Kelas 12 aku harus berjuang lebih keras, karena aku ingin sekali masuk universitas impianku. Aku belajar tiap harinya dan selalu berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan untuk mencapainya. Sesekali aku merasa lelah dan sedikit stres, pikiranku hanya menyuruhku untuk belajar, belajar dan belajar.
Orang tuaku sering memarahiku karena aku terlalu sering belajar, bukan karena belajarnya tetapi karena aku yang tidak mempunyai batasan waktu belajar. Aku bisa belajar dari munculnya matahari sampai matahari muncul lagi. Jika ada sesuatu materi yang tidak kumengerti biasanya aku harus belajar dulu sampai mengerti jika sudah mengerti aku akan tenang. Aku berpikiran kalau saja aku meninggalkan satu hari untuk tidak belajar, peluangku untuk tidak masuk Universitas impianku sangat besar. Reni sahabatku sering sekali ia memintaku untuk bermain dulu sebentar dan melihat dunia yang luas ini, namun entah mengapa aku tidak mau bersantai ria. Meskipun Reni juga berambisi sama sepertiku tetapi ia masih bisa memberikan waktu untuk bersantai dan menikmati hari. Tak kusadari hal tersebut memang tidak baik untuk kesehatan mental dan juga fisikku. Aku akhirnya jatuhÂ
sakit dan kehilangan kesadaran, akhirnya aku dilarikan ke rumah sakit terdekat dan ternyata aku harus menerima perawatan di sana dan tidak diperbolehkan untuk pulang. Orang tuaku cemas dan khawatir, mereka takut jika sesuatu yang lebih buruk akan menimpaku. Aku dimarahi habis-habisan oleh orang tuaku.
"Makannya, tahu waktu kalau belajar itu!" Ucap ayahku dengan nada marah.
Namun hal tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayangnya padaku. Keluargaku bukan keluarga yang romantis, mereka memiliki cara yang berbeda menyayangi anak-anaknya.
Tanganku dimasukkan selang berisi cairan yang membantu memasok obat ke dalam tubuh dengan cepat dan efektif  selain itu aku juga menggunakan alat yang dapat memberikan  oksigen tambahan untuk membantu melancarkan pernapasanku. kini aku hanya bisa berbaring di rumah sakit dan menyesali perbuatanku. Akhirnya aku menyadari kesalahan ini, kemudian aku memutuskan untuk membatasi jam belajarku.
Setelah melewati sisa-sisa waktu di kelas 12, Ujian Nasional pun segera tiba. Esok Ujian Nasional akan dilaksanakan, gugup sekali hari itu. Aku terus berpikiran yang tidak-tidak sampai enggan untuk belajar dan memilih untuk istirahat.
Ujian Nasional kulewati, perjuangan tidak habis sampai sana. Kali ini aku harus fokus untuk seleksi masuk Universitas, sebelumnya aku sudah mengikuti seleksi nasional namun tidak lolos. Kali ini aku akan mengikuti seleksi bersama, aku berjuang bersama kawanku Reni kami melakukannya bersama-sama mulai dari pendaftaran sampai persiapan pun kami siapkan bersama-sama. Akhirnya tiba saatnya aku mengikuti seleksi ini, kali ini aku sangat percaya diri pada diriku sendiri. Soal-soal sudah aku isi penuh, tinggal mengirim dan menunggu hasil. Menurutku yang lebih menegangkan bukan mengisi soalnya tetapi menunggu hasilnya. Hari-harinya berasa tak nyaman seperti ada yang mengganjal, tak tahan menunggu keputusan. Tidur berasa tak tidur, makan berasa tak makan bimbang sekali.
Hasil pun siap diumumkan hari ini, aku membuka perlahan sembari berdoa. Keringat dingin mulai membasahi, jantung berdegup kencang tak normal, panik dan tetap penasaran. Terdapat kata "TIDAK DITERIMA" dalam surat hasil tersebut. Nyawa seakan melayang ke awan, kaki tak kuasa lagi menahan kekecewaanku aku terjatuh, aku terheran-heran dan menangis meratapi tulisan tadi. Sakit rasanya harus menerima kenyataan yang pahit ini, aku terpuruk dalam lamunan kekecewaan, merasa tidak diadili oleh tuhanku. Setelah melewati hari dimana aku benci pada diriku sendiri, aku memutuskan untuk bangkit dan tidak berhenti di sana aku masih memiliki kesempatan untuk masuk perguruan tinggi negeri.
Akhirnya aku mengikuti ujian kembali, aku merasa kali ini aku harus benar-benar lolos. Aku isi soal ujian dengan sangat hati-hati. Namun lagi dan lagi aku tak lolos, sahabatku Reni dia untung saja lolos. Saat itu aku merasa Tuhan tak adil padaku, padahal aku dan Reni saling berjuang bersama namun hasilnya tak sama, aku tidak diberi kesempatan untuk mencapai impianku, aku kecewa benar-benar kecewa. Sesekali aku tersadarkan mungkin ini memang bukan jalan yang terbaik untukku, manusia hanya bisa berencana namun tetap saja Tuhanlah yang menakdirkan. Aku putus asa, merasa semua yang dilakukan sia-sia dan takÂ
memberi hasil apa pun. Tak ingin lagi melakukan banyak aksi, kali ini aku hanya ingin menikmati hidup. Aku menyerah memutuskan untuk tidak berkuliah, namun orang tuaku memaksaku untuk tetap berkuliah. Aku tak mendengarkan mereka aku tak peduli lagi, kali ini aku benar-benar menyerah. Orang tuaku miris melihatku, mereka memberiku waktu untuk istirahat dan tak memaksa lagi aku untuk kuliah.