Hal menarik yang terdapat dalam kutipan di atas adalah adanya kontradiksi antara penilaian Mardjohan dan "permainan" Larasati. Ketika Mardjohan mengambil tangan Larasati dan menciumnya, Larasati sengaja membiarkan dan tertawa dalam hati karena berhasil mempermainkan penilaian Mardjohan. Akhirnya Mardjohan pun mengakui keberanian Larasati. Artinya, ia tetap kalah menghadapi keteguhan hati Larasati. Dialog selanjutnya mempertegas hal ini.
Â
"Lebih baik jangan ganggu aku, Djohan."
"Aku tak mengganggu Ara. Aku berbuat hanya sebagai sekutu."
Larasati menjadi jengkel. Apakah yang ada dalam hati dan otak orang semacam Mardjonah ini? Mungkin hanya duit dan makan enak, seperti sebuah lemari yang mau segala barang tetapi tiada sesuatu yang lebih berharga dari itu.
"Kapan kau hancurkan aku, Djohan? aku toh tak berarti apa-apa? Biar besok atau lusa kau jadi orang penting. Tapi bersakutu denganmu sayang sekali, Djohan, tidak mungkin." Â Â Â Â
"Kau tudak dapat lapangan di film."
"Bumi revolusi masih luas. Bumi jajahan terlampau sempit semua orang yang penting di bumi menjajah ini tidak lebih dari kau! Juga kolonelmu sendiri lebih hina dari kau lebih tinggi kedudukannya."
"Kau tidak seperti dulu, Ara."
"Tentu saja tidak ada gunanya revolusi kalau tidak bisa mengubah aku?"
"Aku singa garang."