Seorang lelaki muda berbaju hitam putih duduk di teras rumah besar, entah milik siapa. Kakinya lelah, mungkin dengan duduk sebentar sakitnya akan berkurang. Ia mengamati rumah itu. Begitu luas, ada kolam ikan, pun banyak dedaunan yang belum disapu. Nampak sepi, tapi ada motor dan mobil yang terparkir.
"Sedang apa kau anak muda? " Seorang lelaki bercelana pendek dan kaos menghampiri anak muda itu.
"Ehh.. maaf Tuan, aku istirahat sebentar di sini. Kakiku sakit sekali."
"Rapi sekali pakaianmu. Apa kau orang kantoran seperti anak Pak Udin?"
Lelaki itu bingung dengan pertanyaan Tuan.
"Entahlah Tuan, aku dipanggil oleh pihak kantor Kumala untuk wawancara tadi."
"Ohh.. Perusahaan Kumala di jalan besar itu."
"Tuan tau tentang perusahaan itu?"
"Banyak kulihat orang keluar masuk untuk wawancara di perusahaan itu. Tapi tak lolos."
"Benarkah? Berarti banyak peminatnya?"
"Betul. Perusahaan itu menawarkan gaji yang cukup besar. Tak heran kalau banyak yang mengincarnya. Hanya orang spesial yang bisa bekerja di perusahaan itu, nak."
"Spesial bagaimana maksud Tuan?"
"harus jadi orang jujur. Sebab, biasanya mereka memasukkan unsur orang dalam."
"Tapi kemarin aku lihat kalau mereka menuliskan pada formulir kalau mereka tidak main orang dalam."
"Ha.. ha.. ha..Kau tau apa anak muda? Itu hanya formalitas saja. Kau pikir anak Pak Udin itu pandai, tidak sama sekali. Kalau bukan karna kawannya itu orang kepercayan perusahaan, mana mungkin dia bisa kerja disana."
"Benar kata Tuan, mereka punya segudang relasi. Tak perlu kesana kemari, dengan satu informasi dari seorang, dia sudah pasti lolos." Ucap lelaki muda itu.
"Dari dulu memang begitu.Kau harus banyak belajar, anak muda. Agar tak dibodohi kaum berduit macam mereka. "
"Oiya Dik, apa kau mengantongi uang?"
"Tidak, Tuan."
Menyodorkan selembar uang merah pada lelaki muda itu.
"Ini ambillah, untuk beli makan dan rokok. Pucat sekali wajahmu kulihat."
"Tidak usah, Tuan."
Sudah, ambil cepat dan pergilah!
"Oiya, dimana kau tinggal?" Lanjut tuan.
"Semalam aku menumpang tidur di rumah Pak RT diujung jalan, Tuan."
"Ohh.." Tuan itu mengangguk dan masuk kembali ke dalam rumah besar nya, lelaki itu pun pergi meninggalkan teras.
Sesampainya di rumah, lelaki itu mengganti baju. Tubuhnya terasa retak tak karuan. Baru sebentar berjalan, kakinya bak akan patah. Beginilah kalau terlalu sering berdiam dirumah dengan buku. Maklumlah, ia baru saja lulus sekolah dan baru belajar untuk hidup mandiri setelah neneknya meninggal. Selama ini ia dirawat oleh nenek dan julaknya. Ia tak enak kalau harus terus tinggal bersama julak dan keluarganya itu. Ibu dan adik perempuannya tinggal bersama ayahnya yang bertugas di Kalimantan. Mungkin setahun atau dua tahun atau entah berapa tahun baru menjenguknya lagi.
Semilir angin menembus kamar lelaki muda itu. Kian menusuk tubuh kurusnya yang tengah berbaring, beralaskan sarung yang ia bawa dari kampung. Tak ada bantal ataupun guling, hanya bertumpu pada tas yang berisikan baju hari-harinya. Rupanya dua hari berlalu. Lelaki muda itu tak keluar rumah sejak kemarin. Menunggu kabar lowongan yang sempat ia lamar waktu lalu. Â Ia gelisah, bagaimana kalau tak ada panggilan sama sekali. Makan apa ia esok.
"Tuhan, izinkanlah aku untuk bekerja. Aku tak mau berlama-lama begini." Ucapnya sedih
Tok tok tok..
"Dik, apa kau didalam? Ini aku." Â Ia mendengar suara Tuan dan bergegas membuka pintu.
"Oh iya tuan, ada apa ya?"
"Kau belum kerja?"
"Belum tuan, belum ada kabar sejak kemarin."
"Yasudah, kau bawa ini besok ke pabrik sebelah perusahaan itu. Aku dengar mereka sedang membutuhkan satpam secepatnya." Tuan memberi amplop cokelat pada lelaki muda itu.
"Ini apa tuan?"
"Sudah, bawa saja. Oiya, jangan kau buka amplop itu! Biar pihak pabrik yang membukanya."
"Baiklah tuan."
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Ingat pesan ku tadi."
"Iya, Tuan."
Beliau bergegas pergi meninggalkan lelaki itu. Lelaki muda itu masih penasaran, apa isi  amplop cokelat itu. Ia ingin membukanya, tapi ia takut. Lama berfikir akhirnya ia membuka amplop itu, memastikan bahwa apa yang akan ia serahkan itu bukan hal aneh. Perlahan ia membuka lilitan benang pengait amplop itu. Mengambil beberapa lembar kertas didalamnya.
"Astaga apa ini?" Ia terkejut mendapati dua lembar kertas kosong.
"Apa tuan ingin membohongiku, mana mungkin orang pabrik akan menerima lamaran ku kalau begini." Ucapnya.
"Aku bukan orang yg tak pernah makan bangku sekolahan. Bisa-bisanya ia mau menipuku begini." Ia makin kesal dengan perbuatan tuan, seolah merendahkan orang kecil sepertinya.
Ia mengeluarkan kertas kosong dalam amplop cokelat itu. Tiba-tiba sebuah amplop putih terjatuh dengan suara besi kecil didalamnya.
"Apa ini?" Lelaki muda itu mengernyitkan dahi.
Ia lekas membuka amplop putih kecil itu dan menemukan sebuah kunci berkarat serta sebuah daun yang telah mengering. Daun itu seukuran telapak tangan anak kecil, nampak seperti daun singkong. Lelaki muda itu menggeleng.
"Apa lagi ini, Tuann?" Ucapnya kesal.
"Kenapa ia memberiku kunci yang tak layak pakai serta dedaunan kering dan layu. Kurasa benar ia akan mempermainkan ku." Keluhnya kesal.
Ia membongkar seluruh isi amplop cokelat itu dan segera menggantinya dengan sisa berkas yang ia fotocopy beberapa hari lalu.
Tak terasa langit mengeluarkan warna jingganya. Burung-burung nampak beranjak pulang dalam sangkarnya.
"Kruuwkk.." perutnya bunyi. Siapa sangka ia sampai lupa makan sejak kemarin.
Lelaki muda itu mengeluarkan uang merah pemberian Tuan untuk membeli makanan. Ia sedikit lega, Tuan bilang ia akan segera bekerja esok. Semua berkas lengkap sudah ia siapkan, tak lupa dengan baju hitam putihnya. Ia segera tidur, tak sabar menunggu hari esok.
Malam begitu tenang. Terdengar samar suara jangkrik yang riang bersaut-sautan, dibalik gesekan ilalang yang diterpa angin. Nampak deretan awan berwarna abu, menghiasi lebih dari separuh bagian langit. Hingga bulan hanya terlihat seperempat bulatannya saja. Makin lama angin kian kencang, menerbangkan dedaunan kering, merebahkan rumput, serta membuat lelaki muda itu meringkuk diatas sarung kotak-kotaknya.
"Dinginn sekalii.." rintihnya memejamkan mata.
Matanya tertutup, tapi tidak dengan isi kepalanya yang tiba-tiba riuh. Ia tak bisa tidur, entah apa yang akan terjadi. Malam semakin larut dan dingin. Ia masih bertahan dengan matanya yang tertutup paksa. Apapun yang akan terjadi esok, tak ada satupun yang tau selain Tuhan.
Waktu kian cepat berlalu. Lelaki muda itu baru mulai merasakan kantuknya. Ia berusaha untuk tidur sebentar. Setidaknya ia bisa melepas kantuk sejenak. Sayup terdengar suara ayam.
"Siall.. sudah mau pagi." keluhnya sambil menguap.
Matahari makin menunjukkan wujudnya, perlahan suara jangkrik mulai mereda. Digantikan oleh suara ayam yang makin jelas kokoknya. Lelaki itu berusaha membuka mata, membuyarkan mimpinya yang belum usai. Ia duduk, terdiam dalam lamunannya. Handphone nya tiba-tiba menyala, menampakkan pukul 7.13 pagi. Lelaki muda itu bergegas mandi dan bersiap.
Saat tengah asik bersiap, terdengar suara langkah kaki seseorang dibalik pintu rumah yang ditempati lelaki muda itu. Tampak bayangan sepatu berhenti tepat didepan pintunya.
"Siapa diluar?" Teriak lelaki muda itu penasaran, namun tak ada jawaban sama sekali.
"Tuan, apakah itu kau? Tanya lelaki muda itu lagi. Dan benar saja, tak ada jawaban lagi.
Bulu kuduknya berdiri, ia ingin membuka pintu. Tapi takut. Ia berusaha tak menghiraukan bayangan kaki itu. Ia terus menyisir rambut tipisnya itu. Sesekali ia menengok, memastikan bayangan itu hilang dari celah pintu. Ia menoleh kembali, bayangan sepatu itu masih pada posisi semula, sesekali bergeser. Lelaki itu makin takut, entah apa yang mengganggunya sejak semalam. Segera ia mengambil amplop cokelat diatas meja nya.
Perlahan ia mendekat ke arah pintu. Langkahnya gemetar, peluhnya tiba2 menetes dari dahinya. Semakin lama semakin dekat, ia mengarahkan jemarinya ke gagang pintu. Menggerakkan gagang itu secara perlahan.
"Glekk.."
Ia berusaha mengintip pada celah pintu yang sedikit membuka. Ia memejamkan mata, dan perlahan membuka nya.
Seketika  membuka matanya dengan penuh. Lututnya lemas, nafasnya berhembus tak beraturan. Ia melebarkan pintunya. Tak ada siapapun diluar. Ia menunduk, hanya ada dedaunan  tepat di teras depan pintunya. Mungkin karna angin kencang semalam. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa bayangan dedaunan itu nampak seperti sepasang sepatu lewat celah pintu bawah.
Ia membuka handphone nya, terlihat jam menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Ia mengunci pintu dan bergegas menuju pabrik yang disebutkan Tuan kemarin.
Angin bertiup tenang, matahari menampakkan seluruh pesonanya pada luasnya langit. Kian memberikan semangat pada lelaki muda itu. Harap-harap hasil secerah pagi itu. Dua puluh menit berlalu, lelaki muda itu sampai di pabrik yang dimaksud Tuan kemarin. Ia menghampiri pos security di lantai utama pabrik,
"Maaf pak, saya dengar disini membutuhkan security tambahan. Saya ingin mengantar berkas, pak."
"Ohh.. iya betul. Masuklah. Mas naik ke lantai dua dan serahkan berkasnya pada bapak di ruang pimpinan."
Ia mengangguk dan segera menuju ruangan yang diarahkan bapak tadi.Sesampainya ia di ruang pimpinan, ia mengetuk pintu.
"Silahkan masuk!" Ucap seorang laki-laki di dalam ruangan.
"Ada keperluan apa kau kemari?" Tanya Bapak itu.
"Saya dengar disini sedang membutuhkan security. Saya berniat untuk memberikan berkas lamaran saya, pak."
"Ohh.. iya. Boleh saya lihat berkasnya?"
Lelaki muda itu mengangguk, lalu memberikan amplop cokelat yang ia bawa.
"Silahkan, duduk dulu!" Pinta bapak itu.
"Baik pak."
Bapak membuka amplop itu, memeriksa berkas yang ada didalamnya kemudian membacanya satu per satu. Saat memeriksa kertas-kertas didalamnya, seketika raut wajahnya berubah.
"Apa ini?"
Lelaki muda itu terdiam heran
"Dimana kau mendapatkan amplop ini?" Tanya bapak itu lagi.
"Saya diberi oleh Tuan kemarin siang, pak."
"Tuan siapa?"
"Lelaki tua yang tinggal di rumah besar dengan halaman luas dekat rumah pak Udin, pak."
"Apa kau sudah mengatakan dengan jujur wahai anak muda?"
Lelaki muda itu terdiam
"Apa bapak ini tau kalau aku sudah mengubah isi amplop ini." Ucapnya dalam hati.
"Baiklah.. kalau kau rasa kau sudah mengatakan yang menurutmu benar. Tak masalah." Sambung Bapak itu.
"Maaf pak sebelum nya, saya hanya melaksanakan apa yang tuan suruh kemarin."
Bapak itu tersenyum tipis.
"Kau masih muda, harusnya kau memperlihatkan sikap yang baik. Aku rasa kau orang baik."
Lelaki muda itu mengernyitkan dahi
"Tunggu sebentar!"pinta Bapak itu.
Bapak itu mengambil kunci dari sakunya, lalu membuka brangkas di samping meja nya. Beliau mengambil sebuah amplop putih kecil. Persis amplop yang ia buang kemarin beserta daun didalamnya. Bapak itu memasukkan kunci ke dalam amplop putih itu. Persis seperti ketika ia menemukan amplop kecil didalam amplop cokelat yang diberikan tuan kemarin.
"Apa kau tau? Lelaki tua yg kau sebut Tuan itu adalah ayahku. Pemilik perusahaan Kumala.  Ia sakit sejak lima tahun lalu dan dirawat di rumah itu oleh istriku. Sesekali ia jalan kaki mencari orang yang mau bekerja di sekitar rumah. Sebab ada seseorang yang ingin sekali mengambil seluruh bagian rumah dan lahan itu. Padahal lahan luas itu sudah beliau sumbangkan untuk pembangunan masjid warga di sini. Beberapa kali orang itu menyusup dan menjual perabotan yang ada d rumah. Entah sudah berapa kali pula ia mencoba untuk  mengambil surat penting disana.Tadinya aku akan menugaskanmu untuk menjaga rumah dan lahan itu. Tapi kurasa kau tak begitu mampu."
"Saya minta maaf, pak." Ucap lelaki muda itu penuh sesal.
"Tak apa. Kau harus banyak belajar. Sebab, dunia kerja tak semudah yang kau fikirkan. Aku harap kau bisa menyampaikan amanah tanpa mengurangi atau melebihkan apa yang harus kau sampaikan, anak muda. Entah amanah itu berupa barang atau ucapan yang mesti engkau sampaikan." Nasihat Bapak itu.
"Aku tau, kau pasti membuang kertas kosong, daun, serta kunci yang ada di dalam amplop cokelat itu kan?" sambungnya.
"Iya benar, pak ."
"Kenapa?"
"Karna pikirku isi amplop itu tak sesuai untuk pencari kerja sepertiku."
"Bapak itu mengatakan kunci itu adalah kunci brangkas berisi surat-surat penting dan dedaunan itu ialah jenis tanaman yang ada di lahannya."
"Benarkah? Maaf pak, aku tidak tau soal itu."
"Aku hanya menyesalkan sikap mu yang tidak amanah dan jujur anak muda."
"Lalu bagaimana dengan pekerjaan saya pak?"
"Maaf anak muda, ini pun amanah yang harus aku laksanakan. Beliau berpesan, hanya orang yang berhasil membawa barang sesuai dengan amanah beliaulah yang boleh menjaga rumah dan lahannya."
"Tapi pak, aku butuh sekali pekerjaan. Aku janji tak akan melakukan hal itu lagi." Ucap lelaki muda itu berlutut.
"Iya nak, kau tak perlu berjanji padaku. Berjanjilah pada dirimu sendiri untuk bisa lebih baik. Jika niat mu tulus, aku yakin kau lekas mendapat pekerjaan yang lebih baik."
Lelaki muda itu sedih,
"Tak apa, rumah yg kau tempati itu milik ku. Tinggallah hingga kau mendapatkan pekerjaan baru. Nanti aku akan kesana mengunjungimu dengan anakku." Balas Bapak itu.
"Baik, terima kasih banyak pak."
"Iya sama2. Pulang dan beristirahat lah."
Lelaki muda itu mengangguk, kemudian ia pamit untuk pulang. Masih dengan perasaan sedih, ia keluar dari ruangan itu. Tubuhnya terasa lemas, bak seusai memikul sepuluh karung beras. Ia tak menyangka akan berakhir seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H