Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Menolak Suara Perempuan Subaltern dalam Novel "Larasati"

23 November 2021   09:29 Diperbarui: 23 November 2021   09:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kesanggupan Larasati mengubah wacana seks maskulin menjadi  feminin menggugurkan pandangan Freud yang menyatakan anatomi laki-laki disebut activity, sedangkan perempuan adalah pasivity. Larasati telah mendekonstruksi pandangan tersebut dengan menampilkan dirinya sebagai perempuan sejati yang dapat menaklukan superioritas  seks laki-laki.

            Sebagai bintang film terpopuler di Indonesia, Larasati memiliki aura yang kuat untuk menarik perhatian dan menaklukan lawan jenisnya. Tanpa bermaksud menggoda, laki-laki yang berhadapan dengannya selalu tertarik secara seksual untuk berdekatan dengannya. Keindahan fisik Larasati diinterpretasikan oleh tubuh sosialnya sebagai simbol seksualitas yang menggoda.

 

... Dia tahu, yang diharapkannya tidak lain dari pada Ara, bintang film Indonesia terkemuka. ... Anak kecil ini, pikirnya, dia mau coba-coba jadi buaya, tapi pengalaman dia tidak punya!

... Nampak olehnya tangannya (opsir) itu gemetar. Pengalaman buaya pertama kali, barangkali, pikirnya.

Ia sambut tangan opsir piket itu, terasa panas dan gemetar. Orang semuda itu tanpa pengalaman semacam ini tidak menarik. Dan dibiarkannya tamunya mengagumi tubuhnya, sedang ia mengganti kain dan kebayanya dengan house coat.

Juga sekali ini --jerit hati bintang film itu- kemenangan ada padaku. (hlm. 13-14)

 

Keindahan dan kecantikan lahiriah seorang perempuan telah ditetapkan secara kultural oleh lingkungan sosialnya. Penetapan tersebut diimplementasikan melalui simbolisasi fisik perempuan mengenai hal itu, kesadaran Larasati atas kecantikan dan keindahan tubuhnya telah menempatkan ia tidak lagi sebagai objek seksual tetapi subjek yang mampu mengendalikan dan mempengaruhi persepsi seksual laki-laki. Hal ini dapat dilihat ketika Larasati berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu kagum dan akhirnya canggung untuk berinteraksi dengannya. Penggunaan klausa terasa panas dan bergetar menunjukan reaksi tokoh laki-laki yang tidak siap berhadapan dengan kecantikan Larasati. Gambaran ini memperlihatkan kuasa Larasati dalam menerapkan konsep politik atas seksualitas dirinya. Ia mampu mengontrol dan menghegemoni lawan jenisnya melalui kepemilikan tubuhnya. Ia jadikan tubuhnya sebagai penegur eksistensi superioritas keperempuannya. Kondisi ini kembali menjadikan dirinya sebagai pemenang atas supremasi laki-laki.

 

Pengimplementasian konsep politik seksualitas Larasati dipengaruhi oleh interpretasi dirinya secara empiris dalam mendeskripsikan pengalaman-pengalaman seksualitasnya. Pada usia 14 tahun, Larasati memaknai kedewasaannya dengan melakukan pembebasan terhadap tubuhnya. Pambebasan tersebut ditunjukkannya dengan melepaskan keperawanannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun