Mohon tunggu...
Dewi NurFadilah
Dewi NurFadilah Mohon Tunggu... Lainnya - Dewii

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Skenario Sang Maha Cinta

18 Februari 2021   21:50 Diperbarui: 19 Februari 2021   13:40 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Saat kecil ayahku selalu membawaku bermain ke tempat-tempat yang indah dan menyenangkan. Muka mereka tampak senang dengan kehadiran diriku, sepertinya mudah sekali membuat mereka senang tak sadar kesenangan mereka ada sesuatu dibaliknya.

Sedari kecil entah mengapa aku sangat senang menulis kata-kata, saat hati merasa senang, sedih, kesal aku selalu menulisnya dan selalu bisa mengambil hikmah dari rasa-rasa tersebut. Saat aku kecil dibangku kelas 3 SD aku terlibat perkelahian dengan sobatku, seperti pertengkaran anak kecil biasa, dimulai dengan perihal yang sangat sepele. Aku hanya meminjam alat menghapus tulisan bukunya, tapi dia marah seperti kesetanan dan aku melawannya karena aku rasa untuk pinjam meminjam alat tulis itu hal yang biasa. Aku adu mulut dengannya dan tak sadar aku menjambak rambutnya karena saking kesalnya, tak berhenti di sana dia pun membalasnya dengan menjambak balik mahkota hitamku. Kami dipisahkan oleh kawan kelas kami, masing-masing dari kami menangis dan meminta pulang pada ibu guruku. Ibu guru berusaha menenangkan kami berdua dan meminta kami untuk saling memaafkan. Aku tidak mau bermaaf-maafan dengannya sudi jika aku harus meminta maaf padanya, ya itulah Rara si keras kepala yang tak bisa di beri masukkan. Namun karena terdesak terpaksa aku harus bermaaf-maafan dengannya jika tidak Bu guru tidak akan memulangkan kami ke rumah.

" Kalau tidak mau saling memaafkan, biar saja tidak akan ibu pulangkan." Ancam Bu Guru

Sepulang dari sekolah, aku tak lupa menulis ceritanya di buku kisahku. Dan tak lupa juga aku menceritakannya kepada Ayah dan Ibu.

"Ayah, si Nida jahat." Ucapku sedikit manja.

"Mungkin kamu menyebalkan baginya." Ucap Ayah dengan muka datar dan enyah dari pandanganku.

Ayahku tak pernah menyalahkan lawanku, tapi selalu menyalahkanku terlepas dari salah ataupun tidaknya aku, tetap saja selalu anaknya yang disalahkan. Entahlah mungkin cara didikannya seperti itu, untuk membangun karakteristik anak yang tak cengeng, kuat dan tidak cepat menyalahkan orang lain.

***

Anak gadis ini terus tumbuh dan berkembang, gadis ini mulai memasuki usia remajanya masa dimana peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, tumbuh dengan perubahan sifat yang kian terlihat perubahannya. Memasuki usia remaja Rara cenderung mengurung diri di ruang dinding miliknya tak banyak kata yang dilahirkan dari mulutnya. Semakin hari ia semakin tertutup pada keluarganya, tidak banyak yang ia bicarakan dengan anggota seisi rumahnya. Ayah dan ibunya mulai menyadari perubahan perilakunya, sifatnya sedikit kelaki-lakian. Mereka cemas sesuatu terjadi pada anak kesayangannya.

Kali ini dia sangat sering membangkang pada kedua orang tuanya, entah apa yang membuatnya berubah namun sepertinya ia memiliki alasan yang pasti mengapa melakukan hal tersebut. Dia sering pulang larut malam tanpa pamit, jarang makan dan jarang sekali membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu selalu marah padanya karena Ibu rasa dia hanya malas-malasan saja di kamar. Rara sangat abai dengan ocehan ibunya sering kali ia melawan ocehan ibunya dan memberikan 1001 alasan menolak suruhan ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun