Sepanjang kurun waktu ini, defisit semakin lebar yaitu berturut-turut Rp5,7 triliun (2008) dan Rp6,3 triliun (2009). Karena kondisi keuangan yang kian terpuruk, tahun 2008 mulai dilakukan langkah-langkah penyelamatan jangka pendek (re-asuransi). Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyampaikan kepada direksi Jiwasraya akan tetap mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan dan meminta langkah-langkah konkrit secara menyeluruh, sehingga permasalahan Jiwasraya dapat diselesaikan.
4. Tahun 2010-2012, sempat mencatat surplus di atas Rp1 triliun
Selama tiga tahun, perseroan melanjutkan skema re-asuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp1,3 triliun di akhir 2011. Bapepam-LK sempat meminta Jiwasraya menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental yang sifatnya jangka panjang. Maka pada tahun 2012, tepatnya 18 Desember, Bapepam-LK memberikan izin penerbitan produk JS Proteksi Plan, produk bancassurance dengan BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY. Per 31 Desember 2012 dengan skema financial re-asuransi, Jiwasraya masih mencatat surplus Rp1,6 triliun, namun tanpa skema reasuransi Jiwasraya mengalami defisit sebesar Rp3,2 triliun.
5. Tahun 2013, Otoritas Jasa Keuangan meminta alternatif penyehatan Jiwasraya
Tahun ini Jiwasraya memiliki permasalahan rasio pencapaian solvabilitas yang kurang dari 120 persen. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun meminta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyampaikan langkah alternatif penyehatan keuangan beserta jangka waktu penyehatan keuangan. Saat itu direksi menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp278 miliar), direvaluasi menjadi Rp6,56 triliun. Jiwasraya juga mencatatkan laba sebesar Rp457,2 miliar.
6. Tahun 2015-2016, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan dugaan penyalahgunaan wewenang
Tak kunjung membaik, pada 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pemeriksaan langsung terhadap Jiwasraya dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang pengurus. Tak hanya itu, laporan aset investasi keuangan tercatat overstated (melebihi dari realita) dan kewajibannya understated atau di bawah nilai sebenarnya. Tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta Jiwasraya merencanakan pemenuhan rasio kecukupan investasi karena sudah tidak lagi menggunakan mekanisme re-asuransi. Di tahun 2013-2016, Jiwasraya sempat mencatat surplus.
Selama 2013-2017, pendapatan premi meningkat karena penjualan produk JS Saving Plan dengan periode pencairan setiap tahun. Tetapi Otoritas Jasa Keuangan  ( OJK ) sempat mengingatkan agar Jiwasraya mengevaluasi JS Saving Plan agar sesuai kemampuan pengelolaan investasi.
7. Tahun 2017, Jiwasraya terlambat menyampaikan laporan aktuaris
Tahun ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) memberikan sanksi peringatan pertama kepada Jiwasraya karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris tahun 2017. Meski begitu, laporan keuangan Jiwasraya masih positif. Pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun dan laba tercatat Rp2,4 triliun, naik 37,64 persen dari tahun 2016. Ekuitas perseroan surplus Rp5,6 triliun, tetapi masih terjadi kekurangan cadangan premi Rp7,7 triliun karena belum memperhitungkan impairment asset atau penurunan aset.
8. April-Mei 2018, pendapatan premi turun signifikan