2. Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik terlihat jelas dalam kasus ini. Wafid Muharam menggunakan posisinya untuk memastikan bahwa PT DGI terpilih sebagai pemenang tender meskipun ada perusahaan lain yang lebih memenuhi syarat. Ini adalah contoh klasik dari penyalahgunaan diskresi yang dijelaskan dalam teori Klitgaard.
3. Aliran Dana Korupsi
KPK menemukan bukti aliran dana dalam bentuk cek senilai Rp 3,2 miliar saat menangkap Wafid Muharam. Selain itu, Nazaruddin diduga menerima fee sebesar 13% dari nilai proyek (sekitar Rp 24,9 miliar). Ini menunjukkan besarnya skala korupsi yang terjadi dalam proyek tersebut.
4. Peran Partai Politik
Keterlibatan Nazaruddin sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level birokrasi tetapi juga melibatkan partai politik. Ini memperkuat argumen Klitgaard tentang monopoli kekuasaan yang berkontribusi pada praktik korupsi.
5. Lemahnya Sistem Pengawasan
Fakta bahwa korupsi ini bisa terjadi dalam skala besar menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas dalam proyek-proyek pemerintah. Proses pengadaan tidak transparan dan minim kontrol membuat tindakan korupsi dapat dilakukan tanpa takut akan konsekuensi hukum.
6. Dampak Korupsi
Korupsi dalam proyek Wisma Atlet tidak hanya merugikan negara secara finansial (sekitar Rp 54,7 miliar), tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan sistem politik. Kerugian finansial tersebut seharusnya dapat digunakan untuk Pembangunan infrastruktur lain yang lebih bermanfaat bagi Masyarakat. Hal ini menunjukkan pentingnya pemberantasan korupsi untuk menjaga integritas institusi publik.
7. Respon Penegak Hukum