Â
... Bagi Ara sejarah penuh dengan rangkaian pengalaman dahsyat.
Satu hari yang tak akan terlupakan seumur hidupnya, dia ingat betul terjadi sejak tubuhnya mekar meningkat dewasa. Empat belas! Ia ingat betul, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke empat belas.
Habis pertunjukkan, Om Didong membawanya ke dalam sebuah rumah. Ia tak tahu di mana. Malam itu ia tidur bersama dengannya -- dengan pria cantik, gagah dan memesona -- dua puluh lima tahun lebih tua daripada dirinya. ... Dan pria itu membuat baju gaunnya berbecak-becak di titik, tetesan-tetesan darah. Darahnya sendiri yang membuat ia untuk selama-lamanya kehilangan masa perawannya. Tetapi ia merasa bahagia. Malam itu baginya merupakan malam yang bagi anak-anak sebayanya masih merupakan impian. (hlm. 62-63)
      Pemaknaan kedewasaan yang dikonstruksikan Larasati dengan melepaskan keperawanannya merupakan perlawanan darinya akan stigmatisasi seksual perempuan. Larasati mampu membongkar wacana seks perempuan yang dianggap "nakal, binal, atau bukan perempuan baik-baik" bila perempuan mempunyai orientasi seks dini. Akan tetapi, mengenai hal tersebut, ia menganggap persoalan seks adalah sesuatu yang berada pada batas kemampuan dirinya dan hal tiu menjadi wajar ketika ia membabaskan tubuhnya dari norma-norma masyarakat yang mengikat seksualitas perempuan. Bahkan, keperawanan yang hilang dipandang sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan dan perwujudan mimpi setiap anak sebayanya.
      Kehidupan seksual Larasati mengalami guncangan ketika ia secara terpaksa, tanpa ikatan pernikahan, tinggal bersama Jusman, seorang warga keturuna Arab. Keputusan Larasati untuk mengikuti kemauan Jusman dipengaruhi oleh melemahnya semangat revolusi sejak jatuhnya Yogya ke tangan Belanda. Selain itu, ia ingin bertemu kembali dengan ibunya setelah satahun berpisah karena menjadi pembantu di rumah Jusman.
Â
... Tapi tak lebih dari dua menit kemudian Jusman telah berdiri di sampingnya dan tanpa upacara sesuatu pun ia telah mencengkram tangan Ara yang tak melawan. Ia heran, mengapa terasa olehnya tenaga perlawanan tiba-tiba patah.
Dan seperti dengan sendirinya pula ia berjalan dalam tuntunan orang Arab itu masuk ke dalam. Sekali lagi dengan suara yang ganas, "Idjah, Idjah! Ini binatangmu datang."
Seorang wanita tua muncul dihadapannya. Orang itu adalah ibunya. Ibunya yang sudah setahun ini tak dijumpainnya.
... Jusman menariknya hati-hati duduk di kursi panjang, duduk di sampingnya. Dengan bibir menghampiri pipinya berbisik: "Sejak kini kau tinggal di sini. Kau cintai ibumu, bukan?"