Arti dari formula tersebut adalah korupsi dapat terjadi jika terdapat adanya keleluasan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin, maka semakin tingga kewenangan sehingga semakin tinggi juga potensi terjadinya korupsi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat keleluasaan kewenangan tersebut adalah dengan melalui job description yang lebih jelas diikuti dengan proses monitoring dan evaluasi yang lengkap serta pertanggungjawaban yang jelas atas wewenang yang telah dilaksanakan. Dengan melalui pengendalian internal yang baik, didukung dengan proses evaluasi dari pemeriksa eksternal dan penyajian laporan keuangan yang lengkap maka, dapat semakin mengurangi keleluasaan kewenangan sehingga potensi terjadinya korupsi juga semakin menurun.
2. Teori Jack Bologna
   Jack Bologna mengatakan bahwa keserakahan dan ketamakan merupakan akar dari kasus korupsi. Ia menjelaskan isi teori ini dengan menggunakan akronim "GONE": Greedy (G), Opportunity (O), Needs (N), dan Expose (E). Jika keempat variabel ini digabungkan maka hal ini akan membuat seseorang dengan mudah melakukan tindak pidana korupsi. Keserakahan (greedy) yang didukung dengan terbukanya kesempatan yang lebar (opportunity), dan diperkuat oleh kebutuhan (needs) akan menggerakkan keinginan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Keinginan untuk melakukan korupsi ini juga diperkuat oleh kondisi hukum yang tidak jelas dan memberikan hukuman terlalu ringan (expose) bagi para pelaku korupsi, sehingga tidak menimbulkan efek jera.
  Teori ini kelihatan sangat tepat untuk menggambarkan situasi korupsi di Indonesia saat ini. Secara umum, korupsi itu terjadi melalui empat variabel ini. Kebutuhan dan keserakahan seseorang untuk melakukan korupsi semakin dipermudah oleh kesempatan yang didapatkan seseorang sebagai pejabat yang menempati posisi atau jabatan pada suatu tempat atau lingkungan bekerja. Posisi dan jabatan ini membuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Kesempatan ini didukung oleh jeratan hukum pidana yang tidak sebanding dengan keuntungan besar yang didapatkan seseorang dari perbuatan korupsi, serta perilaku para penegak hukum yang dengan mudah bisa disuap dengan tujuan meminimalisasi hukuman yang akan diberikan kepada pelaku korupsi.
Apa Peran Budaya Masyarakat Dalam Mempengaruhi Perilaku Korupsi di Indonesia Menurut Analisis Robert Klitgaard dan Jack Bologna?
   Budaya masyarakat memiliki peran yang signifikan dalam mempengaruhi perilaku korupsi di Indonesia. Dalam konteks ini, analisis oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana budaya dapat membentuk perilaku individu dan kolektif dalam menghadapi korupsi. Berikut adalah penjelasan tentang peran budaya masyarakat dalam mempengaruhi perilaku korupsi di Indonesia berdasarkan pendekatan kedua ahli tersebut.
- Pendekatan Robert Klitgaard
Robert Klitgaard, dalam teorinya mengemukakan bahwa korupsi dapat dijelaskan melalui rumus:
Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas
Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, beberapa aspek penting dapat dianalisis:
1. Monopoli
Budaya paternalistik yang kental di Indonesia menciptakan hubungan patron-klien di mana pejabat publik sering kali memiliki kekuasaan yang besar dan tidak terkontrol. Hal ini memungkinkan terjadinya monopoli dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sumber daya. Masyarakat cenderung menerima keputusan dari pemimpin tanpa mempertanyakan keabsahan atau transparansi proses tersebut.