Mohon tunggu...
De Thasia
De Thasia Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Creativity is an art.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Liontin

19 Agustus 2023   15:44 Diperbarui: 19 Agustus 2023   15:50 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

PAGI itu kukayuh sepeda kesayanganku berputar mengelilingi taman di sekitar komplek tempat Omku tinggal. Ketika aku akan berhenti di sebuah pohon rindang, tiba-tiba sebuah sedan hitam dari arah berlawanan dan berkecepatan lumayan tinggi sengaja menyerempetku. Aku pun berusaha menghindar. Tapi jalanan yang licin karena hujan tadi malam, membuatku terjatuh juga.

BRAK!! "AUW!!" Aku mengelus-elus kakiku yang kesakitan.

Kulihat dua orang pria berpakaian serba hitam turun dari mobil yang ternyata berhenti. Mereka datang menghampiriku dan menodongkan sebuah benda tajam.

"SERAHKAN LIONTIN KAMU...!! CEPAT...!!" teriak si pria bertubuh agak pendek daripada temannya. Mereka berusaha merogoh isi kantong celana dan bajuku.

"LI...LI...LIONTIN APA? SAYA NGGAK PUNYA LIONTIN?!" Aku terus memberontak, tapi mereka terus memaksa. Padahal aku langsung teringat dengan Liontin perak berbentuk hati yang lupa kupakai setelah mandi kemarin sore.

"ALAA...NGGAK USAH PURA-PURA KAMU!! CEPAT SERAHKAN!" Si pria yang bertubuh lebih tinggi akhirnya ikut berteriak karena kesal tidak menemukan apa yang dicarinya.

Wajah mereka tidak begitu jelas karena mereka memakai topeng berbahan wol. Hanya mata, lubang, hidung dan mulut mereka yang terlihat. Untung saja aku berhasil meraih beberapa batu dan melemparinya ke tubuh mereka. Tentu saja mereka berusaha menghindari lemparan batuku. Aku pun mengambil kesempatan ini untuk melarikan diri dan pergi sejauh--jauhnya. Hari itu sebenarnya aku ragu untuk bersepeda. Karena semalam hujan deras mengguyur kota Bogor dan baru berhenti pagi ini. Biasanya taman di komplek Omku ramai, tapi kali ini pasti sepi. Soalnya orang-orang malas keluar rumah setelah hujan baru turun. Hampir tidak ada seorang pun yang berada di taman. Kecuali aku yang memang tidak pernah betah berada di rumah Omku--yang penuh dengan barang-barang antik koleksinya--yang sedang pergi tugas keluar negeri. Menurutku, barang--barang itu hanya membuat pusing kepala dengan bentuknya yang beraneka macam. Mulai dari yang menakutkan sampai yang tidak jelas, apakah itu patung manusia atau hewan? Rasanya liburanku kali ini tidak akan terasa nyaman dengan kejadian yang baru kualami tadi pagi. 

*****

"TERUS lo nggak lapor satpam atau polisi, Va? Nyam...nyam..." Ana masih terus mengunyah permen karetnya.

"GILA LO, AN! Ngemil sih ngemil tapi permen gue jangan dihabisin dong!" Aku setengah berteriak karena setoples permen karetku hanya tinggal separuh. Ana memang sahabatku yang paling gemuk diantara kami bertiga dengan hobi makannya. Untungnya dia memiliki model rambut yang membuat pipinya tidak terlihat tembam. Ana meringis kesakitan karena tangannya kucubit.

"AUW! Sakit tahu?" Ana mengelus-elus lengan kirinya.

"Lagian elo juga sih yang rese'... masa' permen buat sebulan lo abisin dalam sehari?"

"Abis enak sih...he...he...he...!" Ana malah cengengesan. "Trus...kapan lo mau lapor polisi?"

"Belum waktunya gue lapor polisi atau satpam, An. Secara gue penasaran dengan maunya mereka, ini kan cuma Liontin biasa. Kenapa mereka segitu ngejarnya ya??" Aku keheranan.

Liontin perak berbentuk hati yang kuletakkan di nakas dan lupa kupakai setelah kulepas kemarin sore karena nggak mau basah saat mandi, hanya kubolak-balik saja. Ana ikut mengamati Liontin yang sedang kuamati.

Di kedua sisinya cuma ada fotoku dan Mama saja, nggak ada yang istimewa?? Tapi kenapa mereka sangat menginginkannya ya? pikirku.

"Mungkin itu perak asli, Va?"

"Nggak tahu deh? Bisa jadi? Tapi kenapa mereka cuma mau Liontin ini ya? Kenapa mereka nggak mau dompet atau gelang gue? Pasti ada apa-apanya?"

TOK...TOK...TOK...!! Kudengar suara ketukan di pintu kamarku.

"MASUK! NGGAK DIKUNCI KOK!" teriakku.

Ternyata Ela-sahabatku yang satu lagi-yang datang. Ela lebih langsing, selangsing Paris Hilton. Apalagi jiwa modisnya tidak pernah pudar. Terutama gaya rambutnya yang selalu gonta-ganti setiap bulan. Kali ini gaya rambut Demi Moore yang sedang trend di kalangan anak muda, mulai diikutinya. Sementara aku tetap feminin sesuai dengan kepribadianku yang melankolis tapi tetap berusaha untuk mandiri. Tidak manja seperti Ana yang memang menjadi anak semata wayang di keluarganya.

"Hai! Gimana? Udah siap shopping kita hari ini? Mau nonton apa nih?" Dengan semangatnya Ela langsung duduk di samping Ana. Dia langsung menyambar toples berisi kacang goreng yang sengaja kubawa dari rumah.

"Semangat banget lo, La?! Ada juga Ulva nih yang baru ketiban musibah. Udah diserempet, ditodong, sepeda ketinggalan pula, nyam...nyam..." Ana mengambil beberapa kacang goreng lalu melempar sebutir demi sebutir kacang gorengnya ke udara lalu berhasil menangkap dengan mulutnya.

SYUT...PLUNG....Kriuk...kriuk....!!

"HAH?! Tapi lo baik-baik saja kan, Va?" Ela meraba-raba tangan dan kakiku yang sudah jelas terlihat baik-baik saja.

Pliss deh?! Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil menutup pintu kamar yang masih terbuka lebar. Pasalnya aku kurang suka berada di kamar dengan pintu yang terbuka. Mengganggu privacy saja.

*****

 ANA dan Ela adalah sahabatku sejak SMP. Saat di bangku SMU kami tetap satu sekolah meskipun berbeda kelas. Hingga sekarang kami baru berbeda kampus karena kami memilih fakultas yang kami sukai. Ana di fakultas ekonomi manajemen, Ela di fakultas kedokteran, sedangkan aku lebih suka mengambil jurusan sekretaris di sebuah tempat dimana kami biasa hangout. Sekarang kami sedang menghabiskan liburan akhir tahun yang lumayan panjang sambil menunggu rumah Omku yang kosong. Maklum, Tanteku dan anak--anaknya sedang ikut Omku yang mendapat tugas dari kantornya ke negeri 'Paman Sam' selama setahun.

KAMI pun saling bercerita tentang perjalananku ke Bogor, kemudian Ana, disusul Ela yang baru sampai karena rumahnya yang paling jauh.

"Ya sudahlah kita berangkat sekarang, tapi apa lo nggak capek, La? Kan lo baru sampai?" tanyaku sambil memakai Liontin pemberian Omku. Ini hadiah ulang tahunku yang kedua puluh beberapa bulan yang lalu.

"Yaa! Sedikit sih, tapi lo kan tahu gue..."

"Paling nggak betah diam di rumah!!" jawabku dan Ana bersamaan.

"Dasar dokter gaul...!!" kataku sambil mengambil tas di nakas.

"Eh, calon dokter deh! He...he...he...!!" kataku lagi.

 *****

DI dalam mobil....masih di halaman rumah Omku.

"Eh, Va! Tadi gue lihat ada yang ngintip tuh di balik pohon cemara dekat pos satpam. Gue pikir satpam, tapi waktu gue lihat lagi kayaknya bukan deh?" Aku dan Ana yang duduk di sampingku, hanya saling bertatapan terdiam membisu.

"Nanti gue ceritain di jalan deh La, tapi lo jangan kaget ya?!" Aku mulai menyalakan mesin mobil yang sudah kupanaskan sebelumnya, jadi kami bisa langsung berangkat.

"YAA...jadi kita nggak bisa kemana-mana dong kalo begitu ceritanya? Kenapa nggak lo cari satpam aja sih, Va? Gue kan paling benci kalau harus 'nongkrong' di rumah saja seharian?!" Ela merengut kesal setelah mendengar apa yang kualami tadi pagi.

"Toileet kale 'nongkrong'? Sekali-kali nggak apa-apa dong, La? Nanti lo pinjam film sebanyak-banyaknya yang lo suka deh, La!! Daripada buat bayar satpam, kasihan kan mereka juga pengen liburan. Begadang begadang deh sekalian..." candaku sambil terus konsentrasi pada jalanan yang mulai basah dengan hujan yang rintik--rintik.

"Duuh, bisa nggak sih Bogor bebas dari hujan, sehariii saja..."

"Ini lagi...dasar anak Mami lo, An!! Emang kenapa sih kalau hujan?" kesalku. Aku paling tidak suka dengan orang yang suka mengeluh. Meskipun mereka sahabat yang kadang menyebalkan, tapi mereka tetap sahabatku yang paling setia.

"Yaa...!! Lo kan tau sendiri kalau gue....."

"Paling nggak tahan sama udara dingin!!" ledekku dan Ela bersamaan.

"Tahu gitu lo nggak usah ikut deh An, mending lo tidur sama nyokap lo sana!!" Ela mulai kesal dengan rengekan manja Ana yang mulai kambuh. Kalau sudah seperti itu, pasti Ana merengek seperti anak kecil.

"An lo kan udah...... " 

CIIITT.....!! Belum selesai aku bicara, mendadak ku-rem mobilku karena ada sebuah mobil yang menyalip seenaknya. Ana dan Ela berteriak saking kagetnya.

"ADUH!!" Keduanya mengelus kepala mereka yang terantuk.

"Siapa sih tuh main nyalip seenaknya saja? Emang ini jalanan punya nenek moyang lo apa?" kesalku sambil turun dari mobil.

Tapi sepertinya aku mengenali mobil itu?? Kubiarkan tubuhku basah terkena rintik hujan. Apa mobil itu yang menyerempetku tadi pagi ya? pikirku keheranan.

"Siapa, Va?" Tiba-tiba Ela sudah berdiri di sampingku, sementara Ana tetap berada di dalam mobil. Dia bergidik ketakutan.

"Nggak tahu?? Tapi kayaknya sih mobil yang gue ceritain tadi pagi??" Aku masih memandang mobil hitam itu dari kejauhan.

"Lo nggak ingat plat nomornya, Va?" Ela juga memandang dari kejauhan.

"Mana sempet La, kejadiannya kan cepat banget?!" Aku masuk kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan. Ela ikut masuk ke dalam mobil.

"Kayaknya kita jadi begadang benaran nih kalau begini caranya. Kenapa nggak lo telepon Om lo sih, Va?? Siapa tahu dia..."

"Lo kayak nggak tau Ulva saja sih, La?! Kalau sudah penasaran pasti dia cari tahu sendiri!" Ana hanya bisa memeluk bantal yang sengaja kuletakkan di dalam mobil. Sementara aku hanya bisa diam sambil memikirkan apa rencana selanjutnya? Akhirnya kami sampai juga di tempat penyewaan film langganan Omku.

*****

ANA masih tertidur lelap, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Ela sedang bersiap--siap membuat sarapan pagi. Semua bahan-bahannya sudah kusiapkan di dapur. Aku ikut membantu Ela, tapi tiba-tiba saja telepon berbunyi.

KRIING...!! Ketika akan kuangkat dering telepon itu berhenti. Aku pun kembali ke dapur. Tapi belum sampai ke dapur, telepon itu berbunyi lagi dan mati lagi saat akan kuangkat.

"Siapa sih yang iseng pagi-pagi begini??" Aku mulai kesal.

KRIING...!! Akhirnya kudiamkan saja ketika telepon itu berbunyi lagi. Sampai Ana yang masih tidur, mulai bangun dari mimpinya. Dia menggeliat di ruang tengah, tempat kami menonton film sampai terlelap tidur. Hanya ada permadani tebal dan beberapa perangkat home theater milik Omku di sana.

"Wah, enak nih baru bangun langsung sarapan!" ledek Ela sambil membawa sepiring roti bakar dan secangkir kopi susu ke ruang tengah. Dia langsung menyalakan TV. Sementara itu telepon iseng tadi sudah berhenti berdering.

Kayaknya sudah capek tuh orang nelepon terus?? pikirku lega.

"Ih, curang!! Kok nggak bikinin kita kopi susu sekalian, La?" Ana mengucek sebelah matanya. Lalu masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah dapur.

"Tangan gue cuma dua tahu!" Ela mulai menyeruput kopi susu yang masih panas.

SLRRUUUP....!! "AUW!!" Ia berteriak karena lidahnya kepanasan.

"Kan ada nampan, La...!! Makanya jangan egois, kualat deh lo!" Aku membawa kopi susu yang tertinggal di meja dapur.

"Eh, La! Kira-kira siapa ya yang iseng pagi-pagi begini?" Aku mengaduk-aduk kopi susu kepunyaanku. Sementara kopi susu Ana kuletakkan di sebelahku. Kami menonton Tom & Jerry sambil menikmati sarapan pagi.

"Orang yang kemarin kali Va, kalo Om lo kan nggak mungkin. Kayak nggak ada kerjaan saja. Tapi kalo lo penasaran sih...telepon saja Om lo, beres kan!" Ela mulai melahap roti bakarnya.

"Tapi kalau bukan Om gue gimana dong? Trus dia nanya macam-macam? Kan gue nggak mau dia panik, La?!" Ffuuh...!! Aku meniup kopi susu panasku supaya cepat dingin.

"Ya sudah! Kalo gitu diemin saja, nanti juga bosen sendiri tuh orang!" Tiba-tiba Ana ikut menimpali setelah keluar dari kamar mandi. Dia pun ikut bergabung menikmati sarapan pagi.

*****

SORE itu, seperti biasa aku dan teman-temanku bersiap-siap untuk mencari makan malam. Tapi berhubung hujan turun deras sekali, akhirnya aku memutuskan untuk delivery saja. Apalagi yang dipesan Ela, kalau bukan satu paket pizza lengkap dengan soft drink kesukaannya sedari kecil. Meskipun cuaca dingin seperti ini dia tetap saja minum minuman dingin. Sementara Ana lebih menyukai roti burger panas dan segelas susu coklat hangat, untuk tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan.

"BRRR...!!" Tapi berhubung di dapur ada persediaan untuk membuat roti burger, akhirnya dia masak sendiri roti burger kesukaannya.

"Lo pesan apa, Va?" Ana sudah memakai sweater dan topi kupluk serta kaos kaki super tebal.

"Gue sih seperti biasaa! Kalo hujan-hujan begini, mie rebus abang depan komplek juga jadi. Tapii...kayaknya nggak jual deh, deras begini hujannya??" Aku mengintip dari balik jendela depan rumah Omku.

Saat kusibakkan tirai tipis yang menutupi jendela, kilat menyambar dari kejauhan. Aku pun menjauh dari jendela sambil bergidik ketakutan, tapi kudekati lagi jendela itu. Samar-samar terlihat seseorang berpakaian serba hitam di dalam pos satpam yang letaknya persis di depan rumah Omku. Pos itu memang sudah lama tidak dipakai lagi sejak dipindah ke tempat yang lebih ramai dan lebih mudah memantau ke segala arah. Sekali lagi kuintip, kali ini sosok itu menjadi dua orang.

Kalau nggak salah lihat tadi sih cuma satu orang?? Lagi ngapain ya mereka? Hujan--hujan begini lagi?? pikirku sambil merengut keheranan.

"DOR...!! Lagi ngapain sih lo, Va? Dari tadi gue tungguin nggak balik-balik? Udah mulai tuh filmnya..." Tiba-tiba Ela sudah ada di sampingku, ikut mengintip dari balik jendela.

"Eh, ng...nggak ada apa-apa kok?? Udah pesan belum makanannya? Jangan lupa lasagna pesanan gue..." Aku kembali ke ruang tengah untuk menonton film yang baru mulai. Ela menyusulku.

"Oke bos, pokoknya semua pasti beress!!" Ela memberi salam hormat seperti tentara.

TAK berapa lama kemudian, akhirnya hujan berhenti juga. Pengantar pizza itu datang membawa pesanan kami. Ternyata Ana yang masih kelaparan ikut mencicipi pesanan kami. Mungkin karena roti burgernya terlalu sedikit untuk porsi seorang Ana. Maklum, stoknya terbatas karena kami belum pergi berbelanja lagi.

Hi...hi...hi...!! Kasihaaan deh lo, An! Aku dan Ela tersenyum geli.

"Untung gue pesan yang porsinya gede, jadi nggak kekurangan deh kita, nyam...nyam..." Ela mulai melahap pizzanya.

"Gue minta lasagnanya dong, Va? Masih laper nih..." pinta Ana sambil memegang perutnya yang mulai membuncit.

"Ana...Ana....?! Hobi makan lo nggak hilang juga ya?!" Nyam...nyam... Ela terus menyantap pizzanya sampai habis. Sementara aku hanya bisa tersenyum geli. 

*****

KEESOKAN paginya, sekitar pukul delapan pagi. Ela masih sibuk membersihkan kamar mandi, sementara Ana asyik membuat masakan karangannya sendiri yang katanya paling enaak sedunia?? Sedangkan aku, masih menikmati membersihkan mobil yang sudah hampir seminggu tidak dicuci. Rencananya hari minggu yang cerah ini akan kami nikmati dengan mengunjungi air terjun Ciwidey yang terkenal sejuk dan indah. Ketika sedang asyiknya mengeringkan bagian belakang mobilku yang sudah bersih, tiba--tiba beberapa batu kerikil menyambar pundak dan punggungku.

TUK..TUK...TUK...!! Lalu mennyentuh bemper mobilku yang masih mulus. Spontan, kutengok darimana arah batu itu datang? Aku pun mengarahkan pandanganku ke pos satpam di depan rumah Omku. Dari kejauhan aku lihat tidak ada apa--apa. Karena penasaran, kudekati saja pos satpam tersebut. Sampai akhirnya kutemukan beberapa botol air mineral yang berserakan dan kelihatannya masih baru diminum. Ketika aku kembali ke rumah Omku yang masih terbuka pintu pagarnya, aku terkejut dengan tulisan berwarna merah yang kulihat di kaca belakang mobilku. Di sana tertulis.....

"LIONTIN ATAU MATI...!!" Spontan, aku berteriak memanggil kedua sahabatku yang masih sibuk di dalam.

"ANAA...ELAA...!!"

Mereka berdatangan. Tapi aku sampai tak bisa menahan geli ketika kulihat Ela masih memegang sikat kamar mandi, sedangkan Ana masih memakai celemek dan memegang codet untuk menggoreng. Mereka justru keheranan melihat sikapku.

"Kenapa, Va??" tanya mereka bersamaan.

"Ituu...!" Aku menunjuk ke arah mereka.

Setelah menyadari keadaan mereka, baru mereka mengerti. Akhirnya kami tertawa bersama.

"Hi...hi...hi...!!"

Tapi akhirnya, kami kembali pada kaca mobil belakangku yang bertuliskan kata--kata aneh.

"Wah wah wah, apa maksudnya nih?? Ini sih nggak bisa didiamin terus, Va. Nanti lama--lama mereka berani masuk ke rumah lagi?! Terus kita lagi nggak ada atau lagi tidur teruss......" Ela bertolak pinggang.

"ELA! Udah dong jangan nakut--nakutin gitu!" Ana menyenggol tangan Ela dengan tangannya yang masih memegang codet.

"Hari ini kita nggak jadi lihat air terjun deh, gue penasaran sama Liontin ini?? Sory, ya!!" Aku masuk ke dalam rumah dan melepas Liontin yang ada di leherku. Sementara itu Ela dan Ana berlari mengejarku.

*****

"LO mau ngapain, Va??" tanya Ela dan Ana ketika kami berada di dalam kamarku.

"Pintu pagar udah gue tutup belum ya?" tanyaku. Ela mengangguk perlahan.

"Pintu rumah?" tanyaku lagi. Kali ini Ana yang mengangguk. Lalu kubuka perlahan penutup Liontin yang kelihatannya terbuat dari perak asli itu. Secara aku belum mengeceknya langsung di toko emas. Tapi kata Omku sih Liontin ini khusus dipesannya di sebuah toko emas. Kemudian kubuka lagi bingkai yang menutupi fotoku dan Mama. Kuambil foto itu lalu kuperiksa, ada apa di dasar Liontin yang tertutup fotoku dan Mama selama ini? Setelah kuperhatikan, ada tombol kecil di masing-masing bingkai kiri dan kanan Liontin tersebut. Ketika kutekan tombol yang di sebelah kanan, tidak terjadi apa-apa. Tapi samar-samar seperti terdengar suara benda yang menggeser?? Aku pun memiringkan kepalaku supaya lebih jelas mendengar bunyi suara tadi.

"Kalian denger sesuatu nggak?" Ana dan Ela menggelengkan kepalanya bersamaan.

"Kalian pasang kuping baik-baik deh?" Aku menekan tombol itu lagi, samar-samar terdengar suara benda menggeser lagi.

"Denger nggak?" Ana dan Ela menganggukkan kepalanya seperti manggut-manggutnya burung perkutut. Tapi ketika kucoba tombol yang sebelah kiri, apa yang terjadi kemudian? Lemari buku di dalam kamarku menggeser ke kiri perlahan-lahan?!

KREEK...!!! Spontan, kami bertiga saling berpandangan dan mendekati lemari yang sudah terbuka lebar. Kami melihat lubang gelap yang kini menganga lebar di hadapan kami.

"Gelap banget?" tanyaku. Aku segera mengambil senter dari dalam nakas. Lalu mengarahkannya ke dalam lubang itu. Di sana ada tangga yang menurun jauh ke bawah, belum kelihatan ujungnya ada di mana?

"Lo mau ngapain, Va?" Ana menahanku ketika aku akan masuk ke dalam ruangan yang gelap dan turun ke bawah.

"Ya turunlah!! Masak mau tidur? Kalo lo takut, lo tunggu di sini saja, An!! Biar gue sama Ela saja yang turun..." Aku mulai menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati. Ela mengikutiku dari belakang, sementara samar-samar Ana berpesan pada kami untuk berhati-hati.

Kelihatannya tangga yang terlihat curam itu terus memutar turun ke bawah. Akhirnya kami tiba di ujung anak tangga yang kami turuni. Di sana ada tembok tinggi yang menghalangi kami. Aku meraba-raba tembok tersebut untuk mencari sesuatu yang bisa membuka tembok tersebut. Karena tidak ketemu, entah dapat pikiran darimana, spontan kutekan tombol pada bingkai Liontin yang sebelah kanan. Ajaib!! Tembok itu menggeser ke atas.

KREEK...!!! Aku dan Ela saling berpandangan. Rupanya suara tembok ini yang tadi kami dengar dari atas. Di dalamnya terdapat ruangan yang lumayan luas. Ketika aku berusaha mencari tombol lampu yang bisa dinyalakan, tiba-tiba kakiku terantuk sesuatu.

KLIK! "AUW!"

"Hati-hati, Va!" Ela mengingatkanku.

Sebuah lampu menyala, kulihat di sekeliling ruangan itu terdapat sebuah tempat tidur, lemari pakaian dan sebuah buffet yang terlihat seperti peti tempat menyimpan barang-barang.

Kayaknya sih aku kesandung buffet itu tadi?? pikirku. 

*****

AKU dan Ela secara bergantian berusaha membuka peti tersebut dengan beberapa peralatan bengkel milik Omku yang kuambil dari garasi mobilnya. Sementara Ana yang sebelumnya tidak berani turun, kini ada diantara kami berdua. Dia hanya menyaksikan usaha kami berdua, bersusah payah membuka gembok yang mengunci cukup keras pada peti itu. Tentu saja sambil makan keripik kentang kesukaannya.

Kelihatannya peti itu sudah lama ada di situ?? pikirku. Secara banyak debu yang berserakan dimana-mana, Ana saja sampai bersin tak henti-hentinya.

"HATSYII...!! HATSYII...!! HATSYIII...!!" Aku dan Ela cuma tersenyum geli.

"Makanya jangan makan doang lo, An! Bantuin dong!!" ledek Ela sambil menahan senyum.

Akhirnya setelah usaha kami yang kesekian kalinya, Ela berhasil membuka gembok tersebut. Tanpa berpikir panjang lagi, kami segera membuka penutup peti yang lumayan berat.

CLIIING...!!! Mata kami silau terkena pemandangan di depan kami bertiga. Spontan, kami memicingkan mata kami sambil menghalaunya dengan lengan kami.

Bagaimana nggak silau? Kalau benda--benda yang berkilauan itu adalah barang--barang antik yang terbuat dari emas asli!! Hare gene masih ada harta karun terpendam?! Benar-benar Om yang aneh?! Dimana--mana sih duit yang disimpan? Ini sih barang antik nggak penting begini masih disimpan sama Om Danu?! Om Danu.....Om Danu? Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

"PANTESAN...!!" teriak kami bertiga bersamaan. Kami pun mengamati barang antik itu. Semuanya berbentuk peralatan rumah tangga. Mulai dari piring, gelas sampai sendok garpu semuanya terbuat dari emas asli.

"Om lo benar-benar suka sama barang antik ya, Va?!" ujar Ela sambil mengamati sebuah gelas.

"Ya gitu deeh!!" jawabku singkat sambil terus memperhatikan barang-barang antik tersebut. 

*****

SAAT itu juga langsung kutelepon Omku yang mungkin sedang pergi? Karena waktu di Bogor menunjukkan pukul sepuluh pagi, di sana pasti sekitar pukul tiga sore.

"Nggak ada yang angkat??" Aku menutup gagang telepon.

"Trus gimana dong, Va?? Emang Om lo nggak pernah cerita soal ini semua?" Ana menyalakan volume TV lagi. Di tangannya masih ada sebungkus keripik kentang yang tinggal separuh.

"Kalo gue tau, gue nggak bakalan penasaran kalee!!" kesalku.

"Tahu nih Ana, trus rencana lo selanjutnya apa Va? Gimana kalau bandit--bandit itu masih ngincer lo, secara Om lo belum bisa dihubungi? Apa lo masih belum mau lapor polisi juga?" Ela langsung menyerbuku dengan bermacam-macam pertanyaan. Mungkin dia sangat kesal dan penasaran dengan bandit-bandit itu.

"Tapi barang-barang tadi kan nggak tahu legal apa nggak, La? Cuma Om gue yang tahu. Sementara nunggu sampai Om gue berhasil dihubungi, gue akan nyoba ingat-ingat lagi kenapa mereka sampai tau kalau gue punya Liontin ini?? Trus, kenapa mereka nggak berhenti neror gue??"

Suasana hening seketika. Aku mulai berpikir. Kulihat kedua orang temanku ikut berpikir. Mereka mondar mandir layaknya seorang detektif sedang mencari jalan keluar sebuah masalah.

"Kalau gue ingat-ingat sih.....pisau yang mereka pakai waktu nodong gue di taman....hampir sama dengan pisau yang ada di dapur Om gue. Berarti pelakunya kan orang dalam?? Atau seenggaknya orang yang pernah kerja di sini, tul nggak ??" Kulihat Ana dan Ela hanya diam terpaku mendengarkan penjelasanku.

"Kalau kalian nggak percaya, coba saja hitung pisau yang ada di dapur!! Pasti cuma ada lima, harusnya kan enam!! Soalnya setahu gue, Tante gue kalau beli barang yang lusinan pasti dibelinya cuma setengah lusin. Maklum, dia orangnya kalau ngomong juga setengah-setengah!" kataku yakin. Sementara Ela dan Ana cuma bengong mendengarkan. "Eh, kok jadi ngomongin Tante gue sih??" Aku menutup lemari dari depan pintu kamar diantara ruang tengah dan kamar. Rupanya Liontin ini sudah seperti remote untuk memindahkan channel TV.

KREEK...!!! Lemari menggeser ke kanan. Ela dan Ana sampai terkejut dibuatnya.

"Tapi lo kan nggak bisa nuduh orang sembarangan gitu, Va?"

"Tahu nih, siapa yang tahu kalo tetangga sebelah juga pakai pisau yang sama?!" Ana sependapat dengan Ela.

"Tapi yang pakai pisau buatan negeri 'Paman Sam' kayaknya cuma Tante gue kalee...!!" Aku tersenyum kecil, sementara Ela dan Ana hanya saling berpandangan kebingungan.

"Siapa tahu pisau Tante lo hilang? Sok tahu lo ah?!" Ela merebahkan tubuhnya yang lelah di permadani. Rupanya AC di rumah Omku cukup membuatnya nyaman setelah lelah membuka peti tadi.

"Terserah lo deh! Kita lihat saja nanti!!" kataku sambil berlalu untuk mengembalikan peralatan bengkel Omku ke tempatnya semula. Sementara Ana masih terus menikmati camilannya sendirian. 

*****

AKHIRNYA dua orang polisi berpakaian preman datang. Aku juga berhasil menghubungi Omku. Dia langsung datang ke Jakarta tanpa Tante dan Keponakanku yang lucu-lucu. Katanya sih supaya mempercepat proses penangkapan bandit-bandit itu, suasana rumah harus sepi dari anak kecil.

"Jadi rencananya sampai kapan Bapak akan memantau dan memancing pencuri itu datang untuk memasuki rumah ini??" tanyaku setelah bercerita panjang lebar dari awal sampai kami menemukan emas-emas itu.

"Yaa...kita beri waktu sekitar dua harilah!! Kalau mereka nggak datang juga, sebaiknya Bapak Danu segera pindah dari rumah ini. Jangan lupa untuk mengosongkan semua barang-barang yang ada di rumah ini...!!" tunjuk salah seorang polisi yang memakai jaket kulit hitam. Sementara temannya yang satu lagi-yang memakai jaket kulit coklat-masih sibuk mengamati sekeliling rumah Omku, mencari petunjuk.

"Tapi di sana (Apartemen yang sekarang Omku tempati sebagai rumah dinasnya di negeri Paman Sam) nggak cukup tempat Pak untuk menyimpan semua barang-barang yang ada di rumah ini?? Kecualii...." Tiba-tiba Omku terlihat memikirkan sesuatu.

*****

KEESOKAN malamnya, kami segera mematikan semua lampu begitu malam tiba. Hanya lampu depan rumah yang dinyalakan. Setelah semuanya selesai, kami segera mengunci pintu rumah dan mulai tidur seperti biasanya. Tapi kali ini kami tidur bertiga di kamarku. Suasana hening sekali. Sesekali terdengar suara kucing yang mengeong dan anjing yang menggonggong dari kejauhan. Kulihat jam menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tak ada seorang pun dari kami yang bisa tidur nyenyak. Ana dan Ela nampak gelisah, begitu juga denganku. Di luar pasti kedua polisi itu juga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Apalagi Omku? Menurut penelitianku selama dua hari terakhir ini, bandit-bandit itu tiba-tiba datang selama kurang lebih selang satu hari. Jadi kami memastikan mereka akan datang lagi malam ini. Setelah kemarin tidak ada tanda-tanda teror dari mereka.

WAKTU terus berjalan menunjukkan pukul dua pagi, kulihat Ana dan Ela mulai tertidur. Tanpa mereka sadari mereka tidur berpelukan seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Sementara aku belum bisa memejamkan kedua mataku. Karena merasa bosan dan penasaran, aku pun berjalan perlahan menuju pintu kamar dan mengintip dari sana. Kulihat dua orang polisi yang ikut berjaga-jaga di ruang tengah juga masih belum bisa tidur. Samar-samar terdengar suara kucing yang mengeong mencari mangsa, lalu suara burung hantu milik tetangga sebelah. Membuat suasana agak mencekam seketika.

Kok kayak cerita detektif di film-film aja sih?? pikirku.

Sampai akhirnya terdengar seperti suara orang yang melompat dari balik pagar. Kulihat kedua polisi itu mulai bersiap-siap dari balik jendela di sebelah pintu ruang tamu yang ada diantara jendela. Dengan segera kubangunkan Ela dan Ana perlahan-lahan. Meskipun agak sulit membangunkan mereka, tapi akhirnya bangun juga. Aku, Ela dan Ana yang masih mengucek kedua matanya mengintip dari balik pintu kamar. Sementara Omku sudah berada di samping kedua polisi itu. Rupanya Omku juga terus berjaga-jaga. Akhirnya aku memutuskan untuk mengintip dari balik ruang tengah. Hanya tembok yang menghalangi antara ruang tengah dan ruang tamu. Kedua sahabatku mengikutiku dari belakang. Lagi-lagi Ana yang penakut nampak bergidik ketakutan. Sementara Ela masih berusaha menahan kantuknya sambil berdiri terantuk-antuk di belakangku. Wajah mereka kelihatan tegang sekali, tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Ketika pintu depan ruang tamu mulai ada yang membuka, kedua polisi itu semakin bersiap-siap. Setelah pintu itu berhasil dibuka paksa oleh mereka. Mereka mulai mengendap-endap masuk ke dalam rumah, dengan segera polisi itu menyergap mereka.

"ANGKAT TANGAN!!" teriak kedua orang polisi itu sambil menodongkan pistol mereka. Omku menyalakan tombol lampu yang letaknya tak jauh darinya. Terlihat kedua orang bertopeng itu memohon ampun sambil menundukkan wajah dan mengangkat kedua tangan mereka. Mereka berusaha melawan, tapi bukan pak polisi namanya kalau mereka tak bisa membekuk kedua orang bertopeng itu.

"A...A...AMPUN PAK!!" teriak mereka. Kedua polisi itu langsung merebahkan tubuh mereka di lantai sambil memborgol kedua tangan mereka di belakang punggung mereka masing-masing. Omku yang penasaran langsung membuka topeng mereka.

"Siapa yang menyuruh kalian meneror keponakan saya??" tanya Omku dengan galak.

"Ba...Bayu...Pak!" jawab si pria bertubuh jangkung.

"Kok lo ngasih tahu sih? Nanti kalau Bos marah gimana?" kesal si Pria bertubuh lebih pendek.

Takut kalau nanti Bos mereka memecat mereka kali? Aku, Ela dan Ana hanya menahan geli.

"HEH! DIAM KAMU! SIAPA YANG SURUH KAMU NGOMONG!" bentak pak polisi berjaket kulit coklat. Bandit bertubuh pendek itu langsung terdiam. Sementara si jangkung bergidik ketakutan. Mungkin terbayang di kepalanya sebuah penjara yang sangat tidak diinginkannya.

"Dia mantan supir saya pak! Dia memang baru saja minta berhenti dari pekerjaannya, katanya sudah bosan dan ingin mencari pekerjaan yang lain!" jelas Omku apa adanya.

"Tapi bagaimana dia bisa tahu kalau dari Liontin ini bisa ditemukan barang-barang antik di ruang bawah tanah tadi?!" tanya polisi berjaket kulit hitam. Sementara kedua bandit itu sudah dibawa ke mobil polisi yang dimasukkan ke dalam garasi rumah. Di sana sudah menunggu beberapa anak buah pak polisi yang bersembunyi di dalam garasi.

"Bayu memang tahu kalau saya menemukan barang-barang antik itu di sebuah pulau. Waktu itu saya sedang menyelam seorang diri tanpa anak dan istri saya. Di sana ada kapal yang karam dan tenggelam. Konon kata penduduk di sekitar pulau itu, sekitar tahun 1970-an ada sebuah kapal yang karam dan tenggelam karena diterjang topan dan badai saat mereka membawa hasil perdagangan mereka dari negeri seberang. Mereka memang sering memperjualbelikan barang-barang antik. Ternyata di sana mereka menemukan beberapa barang antik yang rencananya mereka mau jual di sini. Tapi saat itu cuaca buruk sekali hingga membuat semua penumpangnya tewas. Saking dalamnya kapal mereka tenggelam, mereka sampai tidak bisa ditemukan oleh siapapun. Bahkan oleh tim KNKT sekalipun. Tapi entah dapat keajaiban darimana, beberapa bulan yang lalu secara tidak sengaja saya menemukannya. Rupanya barang-barang antik itu mengambang di sebuah pesisir pulau yang jarang dikunjungi orang. Kebetulan sekali saya orangnya memang suka melancong ke tempat yang belum pernah saya datangi. Tapi saya tidak tahu kalau barang-barang antik ini merupakan barang-barang dari penumpang kapal yang karam tersebut. Karena saya belum sempat memikirkan mau disimpan dimana emas-emas penemuan saya, saya masukkan saja ke dalam ruang bawah tanah. Kebetulan ruangan itu hanya saya yang tahu, tapi pada akhirnya Bayu juga tahu....." Kedua polisi itu terlihat serius mendengarkan. "......waktu itu saya terburu--buru membuat kunci yang nggak mudah ditemukan orang. Saya memberikannya pada Ulva keponakan saya, tanpa memikirkan akibatnya. Soalnya saya harus bersiap-siap untuk pergi tugas keluar kota lagi. Cuma supir saya yang tahu semua ini, anak istri saya pun nggak ada yang tahu. Soalnya saya nggak mau membuat mereka panik dengan penemuan saya ini. Saya juga sangat mempercayai supir saya yang sudah bekerja selama kurang lebih tiga tahun itu. Tapi ternyata......" Omku menundukkan kepalanya sambil menyeka keringatnya yang bercucuran di keningnya. Mungkin saking tegangnya menghadapi suasana yang memang menegangkan itu. Kedua orang polisi itu hanya manggut-manggut seperti burung perkutut. Sementara polisi yang berjaket kulit coklat mencatat semua penjelasan Omku pada note booknya.

"Baiklah, kalau begitu silahkan Bapak menyerahkan penemuan Bapak ini ke pihak yang bisa dipercaya. Jangan disimpan sembarangan seperti ini, Pak! Bapak lihat sendiri kan akibatnya?" Polisi berjaket kulit hitam itu berusaha mencarikan jalan keluarnya.

"Baik, Pak! Akan saya pikirkan saran dari Bapak! Terima kasih banyak atas bantuannya!"

"Baiklah! Kalau begitu, kami permisi dulu!" Mereka pun saling berjabat tangan. Tak lupa juga kepada kami yang sudah melaporkan dan bekerja sama dengan baik kepada polisi-polisi itu. Ternyata mereka sudah lama mengincar komplotan pencuri yang belum berhasil tertangkap selama beberapa bulan terakhir. Sebagai tanda terima kasih, Omku langsung menyelipkan sebuah amplop putih di tangan salah satu polisi itu pada saat bersalaman tadi.

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi, ketika polisi itu pergi membawa para penjahat itu ke kantor mereka. Lalu segera mengejar dalang dari semua kejadian ini. Sementara itu emas-emas penemuan Omku yang belum sempat dilaporkannya pada polisi, akan diserahkan ke museum yang biasa Omku kunjungi setiap bulan.

*****

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun