Pagi itu aku terbangun dengan mata setengah terbuka, melihat ibu sedang membuka kain penutup lubang angin dan tersenyum memintaku membersihkan diri.
"Mandi neng." Ucap ibu sembari melihatku.
Terdengar hewan terbang berkicau tak henti-henti seperti memberi tanda hari ini akan baik. Matahari menyorot kuat lorong kamarku, membuat hati semakin bersemangat untuk memulai hari. Â Â
Hariku kuawali degan membuka sebuah buku yang kupakai sedari kecil, sebuah buku yang menyimpan keluh, kesah, dan bahagiaku selama ini. Setiap peristiwa yang kulewati baik atau pun buruk kusimpan ceritanya dengan baik di dalam buku sejarahku. Di sana tersimpan dengan rapi perjalanan hidupku selama ini. Aku sangat amat suka pada buku itu, tak rela rasanya bila orang lain membacanya, seperti tak ingin sudut pandangku terbaca oleh orang lain.
Aku Rara Ardila Wijayanti seorang anak yang keras kepala, sering membangkang, tak pandai berkata pada orang, dingin dan sering terkesan tak peduli dengan lingkungannya. Aku hidup bersama orang yang tak kenal lelah, mereka hebat mereka baik tak ada dua. Meskipun aku bukan anak darahnya, namun mereka memperlakukanku bak anak seutuhnya tidak mendiskriminasi ataupun melihatku sebagai anak orang lain. Ya, betul saya adalah anak angkat dari ayah dan ibuku saat ini. Orang tua kandungku membuangku kepada pasangan suami istri ini. Tak tahu apa yang dipikirkan orang tua kandungku, apa yang terlintas di pikirannya dengan mudahnya mereka membuangku. Tapi bagiku itu bukan masalah, malah saya sangat bersyukur dipertemukan dengan dua malaikat yang tak bersayap ini. Mereka tak mudah lelah merawatku sedari bayi, membiayai kebutuhan hidupku, memperjuangkan hidupku dan mencintaiku tanpa henti-hentinya.
Saat lahir aku diberi nama oleh ayahku Rara, Ayah bilang arti namanya adalah berbuat baik. Ayahku ingin aku terus melakukan hal-hal baik kepada khalayak ramai dan berguna untuk masyarakat. Untuk nama tengahnya Ardila, dahulu kala saat Ayah bujang ia sangat mengiodolakan Nike Ardila katanya ia cantik dan baik, jadi ayah ingin aku tumbuh menjadi perempuan yang cantik juga baik. Ayah juga menyisipkan nama kekasih hidupnya di bagian nama terakhirku ialah Wijayanti, nama itu diambil dari nama panjang ibuku. Romantis bukan, meskipun ayah cenderung cuek pada kekasihnya tapi sebenarnya dia sangat cinta kalo kata anak sekarang sih dia masuk golongan bucin budak cinta.
Ayahku lahir di kota berciri khas sate marangginya yaitu Purwakarta Jawa Barat, dia berdarah sunda. Dia terlahir dari rahim sang ibu yang saat ini beliau sedang beristirahat di surga. Nenekku meninggal dunia saat aku berumur 12 tahun. Saat itu keadaannya nenek sudah sakit parah dan cukup lama sakitnya. Pada hari itu nenek tidak terlihat seperti akan pergi meninggalkan kami, jadi kami masih bersenang ria dengannya berbagi cerita dan tawa. Namun mendadak saja dia pergi tanpa sepengetahuan kami. Hari itu aku sangat terpukul hatinya tak kuasa melihat nenek terbujur kaku tertutup kain putih dan dikelilingi orang banyak yang melantunkan surat yasin. Apalagi melihat Ayah yang murung dan tersandar di bahu Bapaknya membuat hatiku semakin lemah dan sakit rasanya, rasanya tak terbayang bila aku diposisi Ayah, kehilangan cinta pertamanya dan orang yang sangat-sangat ia cintai.Â
Ayahku menjadi seorang anak piatu namun tetap saja dia tidak kehilangan seluruh cintanya, masih ada Aku, Ibu dan bapaknya yang senantiasa mengulurkan tangannya untuk membantu Ayah bangkit dari keterpurukan. Namun kami saling menguatkan.
Ibuku lahir di kota yang terkenal tauconya. Ya, ibuku lahir di Cianjur, ia besar di sana. Ia memiliki banyak saudara, nenekku melahirkan anak sebanyak 6 orang. Ibuku adalah anak pertamanya tentu saja hidup ibuku lebih berat dari anak-anak yang lainnya, ia harus bertanggung jawab di atas kehidupan adik-adiknya. Dia harus membantu ibunya sekaligus mengurus adik-adiknya, terlebih dahulu ekonominya yang sangat mengkhawatirkan membuat hidupnya semakin sulit. Ibuku menjadi harapan satu satunya keluarga, ia selalu menceritakan masa kecilnya, masa-masa perjuangannya. Ibuku dahulu sering berdagang berkeliling menelusuri kampung-kampung kecil, keringat mengucur ditubuhnya dan membanjiri bajunya, berteriak menawarkan dagangannya namun tak banyak orang yang membelinya. Tetapi ibuku tidak putus asa dia melanjutkan perjalanannya. Saat itu anak-anak seusianya sedang sibuk bermain namun tidak lain tidak bukan ibuku hanya bisa berjualan dan berusaha memberi kehidupan yang layak kepada adik-adiknya di rumah. Saat umur 18 tahun ibuku dilamar oleh ayahku dan juga orang tuanya yang meminta untuk segera menikah katanya agar hadir seseorang yang sudi menafkahinya. Akhirnya mereka menikah dan memutuskan untuk merantau ke Bandung.
Mereka menikah dan mengharapkan kehadiran si buah hati, tetapi ayah dan ibu tidak kunjung jua diberi kesempatan. Mereka saling berjuang agar mendapatkan momongan tetapi mungkin bukan rezekinya. Kalimat-kalimat terucap dari mulut warga kampungnya yang menyinggungnya membuat hati ibuku semakin hancur. Selain itu nenekku yang mengharapkan kehadiran seorang cucu membuat perasaan ibuku tak karuan. Mereka selalu berdoa di penghujung malam meminta kepada Sang Robbi tetapi tetap saja bertahun-tahun mereka berjuang namun tak kunjung juga diberi momongan. Keputus asaan sering melintasi pikirannya masing-masing, mereka lelah dan tak berharap apa pun lagi. Mereka memutuskan untuk mengangkatku sebagai buah hatinya. Besar keinginanku untuk membayar kebaikan mereka, tanpanya aku tidak akan seperti ini.
11 tahun lamanya setelah menikah akhirnya Ibuku berbadan dua, akhirnya aku mempunyai adik setelah penantian yang cukup lama. 9 bulan Ayah dan Ibu menantikan buah hatinya akhirnya ia mau keluar juga dari perut ibu dan melihat dunia. Ibu melahirkan di rumah sakit namun sayang sekali proses lahirannya mengharuskan operasi caesar, tetapi itu bukan masalah bagi Ibu ia harus tetap berjuang untuk melahirkan adikku ke dunia. Hari itu aku sangat gugup melihat ibu berbaring di kasur rumah sakit dan dibawa pergi oleh tenaga medis menuju ruang operasi. Ayah terus di sampingnya menemani Ibu merintih kesakitan. Setelah melalui proses operasi akhirnya adikku tiba di dunia, ternyata adikku wanita sama sepertiku. Dia mirip ayah, cantik dan lucu.
***
Saat kecil ayahku selalu membawaku bermain ke tempat-tempat yang indah dan menyenangkan. Muka mereka tampak senang dengan kehadiran diriku, sepertinya mudah sekali membuat mereka senang tak sadar kesenangan mereka ada sesuatu dibaliknya.
Sedari kecil entah mengapa aku sangat senang menulis kata-kata, saat hati merasa senang, sedih, kesal aku selalu menulisnya dan selalu bisa mengambil hikmah dari rasa-rasa tersebut. Saat aku kecil dibangku kelas 3 SD aku terlibat perkelahian dengan sobatku, seperti pertengkaran anak kecil biasa, dimulai dengan perihal yang sangat sepele. Aku hanya meminjam alat menghapus tulisan bukunya, tapi dia marah seperti kesetanan dan aku melawannya karena aku rasa untuk pinjam meminjam alat tulis itu hal yang biasa. Aku adu mulut dengannya dan tak sadar aku menjambak rambutnya karena saking kesalnya, tak berhenti di sana dia pun membalasnya dengan menjambak balik mahkota hitamku. Kami dipisahkan oleh kawan kelas kami, masing-masing dari kami menangis dan meminta pulang pada ibu guruku. Ibu guru berusaha menenangkan kami berdua dan meminta kami untuk saling memaafkan. Aku tidak mau bermaaf-maafan dengannya sudi jika aku harus meminta maaf padanya, ya itulah Rara si keras kepala yang tak bisa di beri masukkan. Namun karena terdesak terpaksa aku harus bermaaf-maafan dengannya jika tidak Bu guru tidak akan memulangkan kami ke rumah.
" Kalau tidak mau saling memaafkan, biar saja tidak akan ibu pulangkan." Ancam Bu Guru
Sepulang dari sekolah, aku tak lupa menulis ceritanya di buku kisahku. Dan tak lupa juga aku menceritakannya kepada Ayah dan Ibu.
"Ayah, si Nida jahat." Ucapku sedikit manja.
"Mungkin kamu menyebalkan baginya." Ucap Ayah dengan muka datar dan enyah dari pandanganku.
Ayahku tak pernah menyalahkan lawanku, tapi selalu menyalahkanku terlepas dari salah ataupun tidaknya aku, tetap saja selalu anaknya yang disalahkan. Entahlah mungkin cara didikannya seperti itu, untuk membangun karakteristik anak yang tak cengeng, kuat dan tidak cepat menyalahkan orang lain.
***
Anak gadis ini terus tumbuh dan berkembang, gadis ini mulai memasuki usia remajanya masa dimana peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, tumbuh dengan perubahan sifat yang kian terlihat perubahannya. Memasuki usia remaja Rara cenderung mengurung diri di ruang dinding miliknya tak banyak kata yang dilahirkan dari mulutnya. Semakin hari ia semakin tertutup pada keluarganya, tidak banyak yang ia bicarakan dengan anggota seisi rumahnya. Ayah dan ibunya mulai menyadari perubahan perilakunya, sifatnya sedikit kelaki-lakian. Mereka cemas sesuatu terjadi pada anak kesayangannya.
Kali ini dia sangat sering membangkang pada kedua orang tuanya, entah apa yang membuatnya berubah namun sepertinya ia memiliki alasan yang pasti mengapa melakukan hal tersebut. Dia sering pulang larut malam tanpa pamit, jarang makan dan jarang sekali membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu selalu marah padanya karena Ibu rasa dia hanya malas-malasan saja di kamar. Rara sangat abai dengan ocehan ibunya sering kali ia melawan ocehan ibunya dan memberikan 1001 alasan menolak suruhan ibunya.
Ayah dan Ibunya mulai menindak lanjuti, mereka terus dihantui oleh rasa penasaran yang terus menjalar dari hari ke harinya. Mereka mulai membuka pembicaraan dengan Rara si anak baru gede itu. Ayahnya akan bertanya adakah sesuatu yang menimpanya, ibunya khawatir anaknya di intimidasi di sekolahnya.
"Ra, coba kamu duduk dulu." Pinta ayah.
Rara yang sedang berjalan menuju kamarnya tiba-tiba terhenti dan berbalik dengan muka datar miliknya.
"Apa?" Tanya Rara seperti menolak terjadinya pembicaraan.
Ayah yang tidak suka dengan tanggapan Rara yang menurutnya tidak takzim, Ayahnya tak tahan menahan amarahnya dan BOM!
Ayah marah sejadi-jadinya bak petir suaranya dan mata yang berapi-api meluapkan kekesalannya pada Rara. Rara membalas teriakan ayahnya, terdengar suaranya tidak ingin kalah bicara dengan ayah, perkataan lanturannya ia lontarkan kepada ayahnya. Â Ibu yang sedang melaksanakan sembahyang tiba-tiba menghentikannya, dengan cepat ia berlari masih terpakai kain selubung berjahit ditubuhnya dan menuju suaminya. Melihat suami yang tangannya melayang ke udara ibu cepat-cepat menyergapnya dan meminta untuk berhenti. Rara meminta ayahnya untuk memukulnya, tampaknya Rara memang tidak ingin terlihat lemah.
"Ayo pukul saja anak pungutmu ini!" teriak Rara sembari meneteskan air yang meleleh dari matanya.
Rara tak sanggup lagi dengan suasana yang makin memanas, ia berlari berderai air hujan dimatanya menuju kamarnya. Isak tangis terdengar seperti tak kuasa lagi untuk menahannya. Ayah yang masih terkaget-kaget dengan perilaku Rara, dan tidak memahami mengapa tindakannya seperti itu.
***
Entah apa yang merasuki pada malam itu, yang jelas aku menyesal melakukan perilaku tersebut, padahal Ayah belum sempat mengatakan apa yang ingin dikatakannya padaku, ada apa gerangan? Jarang sekali Ayah meminta berbicara dengan serius terlebih suasana hatiku yang tidak stabil membuat semakin menjadi-jadi.
Esok harinya sebelum berangkat sekolah, aku memandangi Ayah yang sedang siap-siap pergi bekerja. Ayah terlihat masih marah padaku, aku mencoba untuk tenang dan pura-pura tak peduli dengannya. Sebelum aku berangkat sekolah Ibu memarahiku atas kejadian semalam, ucapannya memang benar, namun tersimpan kalimat yang membuatku sangat tak nyaman didengarnya. Aku menganggap mereka sudah tak bersedia lagi merawatku entahlah semakin buruk saja hariku. Rasa bersalah terus menyelimuti hari-hariku terkadang aku menyalahkan kedua orang tua kandungku mengapa mereka harus melahirkanku? Mengapa harus aku yang seperti ini? Mengapa tak ada yang mau mengerti tentangku dan perasaanku. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul di kepalaku dan merusak hari-hari baikku.
Tak terasa aku dan ayah tiba-tiba saja memulai percakapan lagi seperti tak ada yang terjadi sebelumnya. Itulah Ayah tegas, keras, sedikit egois dan penyayang. Aku dengannya kembali baik seperti biasanya, namun ingin sekali aku bertanya apa yang ingin ia bicarakan saat malam itu tapi aku takut malah membuka lagi lukanya jadi kupendam sendiri saja rasa penasaran itu.
***
Reni Yakia, ia adalah teman baikku di SMP hari-hariku selalu dihadiri olehnya. Dia baik, cantik, lembut, ramah dan tak kasar. Karakternya berbanding terbalik denganku, namun menurutnya itu bukan masalah kami tetap berteman baik. Dia lahir di Bandung dengan latar belakang keluarga yang baik-baik saja dan tak bermasalah. Keluarga yang baik menghasilkan karakter anak yang akan baik, namun tak selamanya seperti itu anak baik bisa dilahirkan dari latar belakang keluarga apa saja, tergantung karakter anak yang ingin dibangun orang tua seperti apa.
Kami bertemu saat pertama kali masuk sekolah lebih tepatnya saat masa MOPD, aku tidak bertemu orang yang kukenal jadi aku seorang diri dan tak banyak bicara. Namun Reni yang nyentrik di pandanganku ternyata ia mengawali pembicaraan awal kami.
"Eh kamu bawa pulpen dua enggak?" Tanya dia sembari menepis bahuku.
"Enggak." Jawabku dingin.
"Nama kamu siapa? Aku Reni salam kenal ya." Ucapnya sembari menyodorkan tangan kanannya.
"Aku Rara." Jawabku membalas jabatan tangannya.
Itulah awal pertemanan kami. Kami berdialog sangat lama layaknya teman yang sudah saling mengenal lama padahal itu adalah pertemuan awal kami. Masing-masing dari kami merasa sangat cocok pertemanannya, satu frekuensi dan sama-sama asik.
Hari kedua sekolah, ternyata aku satu kelas dengannya. Dia sudah menunggu di depan koridor kelas menungguku.
"Raraaaa.." Teriaknya sambil melambai-lambaikan tangannya dan tersenyum padaku.
Aku berlari ke arahnya dan membalas sapanya. Kami memasuki kelas dan duduk bersama. Saat pembelajaran dimulai satu hal lagi yang kutemui darinya, ternyata ia sangat pintar. Wah memang aku yang paling pintar perihal mencari kawan yang berkualitas. Menurutku berteman itu bukan hanya sekedar berteman, namun harus menguntungkan satu sama lain dan memberi pengaruh yang baik. Maka dari itu, menurutku berteman itu harus pilih-pilih. Pertemanan yang berkualitaslah yang akan memberi pengaruh baik.
Singkat cerita kami berteman baik, sampai akhir SMP pun kami tetap seperti sebelumnya, meskipun saat kelas 8 kami terpisah tetapi pada akhirnya kami sekelas kembali dikelas 9. Kelas 9 adalah masa-masa perjuangan kami, kami berjuang agar masuk SMA favorit. Mulai dari belajar, mencari informasi masuk SMA kami lakukan dengan sama-sama dan kami saling berbagi informasi.
Ujian Nasional pun di mulai, Aku sangat tidak percaya diri dan tegang. Namun Reni menenangkanku dan memberiku semangat.
"Semangat tidak usah ragu, kami sudah belajar. Tidak usah terlalu memikirkan hasil, biar saja Tuhan yang atur hasilnya. Apa pun hasilnya kita harus terima, karena itu sudah yang terbaik." Ucap Reni.
Aku kembali bersemangat, dan berusaha mengerjakan sebaik mungkin. Lembar yang sebelumnya kosong akhirnya terisi penuh, Aku berserah diri pada Allah.
Pengumuman kelulusan pun dimulai, tegang bukan main dan Ibuku ikut tegang. Lagi dan lagi Reni memintaku untuk percaya diri. Dan alhamdulillah nilai ujianku besar. Ibuku terlihat bangga padaku, senyumnya berseri dan matanya berbinar. Aku sangat bangga pada diriku dan aku juga bangga pada sahabatku Reni yang selalu mendorongku.
***
Hari ini hari pertamaku sekolah SMA di sekolah favorit keinginanku, aku berangkat pagi sekali bersama sahabatku Reni, kami hari ini akan ospek. Persiapan sudah dilakukan semenjak 2 hari yang lalu, hari pertama ospek kita diharuskan memakai tas dari karung goni, lucu sekali melihat orang-orang mengikat rambutnya sebanyak-banyaknya.
Hari pertama ospek dilaksanakan dengan lancar. Hari kedua akan kami hadapi, dan tantangannya semakin berat saja. Aku dimentori dua kakak senior laki-laki, jujur mereka sangat tampan aku terpesona melihatnya. Selain tampan, mereka juga berkarisma dan menarik perhatian. Aku hanya terpesona melihatnya, tidak sampai jatuh hati padanya.
Aku satu gugus bersama orang yang sangat amat menyebalkan, dia egois, arogan, sombong dan tak disiplin. Aku sempat memarahinya karena sudah tak kuasa lagi menahan amarahku. Dalam satu gugus itu kami seperti diuji kekompakan, kami diminta untuk membersihkan suatu ruangan yang sangat amat kotor dan di ruangan itu kami harus mencari sebuah koin dan satu kunci. Kami sibuk mencari dan membersihkan, namun si Wanita sombong ini enggan bekerja sama dan hanya duduk berdiam diri sembari menebas-nebaskan sebuah kertas ke arah tubuhnya. Tidak ada satu pun yang berani menegurnya, akhirnya aku tegur dia dengan sopan.
"Hey, bantu ikut mencari kunci yu." Pintaku dengan nada yang halus.
Tapi apa jawabnya? Dia seolah olah tak mendengar perkataanku dia hanya mengangguk dan tetap berdiam diri. Aku terus mencari bersama kawan-kawan yang lain. Kami mulai kelelahan tetapi kunci dan koin tak kunjung jua kami temukan. Aku tak kuasa menahan amarahku akhirnya aku marah padanya.
"Ko kamu diam terus sih? Bantuin kita dong, enak banget cuman duduk dari tadi." Ucapku dengan nada sedikit tinggi.
Dia beranjak dari duduknya dan melawanku.
"Kamu gak liat, aku itu cape!" katanya sambil duduk kembali dan mengalihkan pandangannya dariku.
Dia pikir hanya dia saja yang lelah, padahal dari tadi kami juga lelah. Tak kuasa lagi menahan amarah, akhirnya aku menampar sebuah meja di depanku dan memandangi matanya.
"Kamu pikir kamu saja yang lelah? Kami juga lelah kami juga sama-sama capek, makannya kerja sama jangan Cuma mau enaknya dong!" ucapku dengan penuh amarah.
Teman-teman yang lain ikut membelaku dan datanglah mentor kami, ia meleraikan kami berdua dan si Wanita sombong itu akhirnya kena marah senior. Â
Hari pertama, kedua dan ketiga ospek sudah aku lewati, capek setengah mati kami dikerjai habis-habisan oleh senior kami. Namun tak apa, bukan masalah yang besar juga bagiku karena aku juga bersenang-senang.
Setelah melewati masa orientasi, akhirnya kegiatan KBM dimulai. Aku memutuskan untuk menjadi murid yang rajin dan pintar. Menurutku pintar itu pilihan, kalau kita mau menjadi pintar maka rajin belajarlah. Jadi tidak ada manusia bodoh hanya saja manusia yang tak mau berusaha dan hanya ingin bermalas-malasan. Aku ingin pintar dan aku berusaha mencapainya. Dan alhamdulillah berkat kerja kerasku aku mampu masuk peringkat ke 10 besar, meskipun hanya peringkat 10 besar tapi itu sudah membanggakan orang tuaku.
Aku berhasil naik kelas dan masuk peringkat 10 besar, kini aku sudah kelas 12. Akhirnya penghujung kelas akan dimulai, entah mengapa suasana di penghujung kelas itu mengasikan, banyak sekali tantangannya tapi aku menyukainya aneh bukan? Aku memang menyukai segala jenis tantangan dan rintangan, yang penting tantangannya masih bisa kulewati tidak sampai membuatku ingin mati muda.
***
Kelas 12 aku harus berjuang lebih keras, karena aku ingin sekali masuk universitas impianku. Aku belajar tiap harinya dan selalu berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan untuk mencapainya. Sesekali aku merasa lelah dan sedikit stres, pikiranku hanya menyuruhku untuk belajar, belajar dan belajar.
Orang tuaku sering memarahiku karena aku terlalu sering belajar, bukan karena belajarnya tetapi karena aku yang tidak mempunyai batasan waktu belajar. Aku bisa belajar dari munculnya matahari sampai matahari muncul lagi. Jika ada sesuatu materi yang tidak kumengerti biasanya aku harus belajar dulu sampai mengerti jika sudah mengerti aku akan tenang. Aku berpikiran kalau saja aku meninggalkan satu hari untuk tidak belajar, peluangku untuk tidak masuk Universitas impianku sangat besar. Reni sahabatku sering sekali ia memintaku untuk bermain dulu sebentar dan melihat dunia yang luas ini, namun entah mengapa aku tidak mau bersantai ria. Meskipun Reni juga berambisi sama sepertiku tetapi ia masih bisa memberikan waktu untuk bersantai dan menikmati hari. Tak kusadari hal tersebut memang tidak baik untuk kesehatan mental dan juga fisikku. Aku akhirnya jatuhÂ
sakit dan kehilangan kesadaran, akhirnya aku dilarikan ke rumah sakit terdekat dan ternyata aku harus menerima perawatan di sana dan tidak diperbolehkan untuk pulang. Orang tuaku cemas dan khawatir, mereka takut jika sesuatu yang lebih buruk akan menimpaku. Aku dimarahi habis-habisan oleh orang tuaku.
"Makannya, tahu waktu kalau belajar itu!" Ucap ayahku dengan nada marah.
Namun hal tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayangnya padaku. Keluargaku bukan keluarga yang romantis, mereka memiliki cara yang berbeda menyayangi anak-anaknya.
Tanganku dimasukkan selang berisi cairan yang membantu memasok obat ke dalam tubuh dengan cepat dan efektif  selain itu aku juga menggunakan alat yang dapat memberikan  oksigen tambahan untuk membantu melancarkan pernapasanku. kini aku hanya bisa berbaring di rumah sakit dan menyesali perbuatanku. Akhirnya aku menyadari kesalahan ini, kemudian aku memutuskan untuk membatasi jam belajarku.
Setelah melewati sisa-sisa waktu di kelas 12, Ujian Nasional pun segera tiba. Esok Ujian Nasional akan dilaksanakan, gugup sekali hari itu. Aku terus berpikiran yang tidak-tidak sampai enggan untuk belajar dan memilih untuk istirahat.
Ujian Nasional kulewati, perjuangan tidak habis sampai sana. Kali ini aku harus fokus untuk seleksi masuk Universitas, sebelumnya aku sudah mengikuti seleksi nasional namun tidak lolos. Kali ini aku akan mengikuti seleksi bersama, aku berjuang bersama kawanku Reni kami melakukannya bersama-sama mulai dari pendaftaran sampai persiapan pun kami siapkan bersama-sama. Akhirnya tiba saatnya aku mengikuti seleksi ini, kali ini aku sangat percaya diri pada diriku sendiri. Soal-soal sudah aku isi penuh, tinggal mengirim dan menunggu hasil. Menurutku yang lebih menegangkan bukan mengisi soalnya tetapi menunggu hasilnya. Hari-harinya berasa tak nyaman seperti ada yang mengganjal, tak tahan menunggu keputusan. Tidur berasa tak tidur, makan berasa tak makan bimbang sekali.
Hasil pun siap diumumkan hari ini, aku membuka perlahan sembari berdoa. Keringat dingin mulai membasahi, jantung berdegup kencang tak normal, panik dan tetap penasaran. Terdapat kata "TIDAK DITERIMA" dalam surat hasil tersebut. Nyawa seakan melayang ke awan, kaki tak kuasa lagi menahan kekecewaanku aku terjatuh, aku terheran-heran dan menangis meratapi tulisan tadi. Sakit rasanya harus menerima kenyataan yang pahit ini, aku terpuruk dalam lamunan kekecewaan, merasa tidak diadili oleh tuhanku. Setelah melewati hari dimana aku benci pada diriku sendiri, aku memutuskan untuk bangkit dan tidak berhenti di sana aku masih memiliki kesempatan untuk masuk perguruan tinggi negeri.
Akhirnya aku mengikuti ujian kembali, aku merasa kali ini aku harus benar-benar lolos. Aku isi soal ujian dengan sangat hati-hati. Namun lagi dan lagi aku tak lolos, sahabatku Reni dia untung saja lolos. Saat itu aku merasa Tuhan tak adil padaku, padahal aku dan Reni saling berjuang bersama namun hasilnya tak sama, aku tidak diberi kesempatan untuk mencapai impianku, aku kecewa benar-benar kecewa. Sesekali aku tersadarkan mungkin ini memang bukan jalan yang terbaik untukku, manusia hanya bisa berencana namun tetap saja Tuhanlah yang menakdirkan. Aku putus asa, merasa semua yang dilakukan sia-sia dan takÂ
memberi hasil apa pun. Tak ingin lagi melakukan banyak aksi, kali ini aku hanya ingin menikmati hidup. Aku menyerah memutuskan untuk tidak berkuliah, namun orang tuaku memaksaku untuk tetap berkuliah. Aku tak mendengarkan mereka aku tak peduli lagi, kali ini aku benar-benar menyerah. Orang tuaku miris melihatku, mereka memberiku waktu untuk istirahat dan tak memaksa lagi aku untuk kuliah.
***
Sahabatku Reni sudah mulai kuliah, aku hanya mengisi hari-hariku dikamar seorang diri. Banyak hal yang aku lakukan semenjak lulus, aku melakukan hal-hal yang sebelumnya belum aku laksanakan. Semakin hari aku merasa semakin membaik, Aku rasa mentalku sudah pulih dan fisikku mulai lebih segar. Aku mengisi waktu luangku dengan menulis, apa pun yang ingin aku tulis, aku menulisnya di sebuah buku. Entah mengapa tiba-tiba saja aku ingin menulis novel, dan kutulislah kisah-kisah menarik yang pernah kudengar dan juga kualami.
Hari-hari kulewati dengan penuh cinta, menulis novel merupakan hobi baruku. Banyak kisah menarik yang kucurahkan di dalamnya. Tak terasa banyak sekali tulisan yang sudah kutulis.
Hari itu Reni datang ke rumahku dengan membawa tentengan plastik hitam. Ia langsung masuk kamar tanpa salam. Kami memang sudah seperti keluarga, orang tuaku juga sudah menganggapnya anak.
"Ra, nih makanan." Capnya sambil memberikan plastik hitam tadi.
"Widih, apa ini?" tanyaku sembari membuka plastik itu.
Reni memang sering ke rumah tanpa tangan kosong, dia selalu tahu kalau aku belum makan. Dia sangat perhatian bukan? Itulah sahabatku.
Hari itu aku pergi mandi, dan Reni berbaring di atas kasurku sambil bermain dengan laptopku. Aku mandi seperti biasa, dan seperti biasanya aku jarang sebentar di kamar mandi selalu lama. Setelah selesai mandi aku melihat Reni yang sedang fokus seperti membaca sesuatu. Aku berlari cepat ke arahnya dan merebut paksa laptopku.
"Ngapain kamu?" tanyaku sambil melihat ke arah laptop.
"HAHAHAHAH." Tawanya.
Aku marah kecil padanya, karena aku merasa malu. Mendadak Reni berkata padaku meminta untuk membuatku menjadi seorang penulis.
"Ra novel kamu bagus banget, itu buatan kamu kan?" Pujinya.
Aku yang malu tak menjawab pertanyaannya.
"Harusnya izin dulu kalo mau buka sesuatu!" ucapku sedikit ngegas.
"Ra itu bagus banget, harus banget di bukukan!" ucapnya dengan nada serius.
Aku hanya tertawa dan menganggapnya hanya lelucon, masa iya aku harus jadi penulis novel? Dengan skill yang tak seberapa ini.
Tampaknya hari ke hari Reni terus berbicara soal novel, iya tak henti-hentinya memintaku untuk membukukan novel itu. Aku yang mulai kesal padanya karena itu menggangguku, aku menulis hanya untuk mengisi waktu luang saja, dan aku rasa tulisanku tak seindah itu pula.
"Apa sih Ren? Gak sebagus itu juga kali." Ucapku dengan sinis.
"Sumpah Ra itu bagus banget, kenapa kamu gak ada niat untuk mencoba sih? Itu kan bisa menghasilkan uang." Ucapnya.
"Memang siapa yang akan beli Ren? Ko PD banget sih?" jawabku.
"Pokonya kamu harus mikirin itu, ini bisa jadi peluang kamu buat dapat uang Ra!" ucap Reni meyakinkanku.
Aku semakin kepikiran, apakah harus membukukannya, akankah ada yang membeli bukuku? Tapi aku sedikit yakin mendengar perkataan Reni dan apa salahnya untuk mencoba. Jadi aku memutuskan untuk mencobanya. Akhirnya aku mulai memutuskan menawarkan naskahku pada salah satu penerbit di Indonesia. Dan ternyata naskahku ditolak, namun Reni bersikeras memintaku agar tidak menyerah. Aku mencoba menawarkan lagi kepada penerbit yang lainnya, dan ternyata mereka suka kemudian menerima naskahku. Aku senang serta bingung apa lagi yang harus aku lakukan, karena ini kali pertama aku melakukannya. Tak di sangka-sangka ternyata inilah jalan rezekiku. Setelah menunggu lamanya buku itu launching, akhirnya launching juga! Pihak penerbit sudah mengirimkanku bukunya, oh iya aku melakukan hal ini tanpa sepengetahuan orang tuaku dan pada saat mereka tahu mereka terkejut dan sedikit bingung mengapa bisa? Mereka terlihat bangga padaku.
Akhirnya buku pertamaku siap diedarkan ke seluruh Indonesia, dan ternyata tidak sesuai harapanku. Aku pikir bukunya tidak akan laku jika di pasarkan, ternyata banyak sekali peminatnya. Bahkan pihak penerbit harus berkali-kali menerbitkan ulang, karena cepat habis. Aku sangat bersyukur pada tuhanku, aku di gagalkan saat akan meraih mimpiku. Namun Allah ganti dengan yang lebih baik untukku, tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada Allah yang telah memberikan kelancaran padaku. Orang tuaku sangat bangga padaku dan kali pertamanya mereka berkata langsung padaku.
"Alhamdulillah, Ayah bangga." Ucap ayah sambil mengelus-elus kepalaku.
Sedih campur bahagia dan bangga pada diri sendiri, akhirnya aku dapat melakukan hal yang membanggakan.
Dari novel tersebut akhirnya aku mendapatkan penghasilan sendiri, dan aku memutuskan untuk kuliah. Aku membayar biaya kuliahku sendiri, membeli kendaraan sendiri, dan membeli segala keinginan dan kebutuhan orang tuaku.
Aku melanjutkan kuliahku, aku berambisi untuk cepat-cepat lulus. Aku masuk jurusan Arsitektur. Saat pembuatan skripsi fokusku terbagi dua, aku harus mengerjakan skripsi dan juga menulis novel buku ke-3ku. Kujalani dengan tulus dan ikhlas, alhamdulillah aku lulus dengan cepat dan buku ke-3ku siap launching. Tak terasa perjuanganku sudah sampai sini, akhirnya beban keluarga dapat membanggakan 2 orang tua sekaligus. Terima kasih Ya Allah atas berkat rahmatmu dan terima kasih juga untuk diri sendiri yang mau berjuang dan bertahan sampai sekarang. Saat lulus kuliah alhamdulillah aku disuguhi banyak tawaran pekerjaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H