Bukan karena jenis kelamin, perempuan menuntut eksistensinya. Kesubmisifan perempuan merupakan bukti. Apa yang mereka tuntut adalah diakui sebagai makhluk bereksistensi dan yang memiliki hak sama dengan laki-laki dan tidak mensubordinasikan eksistensi pada hidup, manusia, dan sifat dasariah binatang. Perspektif eksistensial, telah memungkinkan kita untuk mengerti bagaimana kondisi biologis dan ekonomi dari pandangan primitif telah membawa kita kepada supremasi laki-laki. Si perempuan dijadikan mangsa.
Pemikiran Beauvoir mengenai eksistensi perempuan lahir dari adanya suatu anggapan yang memperlihatkan perempuan sebagai yang lain (the other), bukan hanya kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan itu sendiri. Lebih lanjut Beauvoir melihat ketertindasan perempuan sebagian karena persoalan subjektifitas perempuan, yakni bagaimana perempuan dilihat dan melihat dirinya sebagai objek.
Akan tetapi, apa yang telah diperlihatkan Larasati dalam dialog di atas merupakan wujud eksistensi perempuan yang telah menempatkan dirinya sebagai subjek terhadap otonomi tubuhnya. Ia mampu keluar dari suatu pandangan yang menjadikan dirinya objek seksual. Perlawanan dari Larasati mencegah terjadinya kekerasan lebih jauh atas kepemilikan tubuhnya.
Â
"Kau gila."
"Lebih baik kau pikirkan keselamatanmu." Marjohan mulai mengancam. "Lihat, semua orang mengawasi kau. Juga tuan kolonel itu, di stasiun sana dia bawa tongkat."
"Ara bukan?" kolonel inlander itu mendahului. Dan Larasati mengangguk.
"Buat apa teriak begitu keras? Kan semua tahu siapa kau?"
Kembali amarah meluap di dada Ara. Ia remas lagi selendang merah tengik itu dan dengan kasar menyekanya pada dahinya.
"Benar. Semua orang tahu siapa aku. Semua. Juga tuan kolonel!"
"Kehormatan mana lagi yang mesti kau pertahankan?"