang yang akan menyambut dari sekolah tersebut adalah para guru yang sudah senior, yang sudah berumur, yang sebagian rambutnya sudah beruban, yang kulit tangannya sudah berkeriput, dan yang sudah mengenakan kacamata tebal. Ya paling tidak, lebih senior-senior daripada guru-guru dari sekolahnya. Karena sekolahnya lebih muda daripada sekolah yang akan dikunjungi itu, jadi wajar jika dalam bayangannya yang menyambut adalah para guru yang lebih senior daripada di sekolahnya.

Dewi mulai berpikir, mungkin para guru seniornya sedang ada acara, jadi sambil menunggu yang menyambut adalah guru juniornya dulu, atau guru seniornya sudah menunggu di dalam, menyiapkan materi, dan lain-lain.

"Selamat datang Bapak-Ibu di sekolah kami..." kata pembawa acara, yang merupakan salah satu guru muda, yang tadi menyambut mereka di luar.

Dewi memandang sekeliling, tapi tidak ada satu pun guru senior di ruangan itu. Pun tidak ada satu, atau dua, atau tiga guru senior yang muncul untuk datang ke ruangan itu, muncul belakangan, setelah semuanya siap.

"... Perkenalkan nama saya Ani, pimpinan jurusan perhotelan, dan di samping saya ini..pimpinan jurusan katering, dan disampingnya lagi...pimpinan jurusan wedding organizer." kata pembawa acara tersebut.

Dewi tidak bisa fokus ke semua kata yang diucapkan oleh pembawa acara tersebut, tapi dia bisa dengan tegas menarik satu kesimpulan. Jadi sekolah ini memang dipimpin oleh guru-guru muda. Bukan guru-guru senior. 

Alih-alih mendengarkan pembawa acara tersebut, Dewi justru merenung mengamati orang-orang yang ada di depannya itu. Ah, inilah perbedaan antara sekolah swasta dan negeri. Kalau sekolah swasta dipimpin oleh tenaga-tenaga yang muda dan energik seperti ini. Dan ih, ada Chinese-nya lho, sorry, bukan rasisme, hanya sebuah kekaguman. Chinese biasanya lebih tertarik ke dunia bisnis daripada dunia pendidikan. Dan ini, oke...

Kembali lagi, sedangkan sekolah negeri dipimpin oleh...haha..aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku, nanti kualat. Tapi ya intinya begini, kalau negeri itu dipimpin oleh orang-orang yang memang sudah matang, sudah senior, sudah berpengalaman, dan sudah dewasa dalam mengambil keputusan.

Tapi tentu saja ada plus minus dalam hal ini. Untuk sekolah swasta, yang dipimpin oleh orang-orang muda seperti mereka, bahkan aku yang termasuk yang paling muda di rombonganku, masih sedikit lebih tua daripada mereka, pasti mereka berani mengambil keputusan yang beresiko. Darah muda, dan jiwa muda kan ya, pasti begitulah, punya ide dan gagasan yang cemerlang, tinggal minta ACC lalu bisa langsung dijalankan. Sukses dan gagal urusan nanti, yang penting diuji coba dulu. Kalau sukses ya keren..bagus..dapat pujian..dapat keuntungan. Kalau gagal ya..paling tidak sudah dicoba. Jadi sekolah perkembangannya sangat cepat, layaknya bisnis.

Tapi kalau sekolah negeri, yang mengambil keputusan adalah para orang yang sudah matang, sudah dewasa, dan segala sesuatunya dipikirkan dengan masak-masak. Apalagi sekolah negeri sering terkendala dengan keuangan. Ini menyebabkan banyak ide yang terkubur dengan tenang dan rapi sebelum dijalankan. Jadi jangankan mencicipi dan menikmati keberhasilan dari ide tersebut. Diterima saja belum tentu. 

Hmm..Dewi tersenyum sendiri lagi, lagi, dan lagi memikirkan masalah tersebut. Meski demikian ia mulai merasa ngantuk, sangat ngantuk.

Dewi menunduk dan menutup mulutnya rapat-rapat, karena menguap. 

Semakin lama, rasa kantuknya semakin berat. Jadi, jangankan dapat mendengarkan penjelasan orang-orang yang ada didepannya dengan jelas, bahkan dia justru merasa seperti didongengi..

Klotak..! Dewi kaget dan refleks menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ternyata sebuah pulpen milik rekan Dewi yang senior, yang lelaki, terjatuh. Senior itu sendiri kaget, yang menandakan bahwa senior tadi juga terkantuk-kantuk. 

Dewi tertawa sendiri, merasa lebih segar sedikit, namun setelah itu mengantuk lagi.

Namun baru saja Dewi hampir hilang kesadarannya karena mengantuk, dia tidak sengaja menangkap, rekan yang seniornya lagi, yang lelaki, yang duduk di depannya kiri sedikit, juga baru saja tersentak kaget. karena mungkin terkantuk-kantuk dan hampir tertidur. Nah, ketika mau menyandarkan kepalanya ke sesuatu di belakangnya, karena tidak ada sesuatu yang menjadi sandaran, akhirnya kaget. 

Dewi tersenyum lagi, dan merasa lebih segar lagi.

Presentasi para guru muda di depan terus berlanjut, tetapi Dewi juga tidak dapat memahaminya dengan jelas, karena mengantuk. 

Glotak..! Kembali lagi Dewi kaget dan refleks melihat ke arah sumber suara. Ternyata sebuah tempat pensil milik rekan Dewi yang senior, bu Anin, jatuh juga. Bu Anin sendiri juga barusan kaget.

Ini membuat Dewi dan semua orang yang mengantuk kaget lagi. Dewi tersenyum lagi, dan kali ini tertawa, meskipun tanpa suara. Kali ini dia benar-benar merasa segar.

Dewi mengamati semua rekannya itu. Ada sekitar 20 orang rekan di ruangan ini. Dan semuanya mengantuk. Dewi menyunggingkan tawa lagi sambil menunduk. Tidak bisa menyalahkan. Semua orang bangun jam 02.30. Lalu mandi. Lalu melakukan ritual sholat subuh dan sebagainya. Lalu hingga menjelang perjalanan mereka menuju tempat ini, tidak tidur sama sekali. Lagi pula semalam sebelum bangun jam 02.30, mereka istirahat di bis yang sedang berjalan, bisa dibayangkan kan, tidur di atas bis? Tidur tapi terasa tidak tidur. Tidak tidur tapi sebenarnya juga tidur.

Merasa segar, Dewi akhirnya bisa menyimak dengan jelas presentasi di depan.

Sesi tanya jawab pun dimulai. Meski tadi beberapa rekan sangat mengantuk dan mungkin beberapa sempat tertidur, tapi sesi tanya jawab pun tetap berlangsung dengan baik. Hampir semua rekan Dewi menanyakan hal-hal yang perlu ditanyakan kepada sekolah tersebut, menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

Sesi tanya jawab dibuka lagi, dan Dewi juga mengangkat tanganya. Semua pandangan sekarang beralih ke Dewi.

"Baik, saya ingin bertanya, mungkinkah kami bisa bekerja sama dengan sekolah ini? Misal, karena kami memiliki produk yang bagus, mungkinkah produk tersebut dapat dikirim ke sini, digunakan untuk welcome snack-nya hotelnya sekolah ini, misalnya?" tanya Dewi.

Para senior Dewi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun, para pemimpin muda di depan mereka itu berpikir sejenak..tapi mungkin demi etika, demi keramahan-tamahan, dan demi menghormati, mareka akhirnya menjawab. "Oh ya, sangat mungkin. Silakan..silakan..!" kata mereka. 

"Baik.." kata Dewi sambil tersenyum.

Masih melanjutkan senyumnya, Dewi menunduk. Dewi menyadari itu, sekolah Dewi dari udik, dan sekolah negeri lagi, sepertinya cukup beralasan jika sekolah swasta itu ragu menerima produk dari sekolahnya. Haha..dan memang begitulah adanya, tawa Dewi dalam hati.

*

Dewi yang sudah berganti mengenakan pakaian santai, mengenakan celana kain warna coklat, kaos putih, jilbab coklat susu, dan sepatu kets warna putihnya, duduk di atas rumput, di salah satu sudut lapangan, di bawah pohon sambil merenung menatap luas hamparan rumput yang ada di depannya. Ia duduk di situ sedang menemani dan menunggui Bu Rinda yang sedang sholat.

Lands Plantentuin te Buitenzorg atau Kebun Raya Bogor. Konon katanya kebun ini dirintis oleh seorang bangsawan Inggris, Sir Stamford Raffles, yang sayangnya dia adalah seorang penjajah dan sekaligus seorang penjarah. Penjarah harta kekayaan keraton kesultanan Yogyakarta. Menjarah berset-set perangkat wayang kulit, alat musik gamelan, uang ribuan dolar Spanyol, dan jejak yang paling hitam adalah menjarah ribuan naskah kuno atau buku-buku karya dari Kesultanan Yogyakarta, yang karena buku itulah, kata sejarawan lain, sebagai salah satu penyebab bangsa Indonesia ini kehilangan jati dirinya. 

Ah.. tapi sama dengan sekolah swasta dan negeri tadi, segala sesuatu itu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Itulah negatifnya dia, tapi positifnya dia adalah perintis Kebun Raya Bogor ini. Kebun seluas 47 hektar ini.

Memang di kebun raya inilah, orang bisa merasakan kenyamanan berisitirahat dan tinggal sejenak di lingkungan hijau, setelah hiruk-pikuk berurusan dengan dunia luar. Orang bisa menyedot dan menyimpan banyak-banyak suplai oksigen yang melimpah, setelah setiap harinya menyedot polusi udara yang berisi karbondioksida dan logam-logam berat. Orang bisa mengobati mata mereka dengan pemandangan hijau yang sejauh mata memandang memang hijau, setelah sehari-hari matanya digunakan untuk mengamati warna abu-abu bangunan gedung-gedung pencakar langit dan laptop-laptop. Orang tua bisa mengenalkan berbagai macam jenis tumbuhan kepada anaknya, yang tentu saja jika orang tua itu tidak fokus kepada gawainya dan mau senang hati menjelaskan tumbuhan ini dan itu kepada anaknya. Sayangnya, orang tua bawa gawai sendiri dan anaknya bawa gawai sendiri, lalu keduanya sibuk berselfi dan membagikannya ke grup media sosial masing-masing. Tapi tidak apa-apa, itu juga masih ada dampak positifnya. Dampak positifnya mereka memamerkan sesuatu yang baik tentang Kebun Raya Bogor ini. Tentang...

"Kenapa kamu melamun di sini, Dewi?" tanya suara seseorang dari belakang Dewi, yang Dewi mengenalinya sebagai suara Erwin. Dewi menolehkan kepalanya. Memang benar, itulah Erwin. Dewi tersenyum.

Erwin lalu ikut duduk di belakang Dewi, tetapi dia menghadap ke arah barat sedang Dewi ke arah Utara. Sehingga mereka seperti sedang duduk beradu punggung jika dilihat dari kejauhan, walaupun jika didekati kenyataannya tidak.

"Aku tidak melamun.." kata Dewi sambil tersenyum.

"Oh ya? Tidak melamun? Aku duduk di sini sejak lama. Hampir bersamaan sejak kamu datang menemani Bu Rinda. Tapi kamu tidak menyadariku sama sekali, itu yang namanya tidak melamun?" tanya Erwin lagi. "Melamuni siapa? Mantan?"

"Oh ya, selama itu..? Oh tidak, tidak.." tanya Dewi sambil menatap Erwin dengan berbinar, merasa tertangkap sedang melakukan sesuatu, tapi juga tidak ingin mengakuinya.

"Halo..sedang pada apa?" tanya kepala sekolah, sebelum Erwin membalas kata-kata Dewi.

"Eh, ini...santai ini Pak." kata Dewi dan Erwin, hampir bersamaan, refleks. 

"Baguslah kalau memang pada bisa menikmati santai. Karena itulah tujuan saya. Mengajak mampir ke Kebun Raya Bogor ini setelah studi banding, agar bisa bersantai sejenak.

Eh ngomong-ngomong pertanyaan yang kamu ajukan bagus tadi. Siap ya Dewi, jadi pemimpin perusahaan sekolah. Mewujudkan cita-cita saya, memiliki sekolah yang memiliki perusahaan sendiri, sehingga suatu saat nanti punya dana mandiri?" tanya kepala sekolah, sambil tersenyum kepada Dewi.

Erwin menatap kepala sekolah, lalu menatap Dewi. Pertanyaan itu terasa sangat ringan dilontarkan, tetapi akan sangat berat dilaksanakan.

Dewi tersenyum sopan kepada kepala sekolah tersebut. Dewi menenunduk sejenak sambil tetap tersenyum, seolah sedang berpikir, seolah juga sedang menertawakan sesuatu. Ia lalu menegakkan kepalanya lagi. "Mau dibawa kemana, mau dikembangkan seperti apa kalau semua pihak tidak mendukung, tidak akan berjalan. 

Untuk mewujudkan cita-cita Bapak, harus ada kontrak yang jelas terkait dengan gaji saya dan tentu saja harus menguntungkan kedua belah pihak, sesuatu yang menguntungkan akan membuat orang lebih berhati-hati menjalankan bisnis tersebut. Karena jika rugi, orang tersebut sendirilah yang akan rugi. Kedua, saya harus diberi kebebasan untuk mengatur perkembangan bisnis tersebut. Ketiga saya disediakan dana untuk segala uji coba membangun perusahaan tersebut, dana tersebut silakan diaudit. Dan keempat saya dijauhkan dari orang-orang yang menganggu perjalanan bisnis sekolah. Gimana Bapak?" 

Kepala sekolah mengamati Dewi dengan seksama, seolah tak percaya pada apa yang dikatakan Dewi, anak paling junior, dan kebetulan memiliki postur tubuh yang paling mungil itu, akan menjawab seperti itu. 

"Baik, itu terlalu sulit. Bagaimana kalau saya tidak mau?" tanya kepala sekolah, lebih terlihat seolah menggoda keyakinan Dewi.

"Kalau Bapak tidak mau, saya juga tidak mau mengelola." kata Dewi sambil tertawa.

"Anda berani menolak perintah saya berarti?" tanya kepala sekolah.

"Bukan menolak Pak, hanya kita tidak sepakat terhadap suatu perjanjian." kata Dewi lagi sambil tertawa.

"Baiklah..baiklah.." kata kepala sekolah menganggukkan kepalanya. "Itulah alasan saya, kenapa saya mengajak Anda untuk ikut studi banding ini.

Dan saya akan sepakat dengan perjanjian kita. Selama saya masih di sekolah, saya akan menjamin bisnis itu berjalan lancar." kata kepala sekolah.

Dewi masih termenung seolah kaget, namun Erwin sudah ikut tersenyum, seolah ikut senang mendengar keputusan itu.

*

Satu tahun setelah studi banding, Dewi merenung di taman sekolah.

Bisnis sekolah berjalan dengan lancar selama setahun ini. Namun suatu kendala datang, setelah kepala sekolah dipindahtugaskan. 

Dewi sendiri akhirnya mengundurkan diri. Tidak ingin terlibat dalam hiruk-pikuk sekolah. Bisnis sekolah sekarang, dijalankan oleh adik angkatannya. 

Sekolah senantiasa berbenah. Pemerintah juga berusaha yang terbaik dengan menggilir kepala sekolah, dengan cara memindahkan kepala sekolah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Maka, proyek yang bagus harus ditinggalkan. Proyek yang buruk pun harus ditinggalkan. Ini tentu membawa dampak positif dan negatif bagi sekolah yang didatangi dan ditinggalkan.  

Benar saja jika beberapa sekolah swasta bisa lebih maju dari sekolah negeri. Banyak faktornya, salah satunya karena kepala sekolahnya. Di sekolah swasta, kepala sekolah dipilih oleh yayasan. Yayasan tinggal memilih dan menyeleksi kepala sekolah yang bagus dan visioner. Lalu kepala sekolah tersebut akan melaksanakan visinya itu hingga selesai dan tuntas.

Berbeda dengan sekolah negeri, belum selesai kepala sekolah menyelesaikan visinya, dia harus patuh mengikuti pemerintah untuk dipindahtugaskan.

"Kenapa melamun di sini?" tanya Erwin, yang badannya muncul tepat di depan pandangan Dewi.

"Sedang menikmati pemandangan. Aku jenuh di dalam kelas. Full hari ini, sepuluh jam. Jadi menyelinap ke sini untuk mencari angin segar." kata Dewi. 

"Sudah dapat anginnya?" tanya Erwin lagi sambil duduk di sebelah Dewi.

"Lumayan." kata Dewi.

"Kamu benar Wi, satu tahun sudah bisnis sekolah ini berjalan. Karena perjanjian yang kamu ajukan memang sudah tepat.

Namun sejak kamu mengundurkan diri, dan dipegang oleh adik angkatanmu itu, yang dia dengan gagah berani maju tanpa mengajukan persyaratan, bisnis sekolah berhenti total. Banyak masalah di sana-sini Kurang uang, kurang dukungan kebijakan, belum juga berhasil dapat laba, uangnya sudah diminta ini sekian persen, setoran ini sekian persen, bayar ini sekian persen..." kata Erwin.

Dewi tersenyum, meskipun matanya masih mengamati pemandangan yang ada di depannya. 

"Dia sudah mencoba, meskipun sekarang akhirnya percobaannya gagal karena banyak rintangan, tapi orang akan mengenang jasanya yang gagah berani menggantikan posisiku.

Sedangkan aku, bagi sekolah ini, oleh semua orang dianggap sebagai pecundang yang melarikan diri dari tugas." kata Dewi masih sambil merenung.

Erwin tersenyum. "Tapi kamu sudah begini..!" kata Erwin sambil mengacungkan ibu jarinya ke arah Dewi. 

Dewi menoleh sebentar, tapi tidak merespon, lalu memandangi lagi pemandangan yang ada di depannya.

"Memang bukan Dewi Persik dia." komentar Erwin. 

Dewi lalu mendengar Erwin membuka suatu plastik pembungkus makan di sampingnya, ia lalu menolehkan kepalanya lagi.

"Wah, donat, mau dong!" kata Dewi sambil berbinar.

Erwin yang sedang menggigit donatnya bengong, "Mau?" tanyanya.

Dewi menganggukkan kepalanya dengan antusias.

Tidak ada pilihan lain, akhirnya Erwin membagi donatnya menjadi dua bagian, satu untuknya, dan satu lagi untuk Dewi.

Dewi menyantapnya dengan suka cita.

Di sisi lain, Erwin memandangi Dewi untuk waktu yang lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun