Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Be Part of Me

14 November 2019   09:15 Diperbarui: 14 November 2019   09:15 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

DIMAS

Raut muka gadis itu sangat masam. Aku tak mengerti mengapa sahabatku ini tiba-tiba tak seceria biasanya. 

"Nape muka lo kayak baju kusut gitu, Ren?"aku mencoba memecah keheningan cafe, karena hanya Reni dan aku yang datang sepagi itu.

Reni tak segera menjawab. Aku meliriknya. Mulutnya yang mungil itu terlihat sangat lucu bila mengerucut. Kudekati Reni dan aku berbisik, "Ada dhawuh apa, tuan Puteri meminta saya datang sepagi ini ke kedai?"

"Dim...coba bilang padaku, apa yang harus aku perbuat? Aku sudah bikin proposal sedemikian bagusnya. Dana sudah aku susun rapi, semua. Eh ternyata sama Ryu disuruh revisi lagi. Hhhhh, emang gampang? Dasar ketua suka maen perintah!!"

Aku hanya mendengarkan ia berkata-kata. Anehnya semua itu seperti alunan syair merdu yang kunantikan setiap waktu. Aku menyukainya saat ia marah. Seperti saat ini. Jarang kudengarkan semua kata-katanya. Aku lebih memilih melihat wajah manisnya.

Wajah manis yang selalu menghiasi setiap mimpiku, setiap anganku, dan wajah manis yang tak pernah mengerti bila aku selama ini menyukainya.

"Dimas....denger ga sih semua? Kenapa malah diem gitu sih. Ngomong apa kek, tanggepin apa kek...," teriak Reni dengan mata yang dilebarkan.

Sungguh suatu raut muka yang sebenarnya sangat lucu. Ingin rasanya aku menciumnya. Bibir mungil itu selalu memindahkan anganku kemana saja. 

Tiba-tiba, pandangannya segera beralih pada dinding cafe yang sengaja hanya dihias beberapa lukisan etnik Bali. Dan ia sudah sering melihat dinding itu.

Dan entah mengapa, sebentar ia melirikku, kemudian mengalihkan pandangan pada sepatunya.

Aku tak pernah mengerti mengapa sepatu dan dinding cafe lebih menarik baginya daripada melihatku.

"Ya, kan gampang. Tinggal revisi aja kok susah. Gitu aja kok repot," jawabku santai menirukan jargon pemimpin bangsa idolaku, Gus Dur.

"Ini harus maju ke meja Pak Wiyanto besok. Sementara hari ini aku ada janjian sama donatur acara itu, Dim. Gimana dong,"rengek Reni. 

Kulirik dia dan tersenyum simpul,"Nah, pasti mo minta bantuan lagi kan? Hhh dasar manja,"sahutku sambil kusentuh hidungnya yang agak mancung itu. 

Inginku, semua wajah itu kusentuh. Tapi, ah...entahlah. Segera kubuang pikiran itu jauh-jauh.

Reni tersenyum T-rex, matanya menyipit. 

Oh, rasanya ingin sekali kucium pipimu yang kini hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, Reniiiii.......

"Makasih, Dim... Ntar aku traktir makan siang yha, tapi kamu yang bayarin, yaaa....," ujarnya sambil menyerobot es cappucino milikku, sebelum pergi bersama motor matic-nya.

Sungguh gadis tergila yang pernah kujumpai dalam hidupku. Tapi aku suka. Lantas.... Mau apa? Mengalir pelan lagu You're Beautiful milik James Blunt di kepalaku,

My life is brilliant, my love is pure... I saw an angle, of that I'm sure

She smiled at me on the subway....she was with another man, but I won't lose, no sleep on that, 'cause I've got a plan...

You're beautiful, you're beautiful, you're beautiful, it's true...

I saw your face in a crowded place, and I don't know what to do, 'cause I'll never be with you....

RENI

Pagi ini aku memang sengaja menghubungi Dimas, sahabat kecil yang selalu bersedia kapan pun dan melakukan apa pun yang kuminta. 

Kami bertemu di Intuisi Cafe, yang dikelolanya sejak SMA dulu. Aku mengaguminya dari dulu. Dimas orang yang tekun.

Bisnis ini pun bukan satu-satunya bisnis yang dimilikinya sekarang. Ada satu resto lain dan satu studio foto di kota lain.

Aku mengenalnya dari sejak umurku 7 tahun. Saat itu ia satu-satunya teman laki-laki yang selalu membelaku, saat yang lain menggodaku.

Ya, aku mengaguminya, dari dulu hingga sekarang. Beda usia 5 tahun tak pernah menjadi halangan bagi kami untuk berteman.

Seperti pagi ini, biasanya ia tak pernah datang ke kedai kopinya sepagi ini. Tetapi karena aku yang memintanya, maka....

Ups! Ternyata ia sudah menungguku. 

Dan, ah. Dimas, jangan kau tersenyum... andai saja kau tahu jantungku selalu ingin melompat keluar, jika kau buatkan senyum itu...

"Hhhh, dasar Ryu," kuhempaskan tubuhku di sudut sofa cafe.

Aku diam. Sengaja memang. Aku ingin duduk dengan lelaki pujaanku ini. Bukan hanya aku. Ia adalah pujaan seluruh gadis kampus.

Aroma tubuhnya selalu membiusku. Aku menyukainya. 

"Kenapa cemberut begitu, Ren?" sapanya sambil membalikkan badannya ke arahku. 

Dan oh, kaos polo putih dan celana pendek santai yang dikenakannya membuat tubuh bidangnya sangat mempesonaku.

Dimas, andai saja kau tahu, aku tak ingin pergi dari tempatku sekarang. Ah, tapi kau hanya menganggapku sebagai teman. Kalau tidak, ....

Dalam sekejap pesona Dimas membuat kekesalanku pada Ryu teralihkan. Jantungku ini serasa ingin melompat saja. Aliran darahku terpompa sangat cepat. Kucoba alihkan pandanganku ke dinding cafe yang tiba-tiba menjadi lebih menarik dari pada wajah Dimas pagi itu.

Reni, kau harus bisa mengendalikan diri...

"Dim...proposal ku ditolak Ryu. Dasar Ryu ketua apaan. Masak aku sudah bikin proposal itu bagus-bagus, dananya udah ku bikin bagus, semua gambar kubuat menarik. Masih kurang aja....Hhhh," kembali wajah Ryu menghiasi kepalaku dan mendadak kekesalanku bertambah.

"Aku harus menyerahkan proposal ini ke meja Pak Wiyanto besok. Kau tahu kan Dim, padahal hari ini aku sudah ada janji dengan pimpinan perusahaan sponsor kami untuk acara itu. Gimana dong..," aku mencoba meminta bantuannya. 

Sengaja lagi? Memang iya. Bukan karena aku tak bisa merevisinya, tapi aku hanya ingin bertemu dengan Dimas. 

Dimas hanya terdiam, entah kemana suaranya. Mungkin hilang ditelan keberaniannya yang menatapku erat.

Oh, aku tak suka. Dadaku sesak. Aku hampir tak mampu bernafas. 

Dimas!!! Berhentilah menatapku. Kau membunuhku

Aku tak berani melihatnya. Kembali kulempar pandanganku ke arah kakiku yang berbalut flat shoes warna peach kesukaanku.

Dimaaaas!! Kumohon jangan tersenyum lagi....hentikan semua...

"Ya, kan tinggal revisi doang. Gitu aja kok repot," sahutnya melegakanku. 

Sesegera mungkin aku mengucapkan terimakasih tanpa kata-kata, dan berlari ke arah motor matic ku di halaman cafe. 

Kupacu motorku. Kulihat jam di tanganku, pukul 09:00. Mungkin terlalu pagi untuk mengunjungi kantor sebesar Andromeda Corp. Ryu hanya memberiku satu alamat ini.

Aku menunggu direktur yang namanya entah siapa. Yang pasti sekretarisnya sudah membuatkan kami janji untuk bertemu. 

Memasuki ruangan yang besar, sangat berkelas, bergaya aristokrat. Semua furniture yang berwarna hampir senada dengan warna coklat tua mengisyaratkan itu bukan ruang staff kantor biasa. 

"Silahkan duduk," ucap sekretaris cantik dengan tubuh seksi di bungkus rok mini berwarna hitam yang panjangnya hanya beberapa sentimeter di bawah pantatnya, dengan atasan blues biru muda yang membentuk lekuk tubuh sintal perempuan itu, tak lupa beberapa kancing atas blues yang sengaja tak dikancingkan, pemandangan yang menambah mual perutku. 

Terlebih saat aku menatap sepasang mata direktur yang umurnya tak jauh berbeda di atasku. 

Ia masih muda. Jas yang dikenakannya mungkin tak membuatnya terlihat tua. Namun dalam sekejap saja, guratan wajah yang terbilang tampan itu membuatku semakin ingin melarikan diri dari ruangan ini.

"Ren? Apa kabar?" sapanya.

Aku memang mengenalnya. Ia Alex. Seangkatan dengan Dimas. Ya, tentu saja aku mengenalnya dari Dimas. 

"Sheilla, tolong tinggalkan kami," ucapnya lagi. Perempuan seksi bernama Sheilla itu dengan muka masam tak segera meninggalkan ruangan.

"Jika masih ada yang diperlukan lagi, nanti tolong telfon saya, Pak Alex,"ucapnya lirih dengan tubuh didekatkan pada Alex. 

Kuputar bola mataku. Kelakuan ini. Dan rasanya tak aneh melihat Alex hanya tersenyum mengiyakan tawaran itu.

Alexander Atmaja mengambil tempat duduk di dekatku. Dan terpaksa aku bergeser ke samping kananku. 

" Maaf, Pak Alex. Saya kemari hanya untuk menyerahkan proposal acara dies natalis kampus," ucapku tanpa basa basi. Sungguh ruangan ber-AC ini tiba-tiba terasa semakin tak nyaman bagiku. 

"Sudahlah, Ren. Buat apa sih kamu sok formal gitu? Bukannya kita sudah saling kenal. Gimana kabarmu? Masih aktif di senat yha? Nanti makan siang bareng lagi, yuk?" sahut Alex ringan.

Mataku melotot padanya. Ingin kutampar pipi Alex seperti beberapa waktu yang lalu. Tapi, ah, untuk apa?

"Maaf, Pak Alex. Saya harus cepat-cepat pergi. Masih ada beberapa hal lain yang harus saya lakukan. Selamat siang,"

"Tunggu sebentar," tangan Alex menahanku. 

Pandangan matanya memang sangat mematikan. Dan siang ini aku tak mau jatuh pada bujuk rayunya seperti puluhan wanita yang sanggup antri hanya untuk berdekatan dengannya sepuluh menit saja.

Aku melepaskan pelan genggaman jemari Alex dari tanganku, "Alex, tolonglah," pintaku pelan.

"Ren, oke. Aku minta maaf. Malam itu aku terlalu emosional. Aku cuma..,"

"Lex, hentikan. Semua sudah selesai. Aku tak mau mengulangnya lagi. Berapa kali harus kukatakan itu?"

"Reni, kumohon," pintanya sambil memegang kedua pundak ku, seakan ingin memelukku.

"Alex, sudah. Lex,...perlu kamu tahu, sudah ada orang lain, Lex,"kembali ia menarikku ke dalam pelukannya. 

Aroma harum neroli, patchouli, serta cedarwood dari tubuh Alex seakan membawaku kembali ke masa beberapa tahun yang lalu. Namun segera aku tersadar tak mungkin lagi aku di sana.

Tidak. Ini bukan tempatku lagi. Aku tak mau kau sakiti lagi, Lex...

Kulepaskan pelukan Alex dan segera keluar dari ruangan mewah itu.

ALEXANDER

Tak perlu basa basi. Aku sangat mengenal wanita di hadapanku. Pagi ini mungkin adalah pagi terbaik yang kupinta. Setelah dua tahun berpisah darinya, kini aku bertemu lagi dengan sosok yang tak pernah tergantikan.

Kulihat ia berdiri termangu seakan melihatku dan terkejut. Matanya yang indah mungkin sengaja ia alihkan dari pandangan kami saat bertemu muka. 

Masih sama seperti dulu. Mata yang sama, bentuk wajah oval yang sama, rambut ikal yang digelung sedikit, hingga sebagian dibiarkan terurai, oh, sungguh menakjubkan wanita ini.

Aku mengantarnya pulang. Setelah semalam ia menemaniku pergi ke pesta perpisahan kami. Gaun peach yang menempel di tubuhnya dan polesan wajah yang sederhana membuat wajah manis nan cantik ini terlihat lebih mempesona.

Sejuta bintang-bintang di angkasa pun tak mampu dibandingkan dengan kecantikan Reni malam hari ini. Dan akulah pria beruntung yang berada di sisinya, saat lelaki lain hanya mampu menelan ludah saat mereka melihat kedatangan kami.

"Ren, makasih, ya. Udah nemenin aku di pesta malam ini," ucapku pelan saat mobil Pajero sport milikku kuhentikan di depan rumahnya.

Kami masih berada di dalam mobilku. Kulihat Reni tak berani menatap wajahku. Ia lebih memilih memandangi jemarinya di atas clutch putih miliknya.

Oh, Ren...Tak tahukah kau betapa cantiknya kau malam ini. 

"Aku harus segera masuk, Alex. Terimakasih sudah mengantarku,"

"Ren, tunggu sebentar," aku keluar dari mobil, dan kubukakan pintu mobil untuknya. 

Wajah Reni hanya berjarak dua sentimeter saat ia mengangkat kepalanya, dan tersenyum padaku. Dan aku mencium bibirnya dengan lembut.

Namun malam itu adalah malam yang sangat bodoh untukku. "Plak....," akhirnya satu tamparan Reni mendarat di pipiku.

"Kau pikir aku wanita apaan, Lex? Aku bukan seperti mereka yang mau antri menunggu kau kencani," ujarnya kesal dan meninggalkanku dengan amarahnya.

Tapi hal yang membuatnya sangat marah adalah saat ia memergoki aku sedang berduaan dengan Cynthia, mahasiswi seksi yang menjadi incaran para lelaki hidung belang.

Reni marah dan meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Tak mau menemuiku dan teleponnya tak bisa kuhubungi. Saat itu Papa meminta kami sekeluarga tinggal bersamanya, dan meninggalkan kota kecil ini.

Every body needs a little time away, i heard her say, from each other...

Even lovers need a holiday, far away from each other,...

Hold me now, it's hard for me to say i'm sorry, i just want you to stay,...

Hold me now, i really wanna tell you I'm sorry, I could never let you go...

(Hard To Say I'm Sorry - Chicago)

*Solo, hard to say i'm sorry....ternyata, bersambung lagi.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun