Terlebih saat aku menatap sepasang mata direktur yang umurnya tak jauh berbeda di atasku.Â
Ia masih muda. Jas yang dikenakannya mungkin tak membuatnya terlihat tua. Namun dalam sekejap saja, guratan wajah yang terbilang tampan itu membuatku semakin ingin melarikan diri dari ruangan ini.
"Ren? Apa kabar?" sapanya.
Aku memang mengenalnya. Ia Alex. Seangkatan dengan Dimas. Ya, tentu saja aku mengenalnya dari Dimas.Â
"Sheilla, tolong tinggalkan kami," ucapnya lagi. Perempuan seksi bernama Sheilla itu dengan muka masam tak segera meninggalkan ruangan.
"Jika masih ada yang diperlukan lagi, nanti tolong telfon saya, Pak Alex,"ucapnya lirih dengan tubuh didekatkan pada Alex.Â
Kuputar bola mataku. Kelakuan ini. Dan rasanya tak aneh melihat Alex hanya tersenyum mengiyakan tawaran itu.
Alexander Atmaja mengambil tempat duduk di dekatku. Dan terpaksa aku bergeser ke samping kananku.Â
" Maaf, Pak Alex. Saya kemari hanya untuk menyerahkan proposal acara dies natalis kampus," ucapku tanpa basa basi. Sungguh ruangan ber-AC ini tiba-tiba terasa semakin tak nyaman bagiku.Â
"Sudahlah, Ren. Buat apa sih kamu sok formal gitu? Bukannya kita sudah saling kenal. Gimana kabarmu? Masih aktif di senat yha? Nanti makan siang bareng lagi, yuk?" sahut Alex ringan.
Mataku melotot padanya. Ingin kutampar pipi Alex seperti beberapa waktu yang lalu. Tapi, ah, untuk apa?