Meningkatkan program edukasi anti-korupsi bagi pejabat publik serta masyarakat umum untuk mengubah persepsi dan rasionalisasi terhadap praktik korupsi.
5. Penguatan Lembaga Anti-Korupsi
Memberikan dukungan lebih besar kepada lembaga seperti KPK dalam hal sumber daya serta wewenang untuk menangani kasus-kasus korupsi besar.
6. Reformasi Pendanaan Partai Politik
Mengatur ulang sistem pendanaan partai politik untuk mengurangi ketergantungan pada sumber dana ilegal.
7. Perlindungan Whistleblower
Memperkuat sistem perlindungan bagi pelapor kasus korupsi untuk mendorong pengungkapan praktik-praktik ilegal.
Kesimpulan
   Korupsi, yang berasal dari kata Latin "corruptio" atau "corruptus," mencerminkan tindakan kebusukan, ketidakjujuran, dan penyalahgunaan wewenang. Istilah ini tidak hanya merujuk pada penyalahgunaan keuangan, tetapi juga mencakup tindakan amoral lainnya yang merugikan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, korupsi telah menjadi masalah serius yang melibatkan berbagai aspek, termasuk budaya, hukum, dan politik.
   Budaya masyarakat Indonesia memainkan peran penting dalam mempengaruhi perilaku korupsi. Dari perspektif Robert Klitgaard, faktor monopoli dan diskresi dalam pengambilan keputusan serta kurangnya akuntabilitas menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi. Sementara itu, menurut Jack Bologna, tekanan ekonomi dan kesempatan yang luas untuk melakukan korupsi semakin memperburuk situasi.
   Rasionalisasi tindakan korupsi sering terjadi di kalangan pelaku karena mereka mencari pembenaran untuk tindakan tidak etis tersebut. Melalui teori pilihan rasional dan segitiga kecurangan, individu cenderung menilai manfaat dari korupsi lebih besar daripada risiko yang dihadapi. Budaya yang menganggap korupsi sebagai hal biasa semakin memperkuat proses rasionalisasi ini.