Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Menolak Suara Perempuan Subaltern dalam Novel "Larasati"

23 November 2021   09:29 Diperbarui: 23 November 2021   09:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan karena jenis kelamin, perempuan menuntut eksistensinya. Kesubmisifan perempuan merupakan bukti. Apa yang mereka tuntut adalah diakui sebagai makhluk bereksistensi dan yang memiliki hak sama dengan laki-laki dan tidak mensubordinasikan eksistensi pada hidup, manusia, dan sifat dasariah binatang. Perspektif eksistensial, telah memungkinkan kita untuk mengerti bagaimana kondisi biologis dan ekonomi dari pandangan primitif telah membawa kita kepada supremasi laki-laki. Si perempuan dijadikan mangsa.

Pemikiran Beauvoir mengenai eksistensi perempuan lahir dari adanya suatu anggapan yang memperlihatkan perempuan sebagai yang lain (the other), bukan hanya kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan itu sendiri. Lebih lanjut Beauvoir melihat ketertindasan perempuan sebagian karena persoalan subjektifitas perempuan, yakni bagaimana perempuan dilihat dan melihat dirinya sebagai objek.

Akan tetapi, apa yang telah diperlihatkan Larasati dalam dialog di atas merupakan wujud eksistensi perempuan yang telah menempatkan dirinya sebagai subjek terhadap otonomi tubuhnya. Ia mampu keluar dari suatu pandangan yang menjadikan dirinya objek seksual. Perlawanan dari Larasati mencegah terjadinya kekerasan lebih jauh atas kepemilikan tubuhnya.

 

"Kau gila."

"Lebih baik kau pikirkan keselamatanmu." Marjohan mulai mengancam. "Lihat, semua orang mengawasi kau. Juga tuan kolonel itu, di stasiun sana dia bawa tongkat."

"Ara bukan?" kolonel inlander itu mendahului. Dan Larasati mengangguk.

"Buat apa teriak begitu keras? Kan semua tahu siapa kau?"

Kembali amarah meluap di dada Ara. Ia remas lagi selendang merah tengik itu dan dengan kasar menyekanya pada dahinya.

"Benar. Semua orang tahu siapa aku. Semua. Juga tuan kolonel!"

"Kehormatan mana lagi yang mesti kau pertahankan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun