Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Menolak Suara Perempuan Subaltern dalam Novel "Larasati"

23 November 2021   09:29 Diperbarui: 23 November 2021   09:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Larasati merupakan roman revolusi semasa perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam merintis kemerdekaannya. Kekacauan politik, ekonomi, dan sosial sejak kekalahan Jepang terhadap sekutu disusul masuknya Belanda dengan dibonceng sekutu membuat cerita dalam novel ini kental dengan semangat patriotisme. Lakon-lakon yang dimainkan berkisar pemuda-pemuda Indonesia yang penuh semangat juang memperjuangkan proklamasi kemerdekaan, kisah pahlawan sejati yang berani mati dan pahlawan munafik yang mencari keuntungan pribadi, dan kisah tentang pertarungan di daerah republik dan daerah-daerah pendudukan Belanda. Keseluruhan kisah tersebut berpusat pada tokoh perempuan, yaitu Larasati.

Tokoh Larasati merupakan representasi tokoh perempuan humanis dan revolusioner. Di tengah situasi konflik, Larasati justru muncul dengan wacana revolusinya. Melalui kecantikan dan keahliannya di bidang seni peran, Larasati berjuang dan memberikan kontribusi perlawanannya terhadap Belanda, pada umumnya, dan lingkungan patriarki, khususnya. 

Keseluruhan rekam jejak eksistensi dirinya terjadi saat ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Pergumulannya dalam revolusi dapat dilihat dari dua subbab, yaitu eksistensi Larasati melalui dunia seni dan representasi seksual Larasati. Melalui dua subbab itu Larasati mendeskripsikan perlawannya terhadap penjajah dan budaya patriarki.

1) Larasati sebagai Seorang Bintang Film

Sebagai seorang perempuan, Larasati menyadari bahwa ia tidak dapat membantu perjuangan kemerdekaan dengan menggunakan fisiknya. Paradigma ini terjadi karena adanya diferensiasi gender antara laki-laki dan perempuan. Diferensiasi terjadi karena dipengaruhi oleh klasifikasi lingkungan menurut simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan dalam tradisi dan sistem budayanya. Atas dasar hal ini, laki-laki dan perempuan diberi label-label (stereotip) tertentu berkaitan dengan peran gender mereka, seperti laki-laki gagah perkasa, sedangkan perempuan lembut manja. Stereotip inilah yang mempengaruhi cara pandang Larasati untuk melawan pendudukan Belanda tidak dengan fisiknya, tetapi melalui profesinya sebagai bintang film.

... Ia akan terjun kembali di gelandang film. ... Tapi ia berjanji dalam hatinya, tidak bakal aku main dalam propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajahan. (hlm.2)

Larasati sadar sebagai seorang seniman profesinya tidak hanya alat untuk mengekspresikan nilai-nilai seni, tetapi dapat juga digunakan sebagai alat propaganda untuk memasukkan nilai-nilai politis penguasa. Kesadarannya akan hal itu mengantarkannya pada suatu tekad perlawanan melalui film, melalui bakat seni yang mengalir di dalam jiwanya. Ia pun percaya dengan seni ia dapat turut serta dalam revolusi.

Ia sendiri telah mainkan cerita-cerita perjuangan dan hiburan di tempat-tempat yang sama sekali tidak penting dimasa damai, biarpun tidak ada di peta bumi tempat dia bermain! Tidak ada pengagum, tidak ada pemuja, tidak ada honorarium barang sepeser -- cuma makan nasi keras dan ikan asin, dan transport di atas truk yang berdesak membanting-banting! Kadang-kadang tepuk tangan pun tidak -- ... Kadang-kadang memang terasa olehnya bahwa heroisme dan patriotisme wanita di zaman revolusi ini terletak pada kepalangmerahan saja! Tapi ia takkan meninggalkan kejuruannya. Ia cintai kejuruannya. Dan ia yakin, melalui kejuruannya ia pun dapat berbakti pada revolusi. Ia merasa dirinya pejuang, berjuang dengan caranya sendiri. (hlm.20)

Eksistensi Larasati melalui seni telah ia buktikan sebelum terjadinya revolusi, yakni saat masih adanya kedamaian di bumi pertiwi. Ia bergerak menyebarkan semangat nasionalis ke berbagai wilayah tak terjamah melalui lakon-lakon perjuangan. Yang ia cari bukanlah materi, melainkan kepuasan idealismenya sebagai seorang seniwati. 

Pada tahap ini, perjuangan Larasati telah sampai kepada tataran tindakan sebagai aplikasi dari gagasan-gagasannya mengenai nasionalisme. Bahkan, ia berani mendekonstruksi stigma heroisme dan patriotisme perempuan yang dilekatkan kepada kepalangmerahan saja. Lalu ia memunculkan simbolisasi baru heroisme dan patriotisme dalam wujud seni. Seni yang ia representasikan ke dalam dirinya sebagai seorang pejuang dan berjuang dengan caranya sendiri.

Perjuangan Larasati bukan tanpa perlawanan. Mimpinya untuk kembali terjun bermain film harus bersinggungan dengan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Hal ini ia alami ketika sampai di Jakarta. Di wilayah pendudukan Belanda itu, ia harus berhadapan dengan superioritas bangsa penjajah dan pembelot anak bangsa. Apa yang ia alami adalah kolonialisasi ganda, yakni perempuan sebagai gender yang termarginalkan dan anak bangsa yang terkoloni.

Mengenai hal tersebut, Sunur dalam Jurnal Perempuan mengemukakan pandangannya.

Di dalam situasi konflik, kekerasan terhadap perempuan dipergunakan sebagai sarana untuk meneror dan mendegradasikan komunitas tertentu demi kepentingan politik. Dalam situasi ini, gender berpotongan dengan aspek lain identitas perempuan serta etnik, agama, kelas sosial, suku, maupun afiliasi politiknya.

Pelecehan seksual yang diterima Larasati merupakan satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Teror yang dilakukan terhadap tubuh dan kehormatannya merupakan suatu cara untuk menaklukkan dirinya. Apa yang dilakukan terhadap dirinya menempatkan ia sebagai gender yang tersubordinasi oleh kekuasaan yang sedang mengintervensi. 

"Buka baju!" perintah sersan hitam mengkilat itu.

"Buat apa?" Larasati memberontak.

"Buat apa? Buka semua! Cepat! Anjing-anjing Soekarno suka berlagak goblok."

Waktu melihat Ara tak mengikuti perintahnya, ia bangkit. Matanya berapi-api. Ditariknya kain kurbannya. Tangan Ara menangkis. Selendang merahnya jatuh.

"Binatang!" Ara memekik. (hlm. 27-28)

Apa yang diminta sersan di dalam dialog tersebut mengindikasikan pelecehan seksual terhadap Larasati yang mengacu kepada tubuh perempuan. Perempuan dipaksa menjauh dari otonomi tubuhnya dan laki-laki mengambil alih power perempuan perempuan melalui kekerasan verbal. Pengambilalihan tersebut membuat sersan merasa berhak atas kepemilikan tubuh Larasati hingga ia memaksa Larasati menanggalkan seluruh bajunya.

Keinginan sersan dalam mendikte hak otoritas Larasati terhadap tubuhnya mendapatkan perlawanan. Ia, Larasati, melakukan sterilisasi tubuhnya dari intervensi pihak luar. Bahkan, secara tegas, Larasati melakukan penolakkan dengan menganalogikan sikap sersan tersebut dengan binatang. Keseluruhan tindakan Larasati ini merupakan manifestasi eksistensi terhadap hegemoni patriarki.

Simone de Beauvoir pernah mengungkapkan pemikirannya tentang eksistensialisme dalam upayanya mengerti situasi perempuan. Ia memberikan pemikirannya sebagai berikut:

Bukan karena jenis kelamin, perempuan menuntut eksistensinya. Kesubmisifan perempuan merupakan bukti. Apa yang mereka tuntut adalah diakui sebagai makhluk bereksistensi dan yang memiliki hak sama dengan laki-laki dan tidak mensubordinasikan eksistensi pada hidup, manusia, dan sifat dasariah binatang. Perspektif eksistensial, telah memungkinkan kita untuk mengerti bagaimana kondisi biologis dan ekonomi dari pandangan primitif telah membawa kita kepada supremasi laki-laki. Si perempuan dijadikan mangsa.

Pemikiran Beauvoir mengenai eksistensi perempuan lahir dari adanya suatu anggapan yang memperlihatkan perempuan sebagai yang lain (the other), bukan hanya kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan itu sendiri. Lebih lanjut Beauvoir melihat ketertindasan perempuan sebagian karena persoalan subjektifitas perempuan, yakni bagaimana perempuan dilihat dan melihat dirinya sebagai objek.

Akan tetapi, apa yang telah diperlihatkan Larasati dalam dialog di atas merupakan wujud eksistensi perempuan yang telah menempatkan dirinya sebagai subjek terhadap otonomi tubuhnya. Ia mampu keluar dari suatu pandangan yang menjadikan dirinya objek seksual. Perlawanan dari Larasati mencegah terjadinya kekerasan lebih jauh atas kepemilikan tubuhnya.

 

"Kau gila."

"Lebih baik kau pikirkan keselamatanmu." Marjohan mulai mengancam. "Lihat, semua orang mengawasi kau. Juga tuan kolonel itu, di stasiun sana dia bawa tongkat."

"Ara bukan?" kolonel inlander itu mendahului. Dan Larasati mengangguk.

"Buat apa teriak begitu keras? Kan semua tahu siapa kau?"

Kembali amarah meluap di dada Ara. Ia remas lagi selendang merah tengik itu dan dengan kasar menyekanya pada dahinya.

"Benar. Semua orang tahu siapa aku. Semua. Juga tuan kolonel!"

"Kehormatan mana lagi yang mesti kau pertahankan?"

Kembali air mata membasahi matanya yang baru sebentar tadi kering. (hlm. 30)

 

Apa yang diperlihatkan dalam dialog di atas adalah terjadinya pergeseran kekerasan dari kekerasan seksual menjadi kekerasan psikis yang ditujukan pada Larasati. Kekerasan psikis tersebut berupa ancaman dan pelecehan harga diri Larasati. Dalam kondisi ini, Larasati hanya bisa menahan perasaan amarahnya karena tersudut di antara kepungan superioritas laki-laki yang menganggapnya sebagai ancaman.

Selain dianggap sebagai ancaman, Larasati memiliki sisi lain yang dipandang dapat memberikan keuntungan. Identitas subjektifnya sebagai bintang film terkenal dinilai Marjohan dapat mengangkat reputasi dan karirnya di bidang perfilman. Ia melakukan negosiasi dengan tujuan untuk mengeksploitasi kepopuleran dan kemolekan tubuh Larasati demi kepentingan pribadinya.Marjohan telah menempatkan dirinya sebagai kaum kapitalis dan propagandis yang memiliki hasrat untuk menjadikan Larasati sebagai komoditi utamanya.

 

Ia kenal dia - Mardjohan -- di jaman Jepang seorang announcer sebentar lagi bakal banjir propaganda dari mulutnya yang jorok itu, ia memperingatkan dirinya sendiri. Kalau didiamkan akan bertekuk lutut. Tapi merajalela kalau dilayani.

"Kalau sudah bikin film?"

"Aku sekarang produser, sutradara -- segala-galanya." 

Waktu dia cerita Larasati tidak tertarik. (hlm.29)

 

"Sekutu apa?"

"Segala-galanya."

"Menghancurkan atau dihancurkan?"

"Aku bilang, kita tutup pokok tak menyenangkan ini."

Ia ambil tangan Larasati dan diciumnya. Dan bintang film itu tertawa dalam hatinya. Kadal ini tak begitu cerdik, pikir Larasati anak yang baru kemarin jadi announcer, sekarang mau merajai seluruh dunia film, cuma karena semua tenaga telah menyingkir ke pedalaman.

"Kau tak bersuami kukan?" Mardjohan meneruskan.

"Itu tidak penting."

"Jadi setuju kau bersekutu?"

"Sekutu macam apa kau ini?" bintang film itu yakin, tanpa bantuan siapa pun Mardjohan takan bakal jadi apa-apa.

"Kau orang berani, Ara," sekarang ia rangkulkan tangannya pada bahu Ara. (hlm. 38)

 

Sejak awal pertemuannya kembali Larasati dengan Mardjohan, Larasati sudah menangkap perilaku dan niat buruk Mardjohan terhadap dirinya. Pergaulan Larasati yang luas membuat dirinya mengerti bahwa Mardjohan ingin memanfaatkan profesinya, ketika Mardjonah mengajak Larasati bersekutu atau proyek film terbarunya Larasati menolak dan tidak ingin bekerja sama dengan pengkhianat bangsa. Dalam persepektif Larasati, Mardjohan bukanlah siapa-siapa. Walaupun Mardjohan telah menjadi produser dan sutradara, Larasati tetap menganggapnya rendah sebagai pengkhianat bangsa.

Hal menarik yang terdapat dalam kutipan di atas adalah adanya kontradiksi antara penilaian Mardjohan dan "permainan" Larasati. Ketika Mardjohan mengambil tangan Larasati dan menciumnya, Larasati sengaja membiarkan dan tertawa dalam hati karena berhasil mempermainkan penilaian Mardjohan. Akhirnya Mardjohan pun mengakui keberanian Larasati. Artinya, ia tetap kalah menghadapi keteguhan hati Larasati. Dialog selanjutnya mempertegas hal ini.

 

"Lebih baik jangan ganggu aku, Djohan."

"Aku tak mengganggu Ara. Aku berbuat hanya sebagai sekutu."

Larasati menjadi jengkel. Apakah yang ada dalam hati dan otak orang semacam Mardjonah ini? Mungkin hanya duit dan makan enak, seperti sebuah lemari yang mau segala barang tetapi tiada sesuatu yang lebih berharga dari itu.

"Kapan kau hancurkan aku, Djohan? aku toh tak berarti apa-apa? Biar besok atau lusa kau jadi orang penting. Tapi bersakutu denganmu sayang sekali, Djohan, tidak mungkin."       

"Kau tudak dapat lapangan di film."

"Bumi revolusi masih luas. Bumi jajahan terlampau sempit semua orang yang penting di bumi menjajah ini tidak lebih dari kau! Juga kolonelmu sendiri lebih hina dari kau lebih tinggi kedudukannya."

"Kau tidak seperti dulu, Ara."

"Tentu saja tidak ada gunanya revolusi kalau tidak bisa mengubah aku?"

"Aku singa garang."

"Di bumi penjajahan ini."

"Kau bakal mati kelaparan."

"Tidak, selamanya Revolusi menggelora."

"Kau mata-mata republik."

"Setidak-tidaknya bukan anjing orang asing."

"Mardjohan diam dan bintang film itu kehilangan kekang. (hlm. 41-42)

 

Dalam dialog di atas, Larasati muncul sebagai sosok perempuan superior yang mampu membungkam supremasi Mardjohan sebagai laki-laki. Superioritas Larasati terjadi dalam bentuk kuasa Larasati dalam mencitrakan pribadi Mardjohan. Ia memandang Mardjohan sebagai orang yang serakah. Pengkhianatan bangsa dan antek Belanda. Mardjohan pun dianggap Larasati sebagai pribadi yang tidak moralitas dan rasional karena dia menggadai kebangsaannya untuk kepentingan pribadinya. Apa yang ditunjukan Larasati merupakan pembuktian kekuasaan perlawanannya terhadap pandangan maskulin.

 

2) Larasati sebagai Seorang Revolusioner

 

Larasati sebagai bintang film telah menunjukkan identitasnya sebagai perempuan yang mengerti dan paham tentang modernitas. Ia dapat bergerak bebas dengan hak-haknya sebagai perempuan. Ia dapat mengimplementasikan kebebasannya di ruang publik dengan imprealisme kemodernan ala Barat. Larasati bergerak sebagai perempuan superior  yang memiliki dimensi femininitas dan maskulinitas sekaligus. Seperti yang pernah diungkapkan Nancy Tiana mengenai pemikiran filosofis di Barat dalam Arivia.

"Pandangan bahwa perempuan inferior terhadap laki-laki sebagai makhluk yang lemah, jenis kelamin yang kedua. Perempuan dilihat sangat kurang memadai dalam definisi sebagai manusia yaitu: kurang rasional dan tidak memiliki moralitas yang lengkap."

Larasati membalikkan pandangan pemikiran filosofis di Barat yang mengungkapkan stigma diskriminatif terhadap perempuan. Melalui sikap dan pandangan revolusionernya Larasati membuktikan bahwa dirinya sebagai perempuan lebih rasional dan memiliki moralitas yang lengkap dibandingkan Mardjohan yang mewakili laki-laki. Inferioritas perempuan tidak berlaku bagi Larasati karena ia dapat menjajah bahkan membungkam superioritas laki-laki di hadapannya.

 

"Rencana tuan kolonel itu sungguh hebat, film dokumentasi pengungsian dari pedalaman! Nona datang. Rencana diubah film dokumentasi diganti menjadi film cerita. Bintang film cerita! Bintang film Ara primadonanya. Dan Djohan sudah dapat inspirasi setelah Nona datang?"

"Komplet, tuan kolonel. Sejarah Ara sendiri, akan dimainkan. Dia setuju."

"Apa pendapatmu, Ara?" tanyanya kemudian.

"Aku mau pulang." Larasati bangkit meninggalkan kamar penjara.

Langsung pada sopir Larasati memerintah kasar, "turunkan koporku!"

Sopir itu siap-siap hendak menurunkan. Kolonel Drest mencegahnya berkata, "maaf, kalau kita telah menyinggung perasaan Nona. Kita memang belum bisa bergaul dengan bintang film-bintang film terkemuka," ia membungkuk dengan hormatnya. (hlm. 59)

 

Keberadaan Larasati di antara petinggi Irlander dan Belanda tidak menjadikan dirinya takut dan hatinya kecut. Ia tetap dapat menunjukan ketegasan prinsipnya menjadi seorang revolusioner dan ikut serta dalam revolusi. Manipulasi Djohan terhadap keputusannya yang menyatakan bahwa Larasati setuju untuk bermain dalam film ditentang Larasati dengan sikapnya yang langsung meninggalkan kamar penjara. Sikap penolakannya tersebut membuat para pemimpin itu menghargai keputusannya.

 

Perjuangan Larasati sebagai perempuan tangguh dan berani melalui profesi seni perannya harus terusik. Seorang pemuda menyinggung perasaannya setelah merendahkan profesinya sebagai bintang film. Larasati dianggap tidak bisa bertempur karena dirinya adalah bintang.

"Kau!" pemimpin itu menuding Ara. "Bintang film, kan? Apa bisa diperbuat bintang film dalam pertempuran?"

"Diam!" Larasati membentak marah. "Tahu apa kau tentang perjuangan bintang film dalam pertempuran? Sedang para pemimpin bisa hargai perjuanganku, mengapa kau tidak? Apa kau lebih besar dari mereka? Lepaskan ikatan dia. Kalau hanya bertempur, ayoh. Aku juga bisa bertempur di bawah komando yang baik. Kapan kau mau bertempur? sekarang?" (hlm. 88-89)

Pandangan pemuda terhadap status Larasati sebagai bintang film yang dianggap tidak bisa berjuang dalam pertempuran sangat bersifat patriarki. Secara umum patriarki dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki. Patriarki juga meliputi seksualitas perempuan yang ruang gerak mereka dikontrol oleh laki-laki. Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk menentukan. Adanya kekuasaan yang absolut ini menjadikan perempuan sebagai pihak yang dipasifkan dan dinon-aktifkan. Antara patriarki dan imprealisme, konstitusi subjek dan formasi objek, sosok perempuan  menghilang  bukan  dalam  ketiadan  namun  pada  perwujudan  sosok "perempuan  dunia  ketiga"  terjerat  antara  tradisi  dan  modernisasi.

Spivak  dalam  Arivia  mengungkapkan  bahwa  pandangan  patriarki dan       imperialisme  lahir dari  perwujudan  sosok  perempuan  Dunia  Ketiga.  Mereka, perempuan, terkungkung  dalam  tradisi  dan  modernisai  yang memarginalkan keberadaannya. Namun sikap yang ditunjukkan Larasati dalam  kutipan  dialog di atas berbeda dengan perwujudan sosok  perempuan  Dunia Ketiga seperti yang diungkapkan oleh Spivak. Larasati telah berhasil menyuarakan subaltern-nya. Ia dengan berani menantang pandangan yang memarginalkan dirinya. Keberaniannya itu ia buktikan dengan keikutsertaannya dalam pertempuran. Ia pun bergabung dengan pemuda revolusi dalam melawan penjajah.

 

"... Malam ini kami ikut bertempur. Mengapa diam semua?"

"Ara!" seru Ibunya.

"Apa yang ditakuti, Bu? Kita semua hidup terus-menerus dalam ketakutan. Apa kalian biasanya ketakutan. Tidak ada. Kalau revolusi menang tidak seorang pun perlu takut lagi. Mari berangkat!" (hlm. 89)

Larasati menyadari keikutsertaaannya dalam barisan pemuda revolusi adalah keputusan yang berani. Akan tetapi, ia percaya ketakutan hanya akan melahirkan kekalahan. Oleh karena itu, ia berani mengorbankan jiwa raganya untuk kemenangan revolusi. Semangat yang telah diperlihatkan Larasati dengan pergulatannya dengan revolusi merupakan gambaran kecintaan yang begitu mendalam terhadap Tanah Air. Ia memilih memperjuangkan kemerdekaan melalui profesi yang dijalankannya. Ia hilangkan segala batas dikotomi gender yang mengekang kebebasannya. Ia pun sanggup berhadapan dengan berbagai kekuasaan yang memiliki kepentingan terhadap dirinya. Superioritas bangsa penjajah dan kaum patriarki tidak dapat menghentikan langkahnya dalam berevolusi. Baginya, kemerdekaan dan revolusi adalah harga mati yang harus terus diperjuangkan.

 

Perempuan merupakan makhluk yang sangt dekat dengan konotasi seksualnya. Tingkah laku, gerak-gerik, dan ruang lingkup perempuan selalu dihubungkan dengan  seksualitas yang melekat pada dirinya. Dalam banyak literatur agama dan budaya, perempuan adalah tulang rusuk yang tercabut dari tubuh laki-laki dan hal itu merupakan representasi tentang perempuan sebagai subordinasi laki-laki. 

Freud, tokoh psikonalisis dunia, menegaskan hal tersebut dengan mengatakan bahwa pemilik hasrat seksual hanya laki-laki, maka suatu hal  yang alamiah apabila laki-laki dalam seks adalah superior dan perempuan inferior. Ia menguatkan pandangan biologis antara laki-laki dengan perempuan sebagai sebuah takdir. 

Anatomi laki-laki disebut sebagai activity, sedangkan perempuan adalah passivity. Adanya pandangan tersebut jelas memarginalkan fungsi serta alat biologis perempuan yang dianggap tidak mempunyai peran penting dalam relasi seksualnya. 

Selain itu, penyebutan perempuan sebagai passivity juga melahirkan pencintraan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak berguna. Kebergunaan perempuan hanya ada apabila laki-laki berada di sampingnya. Menurut pandangan Freud, dalam hubungan seksual, perempuan hanyalah alat yang difungsikan untuk memuaskan nafsu biologis laki-laki. Ketika perempuan dianggap tidak dapat memuaskan, sangat wajar apabila laki-laki mencari perempuan lain untuk memuaskan nafsunya.

Seksualitas yang diungkapkan oleh Sigmund Freud mendapat banyak kritikan dari para pemikir Barat, salah satunya adalah Foucaoult. Sekualitas menurut Foucaoult adalah sebagai efek wacana atau akibat relasi kuasa-pengetahuan-kenikmatan. Dengan kata lain, seksualitas dibentuk dari adanya dominasi suatu kekuasaan yang sifatnya pribadi atau kelompokyang dominan. Akibatnya, efek dari hal tersebut adalah kedudukan perempuan yang dianggap sebagai pribadi atau kelompok yang lemah berada pada posisi tersubordinasi dalam relasi seksualnya. Hal ini ditunjukan dari banyaknya bentuk ketimpangan di dalam praktik seksual seperti pemaksaan hubungan seksual, praktik menjual perempuan kepada orang lain, hingga perilaku seksual laki-laki yang tidak cukup berpasangan dengan satu perempuan.

Relasi kuasa yang terbentuk dalam hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tersebut bukanlah proses yang terjadi secara alamiah. Akan tetapi, relasi tersebut muncul sebagai akibat dari adanya interaksi kompleks antara laki-laki  dan perempuan yang dipengaruhi oleh interaksi antardisipliner seperti agama, biologi, psikologi, dan sosiologi. Mengenai hal ini, Foucaoult mengatakan bahwa:

Seksualitas seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah, atau suatu wilayah rahasia yang harus diungkap dan ditemukan pengetahuan secara bertahap. Seksualitas adalah nama yang terbentuk secara historis; bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan jaringan besar yang di dalamnya terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan control dan resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain.

  Gambaran hubungan laki-laki dan perempuan di atas telah menjadi realitas sosial yang terbentuk secara historis oleh berbagai proses sosial yang kemudian menjadi suatu susunan kekuasaan tempat perempuan berada pada posisi tersubordinasi di dalam kehidupan seksualnya. Perempuan harus memenuhi segala macam standar yang ditentukan oleh laki-laki (atau oleh struktur yang menguntungkan laki-laki). Nilai standar itu merupakan realitas objektif yng meminta kepatuhan-kepatuhan sehinga menjadi praktik sosial yang terus-menerus berulang di dalam kehidupan sosial.

Sementara itu, sekualitas menurut perspektif Larasati adalah alat untuk merepresentasikan kekuasaannya. Ia mampu membongkar pradigma yang menempatkan seksualitas perempuan sebagai inferior. Seks dipilih Larasati untuk mendominasi rasionalitas laki-laki melalui seks pula. Larasati muncul sebagai sosok perempuan yang dicintai dan dipuja karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya.

 ... Dan seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke, akan bertempik-sorak untuknya. Seluruh pria berotak dan berjantung dari Merauke sampai Sabang akan memujanya, akan berebutan untuk memiliki tubuhnya. (hlm. 2)

Ia senang melihat keberanian terpancar pada sepasang mata muda itu. Biar dia paling sedikit tujuh tahun lebih muda dari aku, dia toh masih mengangumi dan menginginkan aku. 

Larasati  menyadari bahwa fisiknya adalah daya tarik erotik bagi laki-laki untuk memuja dirinya. Kesadarannya ini tidak menjadikan ia berpikir sebagai objek seksual laki-laki, akan tetapi kondisi tersebut justru dimanfaatkan Larasati untuk menempatkan dirinya sebagai subjek seksual yang mampu mempengaruhi kesadaran laki-laki. Oleh karena itu, ia senang ketika banyak lelaki mengagumi dan menginginkan tubuhnya. Ia pun senang ketika laki-laki mempunyai hasrat yang besar untuk memiliki dirinya sebagai objek yang diinginkan.

 

"Kau hendak melupakan semuanya, Ara?" opsir itu menuduh. Larasati tersenyum sambil menunduk.

"Sampai-sampai menentang mataku kau tak mau lagi, Ara!" opsir itu menarik setangan katun hijau tipis dari kantong dan menyeka tengkuk dan lehernya.

"Kau takkan lupakan aku bukan?" ia masukan kembali setangannya ke dalam kantong." Kau kembali lagi kepada aku bukan?"

"Setidak-tidaknya, aku takkan lupakan kau." wajah opsir itu berseri-seri.

"Kau lebih cantik dari yang sudah-sudah, Ara." (hlm. 2-3)

 

            Gambaran di atas memperlihatkan Larasati menempatkan dirinya sebagai to be objek cinta Sang Lain. Ia menjadi objek cinta dan kekaguman si opsir yang sengaja ia produksi untuk menciptakan hasrat memiliki (to have) menjadi kebutuhan (need) akan dirinya. Setelah keinginannya tercapai, ia biarkan pengagumnya untuk tetap memujanya tanpa memiliki hatinya.

 

Representasi seksualitas Larasati lainnya dapat dilihat dari pergaulannya dengan para pemimpin Jepang. Salah satunya adalah Saburo Saka, seorang Letnan Kolonel Angkatan Laut Jepang. Ia memperoleh banyak harta dan pengalaman yang menjadikan dirinya istimewa dibandingkan dengan perempuan lainnya.

 

 ... Apa saja yang tak diterimanya dari dia: dari karung beras sampai gelang jambrut buatan Tiongkok dan cincin delima buatan Birma! Dan sjimizu: dari kimono sutra komplet dengan bakiak dan kipasnya sampai penyerbuan Jepang ke Australia! Ah, itu serdadu manja kalau menang perang sekali saja! Kemenanganku.

 

Lebih banyak dari padanya. Aku pernah menguasai ia karena aku tidak seperti perempuan-perempuan lain -- aku tidak pernah beranak. Mungkin ada satu kemenangan padaku: kelebihan yang dikaruniakan Tuhan. Kelebihan daripada yang lain-lain kewanitan sejati dan opsir-opir revolusi itu ...Sartono, Sardjono, Hassan Basri, Gultom... Ia tersenyum tak nyata - begitu muda, begitu belum berpengalaman, lebih banyak petengteng-petengteng mau mendapatkan hatinya, tubuhnya! (hlm. 5-6)     

 

"Keistimewaan" yang Larasati ungkap dari kutipan di atas tidak ditunjukkan pada fisiknya, akan tetapi Larasati merasa "istimewa" karena ia dapat menaklukan laki-laki melalui seksualitasnya. Ia menyindir kemenangan yang diperoleh serdadu Jepang yang ia panggil sebagai serdadu manja dan ia bandingkan dengan kemenangan dirinya yang berulang ketika beraktivitas seks bersamanya. Larasati pun memberikan penegasan terhadap dirinya sebagai perempuan sejati, perempuan yang memilki aktivitas seks yang kuat dan hebat sebagai antonim dari laki-laki sejati. Melalui tubuhnyalah, Larasati mampu menyuarakan pembebasan dirinya dan mengeksplorasi seksualitasnya sesuai dengan keinginannya. Mengenai hal ini, Faderman dalam Aminuddin mengungkapkan bahwa:

 

Perempuan bebas mengeksplorasi atau menemukan seksualitasnya sendiri sebagai nama yang mereka impikan. Sebebas dan semandiri  apa pun perempuan, bila tidak dapat menikmati seksualitas dirinya, mereka tidak akan menemukan kebebasan yang sebenarnya.

 

            Kesanggupan Larasati mengubah wacana seks maskulin menjadi  feminin menggugurkan pandangan Freud yang menyatakan anatomi laki-laki disebut activity, sedangkan perempuan adalah pasivity. Larasati telah mendekonstruksi pandangan tersebut dengan menampilkan dirinya sebagai perempuan sejati yang dapat menaklukan superioritas  seks laki-laki.

            Sebagai bintang film terpopuler di Indonesia, Larasati memiliki aura yang kuat untuk menarik perhatian dan menaklukan lawan jenisnya. Tanpa bermaksud menggoda, laki-laki yang berhadapan dengannya selalu tertarik secara seksual untuk berdekatan dengannya. Keindahan fisik Larasati diinterpretasikan oleh tubuh sosialnya sebagai simbol seksualitas yang menggoda.

 

... Dia tahu, yang diharapkannya tidak lain dari pada Ara, bintang film Indonesia terkemuka. ... Anak kecil ini, pikirnya, dia mau coba-coba jadi buaya, tapi pengalaman dia tidak punya!

... Nampak olehnya tangannya (opsir) itu gemetar. Pengalaman buaya pertama kali, barangkali, pikirnya.

Ia sambut tangan opsir piket itu, terasa panas dan gemetar. Orang semuda itu tanpa pengalaman semacam ini tidak menarik. Dan dibiarkannya tamunya mengagumi tubuhnya, sedang ia mengganti kain dan kebayanya dengan house coat.

Juga sekali ini --jerit hati bintang film itu- kemenangan ada padaku. (hlm. 13-14)

 

Keindahan dan kecantikan lahiriah seorang perempuan telah ditetapkan secara kultural oleh lingkungan sosialnya. Penetapan tersebut diimplementasikan melalui simbolisasi fisik perempuan mengenai hal itu, kesadaran Larasati atas kecantikan dan keindahan tubuhnya telah menempatkan ia tidak lagi sebagai objek seksual tetapi subjek yang mampu mengendalikan dan mempengaruhi persepsi seksual laki-laki. Hal ini dapat dilihat ketika Larasati berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu kagum dan akhirnya canggung untuk berinteraksi dengannya. Penggunaan klausa terasa panas dan bergetar menunjukan reaksi tokoh laki-laki yang tidak siap berhadapan dengan kecantikan Larasati. Gambaran ini memperlihatkan kuasa Larasati dalam menerapkan konsep politik atas seksualitas dirinya. Ia mampu mengontrol dan menghegemoni lawan jenisnya melalui kepemilikan tubuhnya. Ia jadikan tubuhnya sebagai penegur eksistensi superioritas keperempuannya. Kondisi ini kembali menjadikan dirinya sebagai pemenang atas supremasi laki-laki.

 

Pengimplementasian konsep politik seksualitas Larasati dipengaruhi oleh interpretasi dirinya secara empiris dalam mendeskripsikan pengalaman-pengalaman seksualitasnya. Pada usia 14 tahun, Larasati memaknai kedewasaannya dengan melakukan pembebasan terhadap tubuhnya. Pambebasan tersebut ditunjukkannya dengan melepaskan keperawanannya.

 

... Bagi Ara sejarah penuh dengan rangkaian pengalaman dahsyat.

Satu hari yang tak akan terlupakan seumur hidupnya, dia ingat betul terjadi sejak tubuhnya mekar meningkat dewasa. Empat belas! Ia ingat betul, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke empat belas.

Habis pertunjukkan, Om Didong membawanya ke dalam sebuah rumah. Ia tak tahu di mana. Malam itu ia tidur bersama dengannya -- dengan pria cantik, gagah dan memesona -- dua puluh lima tahun lebih tua daripada dirinya. ... Dan pria itu membuat baju gaunnya berbecak-becak di titik, tetesan-tetesan darah. Darahnya sendiri yang membuat ia untuk selama-lamanya kehilangan masa perawannya. Tetapi ia merasa bahagia. Malam itu baginya merupakan malam yang bagi anak-anak sebayanya masih merupakan impian. (hlm. 62-63)

            Pemaknaan kedewasaan yang dikonstruksikan Larasati dengan melepaskan keperawanannya merupakan perlawanan darinya akan stigmatisasi seksual perempuan. Larasati mampu membongkar wacana seks perempuan yang dianggap "nakal, binal, atau bukan perempuan baik-baik" bila perempuan mempunyai orientasi seks dini. Akan tetapi, mengenai hal tersebut, ia menganggap persoalan seks adalah sesuatu yang berada pada batas kemampuan dirinya dan hal tiu menjadi wajar ketika ia membabaskan tubuhnya dari norma-norma masyarakat yang mengikat seksualitas perempuan. Bahkan, keperawanan yang hilang dipandang sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan dan perwujudan mimpi setiap anak sebayanya.

            Kehidupan seksual Larasati mengalami guncangan ketika ia secara terpaksa, tanpa ikatan pernikahan, tinggal bersama Jusman, seorang warga keturuna Arab. Keputusan Larasati untuk mengikuti kemauan Jusman dipengaruhi oleh melemahnya semangat revolusi sejak jatuhnya Yogya ke tangan Belanda. Selain itu, ia ingin bertemu kembali dengan ibunya setelah satahun berpisah karena menjadi pembantu di rumah Jusman.

 

... Tapi tak lebih dari dua menit kemudian Jusman telah berdiri di sampingnya dan tanpa upacara sesuatu pun ia telah mencengkram tangan Ara yang tak melawan. Ia heran, mengapa terasa olehnya tenaga perlawanan tiba-tiba patah.

Dan seperti dengan sendirinya pula ia berjalan dalam tuntunan orang Arab itu masuk ke dalam. Sekali lagi dengan suara yang ganas, "Idjah, Idjah! Ini binatangmu datang."

Seorang wanita tua muncul dihadapannya. Orang itu adalah ibunya. Ibunya yang sudah setahun ini tak dijumpainnya.

... Jusman menariknya hati-hati duduk di kursi panjang, duduk di sampingnya. Dengan bibir menghampiri pipinya berbisik: "Sejak kini kau tinggal di sini. Kau cintai ibumu, bukan?"

"Tak ada satu kekuatan dapat menghalangi aku, Ara. Kau kepunyaanku sekarang." (hlm. 137-138)

 

            Jusman mengetahui bahwa kondisi Ara saat bertemu dengan dirinya sedang berada pada kondisi yang lemah. Ara kehilangan semangat dan perlawanannya saat satu per satu kekuasaan republik berhasil direbut Belanda. Kondisi ini dimanfaatkan Jusman untuk menguasai Larasati sepenuhnya. Penguasaan Larasati diperolehnya melalui ancaman dan tekanan. Jusman pun melakukan eksploitasi seksualitas Larasati sebagai bentuk kuasa kepemilikan diri Larasati.

 

... Ia rasai beberapa lembar ujung misai menusuk mukanya dan terdengar olehnya bisikan bercamput bau abab yang asam dan aneh, mencabar penciumannya. Ia rasai tangan yang menulang-nulang seperti besi yang mengandung daya berani itu melayang-layang di atas tubuhnya. Akhirnya kesadarannya padam lagi.

Waktu malam telah berganti pagi, ia masih dalam keadaan seperti itu. ... Ia hendak melompat turun. Tetapi tubuh hitam panjang disampingnya itu kembali menangkap pergelangannya. Ia melawan. Mereka bergumul. Tapi ia kalah. Dan ia terlempar ke atas ranjang lagi. Kini ia hanya bisa menunggu dan menderitakan serangan tanpa bisa membela diri. (hlm. 141)

            Kutipan di atas memperlihatkan gambaran penunjukkan dan kekuasaan laki-laki melalui seks. Jusman meneguhkan penguasaannya akan Larasati dengan menjadikan simbolisasi seks sebagai pusat kesenangan laki-laki dalam meraih kenikmatan dan kemenangannya. Dalam hal ini, seks telah baralih fungsi dari tujuan prokreatif menjadi rekreatif. Sebaliknya, apa yang telah diperlakukan Jusman terhadap dirinya, dipandang Larasati sebagai bentuk kekalahan luar biasa karena ia tidak dapat mempertahankan kuasa atas pemilikan tubuhnya sendiri. Hal ini membuat Larasati merasa dijatuhkan kehormatan dan harga dirinya, serta dijatuhkan dari kehidupannya sendiri.

            Rasa kepemilikan yang besar terhadap Larasati membuat Jusman bersikap posesif dan ekstrem. Ia perlakukan Larasati sebagai tawanan seksualitasnya. Sehingga ia dapat memperlakukan Larasati sekehendak hatinya. Refleksi tersebut ia tunjukkan dengan penguasaan diri, jiwa, dan hidup Larasati. Di hadapan Jusman, Larasati adalah patung yang harus siap sedia menjadi mesin seks Jusman dalam konsidi apapun. Efek dari hal ini adalah Jusman melakukan pemerkosaan terhadap tubuh Larasati.

 

"Antara aku dan kau tidak ada salah faham. Tapi kesalahan benar-benar. Kau telah rampas kemerdekaanku. Kau telah tawan aku."

"Apa salahnya? Aku selalu rindukan kau. Aku tak mau sia-sia menanggung rindu."

"Apamu aku ini?"

"Kau?" pemuda itu tertawa perlahan. Tapi mata itu kian berkobar-kobar menyalakan nafsu birahinya. Ia tangkap tubuh Ara dan dilemparkan ke ranjang.

"Apamu aku ini?" Ara mendesak terus.

"Kau?"

Dan pemuda itu tak mampu meneruskan jawabannya. Ia hanya menjawab dengan perbuatan.

 

            Perkosaan merupakan salah satu wujud kekerasan seksual yang bersifat sadis. Perilaku sadis dalam kasus pemerkosaan adalah perlakuan untuk membuat diri sendir merasa bebas dengan cara berupaya merebut kebebasan orang lain. Mengenai hal ini Sartre menulis:

Jadi, usaha sadis adalah untuk memastikan yang lain berada dalam tubuhnya dengan cara kekerasan dan kesakitan, dengan menyisihkan tubuh yang lain sedemikian rupa sehingga ia memperlakukannya sebagai daging yang mengakibatkan daging dilahirkan lagi. Akan tetapi, penyisihan ini melampaui tubuhnya ini karena tujuannya adalah hanya untuk memiliki tubuh tersebut untuk memiliki kebebasan orang lain.

Pandangan yang ditulis oleh Sartre memperlihatkan korelasi sadisme dengan tubuh perempuan yang dilakukan untuk memperlihatkan tubuh perempuan sebagai korban. Implikasi dari hal ini tubuh perempuan menjadi sarana untuk disakiti, dijadikan sarana tindak kekerasan, dan sekaligus menampilkan sisi erotis dan semua itu. Jusman menilai pemerkosaan yang dilakukannya pada Larasati adalah bentuk jawaban dari penegasan perempuan sebagai alat seksual yang dapat disakiti, dieksploitasi, dan dihakimi.

 

Daftar Pustaka

  

Abdul Munir Mulka, "Membongkar Praktik Kekerasan: Menggagas Kultur Nir-Kekerasan", (Malang: Sinergi Press dan PSIF Universitas Muhammadiyah, 2002).

 Efendi Kusuma Sunur, "Kekerasan Terhadap Perempuan: Suatu Akibat Cara Pandang Yang Lain", dalam Jurnal Driyakara No. 3, (Jakarta: STF Driyakara, 2006).

 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996).

 Lukton dalam Irwan Abdullah, Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004).

 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996).

 Mariana Aminuddin, Perempuan Menolak Tabu: Hermeneutika, Feminisme, Sastra, Seks, (Jakarta: Melibas, 2005).

--------, Perempuan dan Matinya Lidido, dalam Jurnal Perempuan Edisi 31, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004).

 Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2004).

 Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Yayasan Kalyanamitra, 2007).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun