AWAL(AN)
Pada tahun 2017 sekelompok individu yang bergabung dalam Pusat Kajian Bahasa Oseng menyelenggarakan seminar bahasa di Banyuwangi. Dihadiri anggota Dewan Perwakilan Daerah, Emilia Contessa, putra (alm) Hasan Ali (penulis Kamus Bahasa Using-Indonesia), isu utama dalam seminar ini adalah gugatan terhadap penggunaan istilah Using oleh kalangan akademisi yang dianggap melenceng dari istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Qowim, ketua lembaga tersebut, penulisan yang benar adalah Oseng. Tak pelak lagi, isu tersebut memancing tanggapan dari sebagian budayawan serta peneliti dan penggiat kebahasaan yang sudah bersepakat bahwa bahasa lokal warisan Blambangan di Banyuwangi adalah Using, sebagaimana dipromosikan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi sejak era Orde Baru hingga saat ini.
Bagi pihak yang kontra, kengototan menggunakan Oseng harusnya dibuktikan dengan kerja-kerja penelitian atau akademis yang sudah dipublikasikan, bukan hanya sekedar asumsi-asumsi tanpa didukung hasil analisis mendalam. Polemik lisan terkait penamaan Osing, Oseng, ataukah Using ini memang tidak sampai melebar menjadi pertikaian diskursif berkepanjangan di antara kedua pihak.
Namun, dari peristiwa itu, sebenarnya terdapat permasalahan yang lebih complicated. Bahwa identitas kebahasaan yang selama ini dimapankan melalui usaha pemerintah kabupaten, akademisi, budayawan, dan seniman dalam nama Using ternyata masih menyimpan ketidaksetujuan yang tidak sesederhana dari apa yang tampak di permukaan.
Apabila ditelisik lagi, usaha untuk membakukan bahasa Using sudah dimulai sejak awal Orde Baru. Pada era 1970-an dan 1980-an, usaha pemerintah kabupaten untuk mengkampanyekan bahasa dan identitas Using diperluas melalui beragam kegiatan, termasuk lagu-lagu kendang-kempul, sehingga banyak warga mulai mengenal dan menggunakan istilah tersebut (Arps, 2009).
Dalam catatanan Sariono dkk (2010) usaha penyebarluasan bahasa dan identitas Using itu dilakukan pula dengan membuat beberapa acara berbahasa Using di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) di mana beberapa sastrawan dan budayawan diberikan keleluasaan untuk mengasuh acara-acara tersebut. Pelan tapi pasti, masyarakat keturunan Blambangan semakin biasa dengan sebutan Using karena massifnya program yang dirancang pemerintah kabupaten.
Pada tahun 1996, Bupati Purnomo Sidiq, menerbitkan SK Bupati Nomor 428 tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Buku-buku Materi Bahasa Using sebagai Kurikulum Muatan Lokal pada Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi. Pada awal 1997, uji coba untuk menjadikan bahasa Using sebagai muatan lokal dilaksanakan di 3 sekolah dasar di Kecamatan Banyuwangi, Rogojampi, dan Kabat, sebagai basis komunitas Using (Setiawan, Tallapessy, & Subaharianto 2017a).
Pada awalnya tidak kurang dari 10 sekolah di tiga kecamatan yang menerapkan pembelajaran bahasa Using dan berlanjut hampir di tujuh kecamatan dengan jumlah 210 sekolah dasar yang menerapkannya. Pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan memang tidak langsung menerapkan untuk seluruh sekolah di Banyuwangi karena banyak sekolah sempat menolak memasukkan bahasa Using dalam muatan lokal, khususnya sekolah dari daerah yang etnis Jawa dan Maduranya lebih mendominasi.
Muncul persepsi bahwa kebijakan ini akan menjadikan para siswa non-Using diwajibkan menggunakan bahasa Using dalam kehidupan sehari-hari, padahal tujuannya hanya sekedar mengenalkan. Lambat laun kebijakan ini bisa berkembang ke sekolah lainnya.
Legitimasi bahasa ini tidaklah berdiri sendiri karena bersamaan dengan penguatan identitas etnis dan budaya Using yang disponsori oleh rezim negara Orde Baru. Gandrung sebagai kesenian khas misalnya diperkuat melalui berdirinya banyak sanggar. Ritual-ritual dalam masyarakat Using diselenggarakan secara meriah.
Industri musik pop-etnis seperti kendang kempul berkembang pesat. Para budayawan yang dekat dengan Pendopo menjadi juru bicara tentang kekayaan bahasa dan budaya Using. Semua itu membentuk dan semakin memperkuat kesadaran akan komunalisme dan solidaritas Using di Banyuwangi.
Kondisi tersebut semakin memuncak pasca Reformasi atau era 2000-an. Masing-masing rezim, dari Samsul Hadi, Ratna Ani Lestari, hingga Abdullah Azwar Anas memiliki karakteristik dalam memosisikan bahasa dan budaya Using. Rezim Samsul, misalnya, dengan cerdas menginkorporasi bahasa dan budaya Using sebagai instrumen politik dalam memperkuat kekuasaan (Setiawan, Tallapessy, & Subaharianto 2017b).
Pada zaman Anas, Using menjadi kekuatan kreatif yang dikomodifikasi untuk kepentingan industri pariwisata berdimensi nasional dan internasional (Setiawan, Tallapessy, & Subaharianto 2017c). Artinya, soal bahasa yang menjadi kekuatan identitas Using, kita tidak bisa semata-mata membacanya sebagai alat komunikasi, alih-alih, terdapat kompleksitas kepentingan yang berhubungan dengan rezim negara maupun para aktor kultural di Banyuwangi.
Menarik kiranya melihat bagaimana kompleksitas kepentingan penetapan bahasa Using sebagai salah satu penguat identitas lokal di Banyuwangi yang berlangsung sejak era Orde Baru hingga saat ini. Permasalahan utama tersebut bisa dikembangkan menjadi beberapa sub-permasalahan.
Pertama, bagaimana kondisi historis dan pemerintahan ketika bahasa dan identitas Using ditetapkan sebagai identitas dominan di Banyuwangi. Kedua, kepentingan apa yang melatari kebijakan pemerintah di era Orde Baru terkait bahasa Using. Ketiga, bagaimana usaha yang dilakukan pemerintah dari era Orde Baru hingga saat ini untuk memperkuat posisi bahasa Using di tengah-tengah masyarakat.
Keempat, bagaimana kepentingan politik dan budaya yang dimainkan melalui penguatan Using di masa pasca Reformasi. Kelima, bagaimana respons tokoh adat, seniman, dan masyarakat—baik Using maupun non-Using—terkait kebijakan penggunaan bahasa Using?
Untuk membahas permasalahan-permasalahan tersebut, saya menggunakan teori payung antropolinguistik. Dalam antropolinguistik, tindak dan praktik kebahasaan dalam sebuah komunitas, masyarakat, dan bangsa dipahami sebagai instrumen terpenting untuk memasuki kompleksitas budaya yang berlangsung dalam masyarakat, dari masa lalu hingga masa kini (Duranti, 1997; Duranti [ed], 2004; Ahearn, 2012; Salzmann, Stanlaw, & Adachi, 2012; Hymes, 1983).
Penentuan sebuah bahasa yang digunakan dalam komunitas, masyarakat, atau bangsa serta implikasinya dalam tindakan kebahasaan dan kehidupan sosial, kultural, ekonomi, dan politik tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ideologis dan politik yang terikat dengan konteks zaman (Kroskrity, 2004; Dirven, Frank, & Ilie [ed], 2001; Dirven, Hawkins, & Sandikcioglu, 2001; Mair [ed], 2003; Mann, 2007; Mertz, 2007).
Kebijakan bahasa tidak bisa dipandang semata-mata sebagai persoalan kebahasaan, tetapi, lebih dari itu, memiliki dimensi ideologis dan politik di mana kepentingan pihak-pihak tertentu dinegosiasikan sebagai kesadaran komunal melalui praktik kebahasaan. Dalam proses tersebut sangat mungkin muncul konflik-konflik sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang dibesarkan melalui isu-isu kebahasaan, khususnya dalam latar masyarakat multikultural.
Bahasa, baik dalam level nasional maupun lokal, memiliki fungsi strategis dalam ranah identitas dan politik. Bahasa menjadi bagian ‘agama sekuler’ yang mengikat masyarakat, memromosikan kohesi internal, menyediakan identitas etnis dan nasional, dan memapankan batasan-batasan efektif antara “dalam-kelompok” dan “luar-kelompok” (Fishman dikutip dalam Schmid,2001: 9).
Dalam konteks politik, bahasa merupakan variabel penting dalam relasi kuasa antara kelompok dominan dan subordinat. Tidak mengherankan Chomsky mengakatan bahwa “permasalahan bahasa pada dasarnya adalah permasalahan kekuasaan” (Schmid, ibid). Nichols (2006) menunjukkan bahwa keberagaman linguistik bisa menjadi hambatan untuk sentralisasi kekuasaan.
Sampai saat ini keberagaman linguistik masih melekat dalam perjuangan untuk melawan bentuk-bentuk dominasi. Ia juga berargumen bahwa dalam gerakan pribumi kontemporer untuk keamanan linguistik, bahasa itu sendiri tidak semata-mata dikonsepsikan sebagai objek perjuangan politik, tetapi juga sebagai alat untuk melestarikan ruang bagi aksi dan permusyawaratan lokal; sebuah politik komunitas lokal. Keberagaman bahasa dan pewarisan kekuasaan politik pada level lokal berada dalam hubungan yang saling memperkuat secara mutual.
GENEALOGI KEKHAWATIRAN & INDEPENDENSI KEBAHASAAN
Kurikulum Muatan Lokal dan Kepentingan
Ketika memberikan paparan mengenai diperolehnya status sebagai bahasa dari dialek Using di Banyuwangi, Arps (2010: 226), salah satu peneliti tradisi lisan Nusantara, secara kritis mengatakan:
Bagaimana menjelaskan perubahan status linguistik, sosial, dan politik bahasa yang digunakan di daerah Banyuwangi ini, dari dialek Jawa yang terkesan kedesa-desaan-yang bahkan berbeda dari desa ke desa dalam sebuah kontinuum dialek menjadi sebuah bahasa daerah yang otonom, yang patut dibanggakan dan wajib diajarkan serta dipelajari di sekolah-sekolah? Perubahan ini adalah hasil sebuah proses politik yang mengambil waktu beberapa dasawarsa. Bagi orang dan lembaga yang memprakarsai dan memotorinya, proses ini boleh disebut sebuah perjuangan.
Pendapat Arps ini cukup menarik karena memberikan celah untuk melihat persoalan penetapan dialek Using sebagai bahasa Using di masa Orde Baru. Hipotesis kritis yang dimunculkan bahwa perubahan status tersebut merupakan proses politik cukup memberikan keleluasaan untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi terkait kepentingan-kepentingan yang bisa jadi saling melintasi, baik dalam skala regional maupun nasional.
Munculnya konsensus di antara budayawan, bahasawan, dan pemerintah kabupaten untuk memperjuangkan ‘kelahiran’ dan kemapanan bahasa Using tentu bukan sekedar bukan semata-mata proses kultural dan linguistik untuk menegaskan adanya budaya berbahasa yang berbeda dari masyarakat Jawa dan Madura serta masyarakat etnis lain di Banyuwangi.
Lebih dari itu, sebagai proses politik, semua perjuangan tersebut melibatkan kepentingan-kepentingan strategis yang mengindeks kepada identitas etnis yang juga harus diciptakan karena keberadaan bahasa Using yang berbeda dari bahasa lain. Pelibatan budayawan, linguis lokal, pemerintah kabupaten, dan pengelola industri budaya di Banyuwangi sejak Orde Baru menegaskan bahwa proses menjadikan Using sebuah bahasa bukanlah proses sederhana yang bisa diatasi dengan simsalabim.
Dibutuhkan lobi-lobi kepada pimpinan daerah, pemberian pemahaman kepada para pakar bahasa Jawa, kajian para pakar yang sepaham, dan kampanye dalam bentuk aktivitas-aktivitas dalam ranah lain yang mendorong penggunaan cara Using dalam berbagai macam arena.
Maka, pilihan ‘melahirkan’ dan memapankan bahasa Using merupakan pilihan linguistik yang tidak semata-mata ada karena keinginan adanya usaha untuk membakukan bahasa ini dalam sistem kurikulum. Lebih jauh lagi, pilihan itu juga berkaitan desain ketakutan akan tergesernya atau terpinggirkannya bahasa lokal oleh bahasa lokal dominan seperti Jawa dan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Tentu saja, kekhawatiran tersebut juga tak bisa dipisahkan dari kekhawatiran akan tergerusnya identitas lokal.
Genealogi 'kekhawatiran' merupakan sesuatu yang wajar di tengah-tengah dominasi etnis Jawa Kulonan yang cukup kuat dalam arena birokrasi dan pendidikan, sehingga dikhawatirkan banyak anak muda Banyuwangi yang mulai melupakan bahasa ibu.
Artinya, populerisasi istilah bahasa Using sebenarnya bukan berasal dari sejarah panjang kolonial karena pada masa itu meskipun sudah muncul istilah wong Osing, labelisasi bahasa Using belum begitu familiar. Setidaknya, kekhawatiran akan terdesaknya cara Using mulai menguat sejak 1970-an.
Keterancaman akan kuatnya pengaruh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai kurikulum yang diajarkan secara formal di sekolah, menjadikan orang-orang terdidik dan aktivis budaya merasa khawatir. Dengan alasan tidak ingn melihat bahasa semakin terdesak, pihak yang peduli mulai membuat langkah-langkah taktis.
....pada 1974 Abdurrahman, seorang dosen hukum Universitas Jember, setelah dikunjungi oleh seorang "mahasiswa Belanda", tergerak menyusun tulisan pendek berjudul "Sekedar petunjuk untuk dapat berbicara bahasa Osing" yang berisi dialog-dialog beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pertimbangan pengarang adalah "makin terdesaknya bahasa aslinya" dan "ingin menghidup-hidupkan kembali, mempertahankan, bahkan ingin mengembangkan bahasa daerah kami", yaitu "bahasa Banyuwangi." (Arps, 2010: 232)
Mari kita perhatikan ungkapan yang dikemukakan Abdurrahman, “makin terdesaknya bahasa aslinya”. Ungkapan ini menjadi dasar utama dibuatnya “Sekedar petunjuk untuk berbicara bahasa Osing”. Kata terdesak menjabarkan sebuah kondisi di mana ada kekuatan linguistik luar yang menjadikan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Using mengalami peminggiran.
Bisa dikatakan kondisi itu terjadi karena para pelajar Using diwajibkan belajar bahasa Jawa Kulonan di ruang sekolah. Para guru banyak yang berasal dari etnis Jawa, baik yang berasal dari kawasan Mataraman ataupun yang keluarganya sudah tinggal di Banyuwangi.
Kasus ini juga terjadi di Jember, di mana banyak guru di sekolah-sekolah di wilayah etnis Madur diajar guru yang berasal dari kawasan Mataraman Jawa Timur. Selain itu, jajaran birokrat di Banyuwangi juga diisi oleh para pegawai yang berasal dari etnis Jawa. Tidak mengherankan kalau bahasa Jawa semakin dikenal di Banyuwangi. Kenyataan linguistik itulah yang menjadikan akademisi seperti Abdurrahman merasa bahasa asli masyarakat penerus Blambangan terdesak.
Keterancaman yang dirasakan akademisi seperti Abdurrahman memunculkan keinginan untuk menjalankan “misi penyelamatan bahasa”. Artinya, sesederhana apapun usaha yang dilakukan akan dibingkai dengan keinginan ‘suci’ dan mulia, seperti “menghidupkan-kembali, mempertahankan, dan mengembangkan bahasa Banyuwangi”.
Ungkapan “menghidupkan-kembali” memang berdimensi revitalisasi dengan anggapan bahwa bahasa cara Using diposisikan terancam akan mati atau sudah hampir mati seingga perlu dilakukan usaha-usaha konkrit untuk menghidupkannya atau menjadikannya populer di tengah-tengah masyarakat pemakainya.
Sementara, usaha “mempertahankan bahasa Using” bisa diposisikan sebagai perjuangan untuk terus menggunakan dan menyebarluaskan bahasa ini sebagai bahasa sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Adapun ungkapan “mengembangkan” mengindikasikan kesadaran untuk memanfaatkan bahasa Using sebagai sumber kreatif bagi proses berkebudayaan yang sekaligus bisa untuk mempertahankan dan melestarikannya.
Wacana penyelamatan dipadukan dengan perjuangan sekaligus pengembangan yang, tentu saja, berjalin-kelindan dengan keingian sebagian budayawan yang berada dalam lingkaran ideologis rezim Pendopo. Apa yang perlu dicatat, usaha yang dilakukan Abdurrahman ini merupakan usaha personal sebagai akademisi yang merasa prihatin dan setelah ia kedatangan tamu dari Belanda yang (mungkin?) butuh pengetahuan khusus tentang bahasa lokal Banyuwangi. Setidaknya, Abdurrahman telah memberikan reasoning tentang pentingnya untuk merintis penulisan bahasa Banyuwangi.
Adalah Hasan Ali, seorang Kepala Bagian Kesejahteraan Masyarakat Pemkab Banyuwangi yang memiliki concern untuk menjadikan bahasa Jawa dialek Using sebagai bahasa tersendiri, meskipun harus melalui proses kompleks. Arps (2010: 233) mencatat secara rapi bagaimana peran awal Hasan Ali dalam proses menuju penumbuhan kesadaran berbahasa Using sebagai berikut.
Dalam konsep buku Selayang-pandang Blambangan...yang disusun atas perintah bupati Banyuwangi ketika itu, Kolonel Joko Supaat Slamet, yang bertujuan mengumpulkan data historis dan etnografis yang dapat mendasari pembangunan daerah ini "untuk mencapai kejayaan daerah Blambangan dalam rangka kesatuan dan keutuhan Nusantara", dibahas tentang "masyarakat Jawa Osing".
Pada awal bagian tentang bahasa, “bahasa Jawa Osing” masih disebut “dialek”...tetapi beberapa halaman kemudian ada pernyataan "Sesungguhnya dialek Jawa Osing bukanlah dialek tetapi sudah dapat disebut sebagai bahasa, yaitu BAHASA OSING"...Di sinilah tampak titik awal proses pencarian pengakuan...Hasan Ali-lah yang menyusun bagian buku itu yang berkenaan dengan bahasa.
Selanjutnya, Hasan Ali akan memainkan peranan kunci dalam proses pengakuan tadi. Salah satu keyakinan Hasan Ali adalah bahwa bahasa Using merupakan bahasa yang mandiri, bukan sekadar varian bahasa Jawa. Salah satu tujuannya adalah membuktikan keyakinan itu secara ilmiah.
Saya perlu mengutip paparan Arps secara panjang lebar untuk mengetahui usaha memunculkan dan menawarkan istilah “bahasa Using” ke kalangan birokrat yang bisa jadi sangat berpengaruh. Menarik kiranya, Hasan dengan sengaja menyatakan bahwa dialek Jawa Osing sebenarnya bisa disebut bahasa Osing.
Ini merupakan pernyataan formal dalam produk birokrat, buku Selayang Pandang Banyuwangi, yang menegaskan bahasa Using sebagai bahasa independen yang bukan merupakan dialek Jawa Mataraman. Arps mengatakan bahwa itu merupakan titik awal proses pencarian pengakuan.
Hasan sangat cerdas dalam memandang peluang untuk mulai memperkenalkan gagasan tentang bahasa Using ke dalam buku yang pembuatanya atas perintah langsung bupati Djoko Supaat Slamet. Tentu tidak akan ada pihak-pihak birokrasi yang berani mengritisi dan menggugat keberadaan isi buku tersebut.
Legitimasi bupati melalui buku tersebut tentu akan mempermudah untuk mendapatkan fasilitasi negara seperti kebijakan. Jalan formal yang dipilih sesuai dengan susana pemerintah Orde Baru di mana semua harus berada dalam kendali Negara. Dengan mendapatkan pengakuan formal-birokratis, usaha-usaha untuk menjadikan dialek Jawa Osing sebagai bahasa mandiri, tentu, diharapkan tidak mengalami hambatan struktural.
Pertemuan Hasan dengan peneliti linguistik dari Singaraja Bali secara intens antara 1976-1979 semakin memperkuat semangatnya dalam menggeluti usaha untuk menjadikan bahasa Using ada sebagai bahasa (Arps, 2010: 233). Pada kurun waktu tersebut, Hasan memfasilitasi Suparman untuk melakukan penelitian disertasi.
Ucapan Suparman yang mengatakan bahwa bahasa Using akan “punah” karena kuatnya pengaruh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, memberikan keyakinan kepada Hasan untuk terus memperjuangkannya. Suparman memandang Hasan memiliki kapasitas untuk melakukan aktivitas-aktivitas pemertahanan bahasa Using.
Sebagai warga Banyuwangi yang menggemari budaya Using serta sebagai birokrat yang memiliki akses terhadap kebijakan dan terikat dengan kebijakan Orde Baru untuk mengusahakan identitas khas yang mendukung budaya nasional, bisa jadi ucapan tersebut memperkuat semangat dalam diri Hasan untuk menyiapkan agenda-agenda secara terstruktur untuk membuka jalan bagi perjuangan untuk menjadikan Using bahasa.
Salah satunya adalah menyelenggarakan Sarasehan bahasa Using sebagai bagian dalam Pekan Bahasa Using 1990 yang diselenggarakan oleh Yayasan Kebudayaan Banyuwangi (Arps, 2010: 234). Dalam acara tersebut, Suparman yang berhasil mempertahankan disertasinya di UI mengatakan bahwa Using adalah bahasa yang sejajar dengan bahasa Jawa Kulonan karena berasal dari akar bahasa Jawa Kuno yang sama.
Suparman juga menjelaskan bahwa harus segera dibuat kamus bahasa Using agar bahasa ini memiliki rujukan yang jelas dan ilmiah dalam usaha pemertahanannya dari kepunahan. Saran akademisi yang dianggap sebagai pakar mumpuni tersebut segera disaut oleh Hasan yang menyiapkan beberapa rekomentasi dengan alasan agar bahasa Using tidak segera punah.
Beberapa saran tersebut antara lain: (1) kodifikasi norma bahasa dan kosakata; (2) penyusunan buku pelajaran sekolah mulai dari tingkat dasar; (3) pengajaran bahasa Using sebagai muatan lokal, mulai dari pendidikan dasar pula; (4) penggalakan penghargaan dan rasa tanggung jawab masyarakat, terutama kaum muda, atas bahasa daerah mereka sendiri; dan, (5) penerbitan buku, brosur, buletin, dan sebagainya dalam bahasa Using. Pemerintah daerah diharapkan menyediakan bantuan (Arps, 2010: 234).
Kalau kita perhatikan saran-saran terebut, muncul dua agenda besar yang disiapkan oleh Hasan dan mereka yang ingin memperjuangkan bahasa Using, yakni agenda ilmiah dan kultural. Kodifikasi norma bahasa dan kosa kata merupakan agenda ilmiah-akademis mengusahakan santifikasi bahasa Using dari aspek linguistiknya.
Usaha semacam ini memiliki orientasi untuk mendudukkan bahasa ini dalam lingkaran akademis yang membutuhkan hasil kajian formal serta deskripsi kebahasaan yang sesuai dengan standar. Tujuannya jelas agar komunitas akademis terkait bahasa daerah mau menerima keinginan Hasan dan kawan-kawannya tentang keabsahan bahasa Using sebagai bahasa tersendiri.
Dengan pengakuan tersebut, posisi akademis bahasa Using bisa semakin kuat. Pembelajaran bahasa Using sebagai muatan lokal merupakan tahapan praksis yang akan memperkuatnya dalam aktivitas “formal-regenerasi” dengan harapan anak-anak Banyuwangi, khususnya yang berasal dari keturunan Blambangan atau yang dilabeli dengan sitilah wong Using, tidak akan melupakan bahasa ibunya. Adapun agenda kultural merupakan usaha Hasan dan kawan-kawannya untuk lebih memasyarakatkan penggunaan bahasa Using.
Untuk memperkuat legitimasi keberadaan bahasa Using, Hasan Ali pun mengikuti beberapa Kongres Bahasa Jawa karena selama ini para linguis memosisikan bahasa ini sebagai bahasa Jawa dialek Using. Setidaknya, teradapat dua kali Kongres Bahasa Jawa yang memberikan kontribusi penting bagi usaha Hasan, yakni kongres tahun 1991 dan 1996. Pada Kongres Bahasa Jawa 1991, Arps (2010: 235) menggambarkan kiprah Hasan sebagai berikut.
Di hadapan ratusan guru, sarjana, dan ahli bahasa Jawa lainnya, Hasan Ali menekankan keistimewaan bahasa Using. Menurut dia, ide bahwa bahasa Using berbeda dari bahasa Jawa berasal dari "orang Using sendiri". Hasan Ali juga mengatakan bahwa sebuah bahasa seperti itu, yang dipelihara oleh masyarakat penuturnya, seharusnya dapat diajarkan di sekolah-sekolah.
Dia melaporkan bahwa sejak Sarasehan Bahasa Using pada 1990 (hanya setengah tahun sebelumnya!) Dewan Kesenian Blambangan telah mengambil beberapa langkah perencanaan bahasa. Langkah yang dikutipnya berupa saran-saran dalam makalah yang dibawanya sendiri pada Sarasehan itu.
Menarik untuk mencermati pernyataan Hasan bahwa “ide bahasa Using berbeda dari bahasa Jawa berasal dari orang Using sendiri.” Bisa jadi memang Hasan sudah melakukan riset sebelum membuat pernyataan di hadapan para akademisi dan praktisi. Namun apakah benar pada waktu itu orang-orang keturunan Blambangan sudah menyatakan mereka berbahasa Using atau sebagai suku Using yang berbudaya Using pula?
Ini masih menuntut kajian tersendiri. Penguatan istilah Using tidak lepas dari usaha para budayawan yang berada dalam lingkar kekuasaan. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung sosialiasi penggunaan bahasa Using di tengah-tengah masyarakat.
Setidaknya, dengan mengatakan wargalah yang mengatakan bahasa Using berbeda dengan bahasa Jawa, Hasan memiliki legitimasi kultural yang disampaikan ke forum sehingga mereka akan memberikan persetujuan untuk menyematkan istilah bahasa Using, menggantikan kesepakatan akademis sebelumnya yang mengatakan bahwa Using hanyalah dialek bahasa Jawa.
Pada Kongres Bahasa Jawa Tahun 1996, Hasan Ali melakukan manuver dengan meminta peserta menebak maksud sebuah ungkapan yang sudah ia siapkan. Menurut Arps (2010: 236), Hasan Ali berargumen bahwa sebuah bahasa dikatakan dialek apabila penutur dari bahasa induk masih bisa memahami varietas dialek yang disampaikan. Ternyata, tak satupun dari peserta yang bisa mengerti. Berbekal kekhususan itulah dinas terkait di provinsi memberikan rekomendasi untuk pengajaran bahasa Using. DPRD Banyuwangi pun menyetujuinya.
Tidak lama setelah itu, Bupati Purnomo Sidiq memutuskan untuk menjadikan bahasa Using sebagai muatan lokal. Tahun 1996 ia mengeluarkan SK Bupati Nomor 428 tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Buku-buku Materi Bahasa Using sebagai Kurikulum Muatan Lokal pada Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi (http://www.antarajatim.com/lihat/berita/19625/lihat/kategori/7/lihat/kategori/2/Sospol).
SK ini merupakan terobosan politik yang luar biasa karena melegitimasi kebijakan-kebijakan lanjutan terkait penyiapan pembelajaran bahasa. Ini tentu bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat posisi bahasa dan budaya Using di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi multikultural. Lebih dari itu, tentu ada celah untuk memperkuat bahasa Using yang sebelumnya sudah mulai dikembangkan melalui siaran radio dan aktivitas-aktivitas kultural lainnya.
Kalau ditelaah dari aspek politik, sangat mungkin si Bupati dengan kebijakan tersebut ingin mendapatkan konsensus dari warga Using. Terlepas dari kepenitngan itu, SK itu pun ditindaklanjut oleh jajaran birokrat terkait, khususnya dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi, pada tahun 1997, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mengizinkan pengajaran bahasa Using di Banyuwangi. Hal ini tentu cukup membanggakan buat Hasan dan para budayawan yang memiliki kesamaan gagasan.
Pada awal 1997, uji coba untuk menjadikan bahasa Using sebagai muatan lokal dilaksanakan di tiga sekolah dasar di Kecamatan Banyuwangi, Rogojampi, dan Kabat, sebagai basis komunitas Using selain di Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, Gambiran, Singojuruh, Licin, dan Genteng.
Memang, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banyuwangi tidak menjalankan kebijakan itu untuk seluruh sekolah di Banyuwangi. Pertimbangan utamanya adalah bahwa terdapat sekolah yang menolak memasukkan bahasa Using dalam kurikulum muatan lokal mereka. Hal itu terjadi di sekolah-sekolah yang terdapat di komunitas berbasis etnis Jawa dan Madura.
Berkembang kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan menjadikan para siswa non-Using diwajibkan menggunakan bahasa Using dalam kehidupan sehari-hari, padahal tujuannya hanya sekedar mengenalkan. Lambat-laun kebijakan ini bisa berkembang ke sekolah lainnya. Pada awalnya tidak kurang dari 10 sekolah di tiga kecamatan yang menerapkan pembelajaran bahasa Using dan berlanjut hampir di tujuh kecamatan dengan jumlah 210 sekolah dasar yang menerapkannya.
Apa yang perlu dicatat adalah bahwa Hasan Ali bukanlah pakar bahasa, bukan pula sarjana yang terdidik dalam disiplin linguistik di perguruan tinggi. Pertemuan intens-nya dengan Suparman secara langsung memberikannya kesempatan untuk belajar beberapa konsep linguistik yang dibutuhkan untuk menginvetarisir bahasa ibu di sebuah daerah.
Ketelatenannya untuk mengumpulkan data demi data kebahasaan, khususnya kosa kota Using dari praktik tuturan masyarakat, merupakan modal utama yang tidak dimiliki oleh penggiat bahasa dan budaya lain di Banyuwangi pada masa itu. Apa yang tidak pernah diekspos adalah pihak-pihak lain yang ikut membantu proyek bahasa yang diperjuangkan Hasan Ali.
Perjumpaan saya dengan Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, Dwi Yanto, pada pertengahan tahun 2018, sedikit banyak membuka informasi terkait pihak-pihak yang ikut membantu Hasan Ali dalam penyusunan kamus tersebut. Dwi Yanto adalah salah satu pihak yang ikut memberikan “urun-rembug” kepada Hasan Ali.
Dia dimintai bantuan untuk permasalahan tulisan dan bunyi. Misalnya, terkait penulisan sakit dalam bahasa Using, apakah "loro" atau "lara". Sebagai guru muda yang pernah belajar di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/UNESA), persoalan tersebut tentu bukan hal yang sulit.
Untuk membantu Hasan, Dwi Yanto menggunakan pedoman penulisan dari bahasa Jawa. Kedekatan kedua bahasa yang masih berasal dari satu rumpun bahasa Jawa Kuna merupakan alasan Dwi untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai pembanding demi memudahkan kerja-kerja penyusunan kamus.
Apalagi bahasa Using memang belum punya pedoman baku dalam penulisannya. Buku yang ia tulis antara lain: Paseh basa Using ('Fasih berbahasa Using') terbit pada 1997 dalam tiga jilid, dan cetakan kedua keluar pada tahun berikutnya 1998a, 1998b, 1998c).
Meskipun mayoritas warga Banyuwangi tidak mengetahui perannya, Dwi Yanto tidak pernah mempermasalahkannya karena yang terpenting adalah masyarakat Using memiliki kamus yang bisa menjadi dasar bagi pengembangan kebahasaan lainnya, seperti tata bahasa. Dengan demikian, identitas bahasa yang menjadi salah satu penyokong utama bagi keberadaan budaya Using bisa tetap dipertahankan.
Pembelajaran bahasa Using di era akhir Orde Baru ini merupakan salah satu tonggak penting bagi penybarluasan istilah Using sebagai bahasa yang sekaligus berdampak kepada pemapanannya sebagai budaya, dan, selanjutnya, suku. Using bukan lagi diposisikan sebagai salah satu dialek dari bahasa Jawa, seperti bahasa Jawa Banyumasan.
Karena bahasa diposisikan sebagai penanda indeksikal terpenting dari sebuah budaya dan suku, maka Using mulai disosialisasikan sebagai budaya yang berbeda dari Jawa; begitu pula dengan sukunya. Artinya, apa yang diperjuangkan oleh para budayawan seperti Hasan Ali, bukanlah sekedar memperjuangkan bahasa.
Mereka sangat sadar bahwa bahasa berkontribusi penting untuk membingkai solidaritas dan pemahaman komunitas akan kesamaan kultural dan linguistik sehingga mereka akan merasa berada dalam identitas yang sama. Lebih dari itu, bahasa adalah medium untuk memroduksi wacana, pengetahuan dan praktik budaya dan memperkuat solidaritas komunal di antara para anggota yang berlatar sosial berbeda.
Masuknya bahasa Using ke dalam kurikulum, menjadikan keinginan ideal untuk untuk mengembangkan dan memapankan identitas komunitas lebih mudah dilakukan karena para siswa tidak harus susah-payah mempelajari bahasa Jawa Kulonan dan mereka juga bisa lebih fokus dalam mempelajari bahasa ibu sendiri yang sekaligus terdapat pelajaran-pelajaran tentang budayanya.
Penguatan identitas berbasis bahasa lokal bisa dimaksimalkan untuk memapankan solidaritas guna mengikis ketergantungan linguistik dan kultural terhadap kekuatan Jawa-Mataraman yang dari era kolonial hingga Orde Baru menjadi kekuatan dominan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Setidaknya, penerapan bahasa Using sebagai muatan lokal menjadi penawar penting kekhawatiran akan punahnya bahasa ini di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Ketika bahasa Using diajarkan di sekolah, terdapat integrasi bersifat strategis yang menjadikan pembelajaran bahasa sebagai sarana dan mekanisme untuk mempertemukan para siswa dengan karakter linguistik yang ikut membentuk pandangan dan menyebarluaskan kebudayaan.
Para budayawan yang memperjuangkan penetapan dan pengajaran bahasa Using menyadari sepenuhnya bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari identitas budaya. Bagi kelompok yang dalam ranah regional maupun nasional diposisikan sebagai minoritas, usaha untuk mewariskan bahasa ibu merupakan bentuk “politik linguistik” demi menyemaikan dan menyebarluaskan sense of beloning dan komunalisme di antara anggota kelompok.
Mengikuti pemikiran Appiah (2005: 102) terkait urgensi bahasa ibu untuk eksistensi kelompok-kelompok minoritas minoritas di sebuah negara, kemampuan anak-anak untuk menguasai bahasa ibu berperan sangat penting dalam penguatan identitas, selain penguasaan terhadap bahasa resmi. Melalui bahasa ibu anak-anak sebagai generasi penerus diarahkan, dibentuk, diberikan pemahaman dan diajak menjalankan nilai dan tindakan kultural.
Demi kepentingan itulah, pembelajaran kepada anak-anak usia sekolah menjadi penting. Meskipun demikian, bukan berarti mereka tidak perlu mendapatkan pembelajaran bahasa politis atau bahasa resmi negara. Bahasa resmi tetap dibutuhkan agar memudahkan mereka masuk ke dalam pergaulan nasional agar mereka bisa memahami persoalan-persoalan yang lebih luas serta bisa memosisikan kelompok dan budaya mereka di tengah-tengah yang nasional.
Perjuangan menghilangkan rasa malu dan minder dalam diri komunitas Using di Banyuwangi merupakan kepentingan strategis di balik penetapan bahasa Using sebagai bahasa daerah yang berbeda dari bahasa Jawa dan perlu diajarkan di sekolah. Target utamanya, sekali lagi, adalah membiasakan generasi penerus dengan kebahasaan yang sekaligus mengantarkan mereka untuk mengenali, mencintai, dan mempraktikkan adat istiadat, ritual, maupun kesenian Using di tengah-tengah keberagaman masyarakat Banyuwangi.
Dengan pendidikan bahasa ini, generasi penerus diharapkan tidak lagi akan memosisikan subjektivitas mereka sebagai Jawa-Banyuwangi atau Jawa-Blambangan yang masih membawa elemen Jawa, melaikan dirimereka sebagai orang Using yang berbeda dengan Jawa sebagaimana dikonstruksi selama ini.
Meniadakan relasi edukatif dengan Jawa Mataraman atau Jawa Kulonan yang biasanya dihadirkan di dalam kelas melalui pembelajaran bahasa daerah, menjadi titik awal untuk menunjukkan dan mempertegas positioning bahasa Using dan ke-Using-an bagi masyarakat serta menyiapkan generasi penerus yang bangga dan siap dengan budaya sendiri
Bahasa Using dan Penguatan Identitas dalam Kendali Rezim Negara
Salah satu dampak terpenting dari legitimasi kebahasaan adalah menguatnya kebanggaan identitas Using yang tidak hanya dikaitkan dengan aspek budaya tetapi juga persoalan suku. Entah, sejak kapan muncul istilah suku Using untuk menamai komunitas keturunan Blambangan.
Bisa diasumsikan bahwa munculnya istilah suku itu sejalan dengan menguatnya istilah bahasa dan budaya Using yang semakin biasa di masa Orde Baru. Artinya, labelisasi Using yang di era kolonial beraroma negatif karena menjadi stigma untuk menjelekkan warga keturunan Blambangan dibalik menjadi sesuatu yang sangat positif dan konstruktif demi sebuah proyek identitas yang dilegitimasi rezim penguasa.
Dalam gairah untuk melegitimasi bahasa dan memperkuat budaya Using itulah, kita bisa menemukan formasi diskursif dan praksis melalui aktivitas-aktivitas linguistik dan kultural yang saling diintegrasikan. Apa yang tidak boleh dilupakan adalah adanya keterhubungan erat antara proyek legitimasi bahasa dan identitas Using dengan konteks budaya secara nasional yang berada dalam medan ideologis kepentingan rezim penguasa.
Sebelum berkembangnya gagasan bahasa Using sebagai bahasa daerah yang diajarkan di sekolah yang sejalan dengan pengembangan budaya Using, di Banyuwangi gairah budaya relatif semarak. Tidak hanya bahasa dan budaya “cara Using”, tetapi juga Jawa, Melayu, Madura, Bali, dan yang lain.
Meskipun berada dalam pengaruh ideologis parpol tertentu, semua pelaku memberikan kontribusi kepada pengembangan budaya Banyuwangian yang tidak hanya menonjolkan satu identitas budaya. Artinya, sebuah entitas budaya yang berkembang dalam masyarakat Banyuwangi multikultural mendapatkan kesempatan berkembang dalam arahan lembaga-lembaga kebudayaan.
Semua lembaga kebudayaan yang ada berkesempatan sama untuk berekspresi dan berkembang, meskipun terkadang juga dibumbuhi pertentangan ideologis, tapi tidak pernah berujung pada konflik fisik (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010). Pada waktu itu, ada lembaga yang bergerak mengembangkan seni dan budaya Blambangan, Jawa, Madura, Melayu, dan yang lain.
Secara nasional, semua lembaga kebudayaan beorientasi ideologi tertentu juga saling berkompetisi dan berkontestasi dalam hal pemikiran dan karya, sehingga wajah Indonesia sangat dinamis sebelum terjadinya tragedi berdarah 1965 (Lindsay, 2012). Dengan demikian, di level nasional dan lokal terdapat penghargaan terhadap proses berkebudayaan berbasis ideologi sehingga warna multikultural benar-benar terasa.
Misi berkebudayaan bukanlah misi sekedar perayaan, tetapi memberikan makna terhadap bangunan keindonesiaan yang beradab. Di masa kepemimpinan Soekarno, budaya Banyuwangi mengedepankan pluralitas yang merupakan kontinyuitas dari zaman kerajaan hingga kolonial.
Semua karakteristik tersebut “mati” karena tragedi berdarah 1965. Entah berapa anggota, simpatisan, atau orang yang dituduh PKI serta anggota lembaga yang dianggap underbow PKI, seperti Lekra dibunuh dan dipenjara. Peristiwa tersebut memunculkan trauma berkepanjangan di kalangan seniman rakyat.
Sepinya gairah berkebudayaan pasca tragedi berdarah 1965 rupa-rupanya juga dirasakan oleh pemerintah, dari tingkat pusat hingga kabupaten. Tahun 1970-an hingga 1980-an, pemerintah pusat mulai mendesain kebijakan untuk memasukkan bahasa, kesenian dan budaya tradisional sebagai bagian penting yang membentuk budaya nasional sekaligus mendukung pembangunan nasional.
Konstruksi budaya nasional sebagaimana diinginkan rezim penguasa Orde Baru berasal dari “puncak-puncak kebudayaan daerah” yang bisa dijadikan kekuatan strategis dalam pembangunan sekaligus alat untuk menangkal pengaruh negatif modernisme dan modernistas yang mulai dirasakan oleh masyarakat luas.
Sebagaimana dijelaskan dalam dalam REPELITA II (Rencana Pembangunan Lima Tahun II) 1974/1975-1978/1979 dalam idealisasi rezim Suharto, budaya asing lainnya harus diposisikan secara proporsional. Ia boleh saja ditiru dan diserap secara selektif sebagai pengetahuan yang berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Namun, proses pengawasan dan seleksi terhadap nilai dan pengetahun yang masuk dilakukan secara ketat karena ditakutkan ada yang bertentangan dengan ajaan Pancasila yang memang tengah digalakkan oleh rezim. Sebaliknya, budaya daerah atau tradisional divalorisasi dalam konstruksi “nilai-nilai adiluhung” yang memperkuat identitas masyarakat daerah dan bangsa serta diposisikan sebagai saringan ketat terhadap gaya hidup Barat dan budaya pop.
Apa yang perlu dicatat adalah bahwa rezim negara juga membatasi secara ketat berkembangnya-kembali kekuatan-kekuatan identitas berdimensi politik, semisal bahasa, ritual, dan kesenian yang bisa menyatukan imajinasi dan ikatan komunal kedaerahan. Rezim negara tidak ingin di daerah berkembang sentiman politik berbasis identitas daerah karena bisa mengganggu kemapanan rezim penguasa dan berpotensi memunculkan perlawanan dan tuntutan-tuntutan politik lainnya.
Dengan kata lain, penggunaan nilai-nilai keindonesiaan sebagai patokan dalam berkebudayaan punya misi khusus untuk menghadapi pengaruh budaya asing yang mulai berkembang sejalan dengan tumbuhnya budaya konsumen. Kebijakan pemerintah Indonesia ini, ternyata, sejalan dengan kebijakan serupa yang diambil oleh beberapa negara Asia Tenggara. Jones (2012: 153) memaparkan:
Di Asia, penyebaran budaya konsumen dan cepatnya pergerakan informasi yang berkaitan dengan barang dan jasa kapitalis memunculkan kekhawatiran di antara pemerintah nasional. Pemerintah Singapura, Malaysia, Indonesia, Cina, dan Burma melawan perubahan budaya dan pesan politik dan sosial terkait yang diduga disebarluaskan oleh kapitalisme internasional dengan wacana yang disebut “nilai-nilai Asia” yang menekankan kerja keras, nilai keluarga, penghormatan terhadap penguasa, tanggung jawab sosial, disiplin, dan dukungan warga negara terhadap pemimpin.
Atas nama melestarikan nilai-nilai Asia, pemerintah mengkonsolidasikan kekuatan politik mereka dengan mengarahkan oposisi populis melawan Sang Barat, momok yang tampak memberikan rasa nyaman dan nilai-nilai yang dilanggarnya, serta mereka menjalankan kontrol politik dengan membatasi kebebasan pers dan hak asasi manusia dengan melabeli mereka sebagai “Barat”. Dengan demikian, pemerintah mendefinisikan mereka sebagai yang bertentangan dengan cara hidup Asia.
Tidak mengherankan, di Indonesia, melalui pendidikan, seminar, dan banyak penelitian, pemerintah menggiatkan nilai-nilai keindonesiaan sebagai bagian dari nilai-nilai Asia yang tampak memperkuat budaya lokal dan budaya nasional. Namun, kita tidak boleh lupa, bahwa target sebenarnya adalah terjaganya kekuasaan karena masyarakat diberikan acuan-acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yang tidak menimbulkan peluang resistensi terhadap pemerintah.
Beragam budaya daerah diteliti oleh para dosen atau peneliti dari universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia, dengan tujuan mengungkapkan nilai-nilai unggul yang bisa mendukung pengembangan dan penguatan budaya nasional. Dalam keadaan demikian, praktik pelestarikan kearifan lokal, kesenian, ritual, dan bentuk-bentuk budaya daerah lainnya tidak pernah dimaksudkan untuk memberikan kemampuan ideologis-komunal bagi para pelakunya.
Sebaliknya, pelestarian tersebut menjadikan budaya daerah tampai ramai di permukaan, tetapi sebetulnya sudah kehilangan mayoritas kekuatan ideologisnya. Ritual agraris, misalnya, hanya diapahami sebagai ritual yang patut dirayakan, tetapi kemanfaatannya untuk lingkungan hanya dicatat dalam penelitian.
Padahal pada masa sebelumnya, kesenian rakyat mendapatkan porsi utama dalam menyampaikan kritik ataupun ajakan untuk perjuangan sosial. Kampanye nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka jati diri dan kepribadian bangsa, dengan demikian, menjadi justifikasi politik untuk mempraktikkan kekuasaan otoriter guna merespoen kritik yang berasal dari kalangan demokratik-liberal (Jones, 2012: 154).
Apa yang menarik dicermati lebih lanjut adalah bagaimana rezim negara mentransformasikan hubungan rakyat dengan praktik budaya; ikatan ideologis perlahan-lahan dimarjinalkan untuk kemudian ditiadakan. Acciaioli (1985) memaparkan bagaimana di tengah-tengah kuatnya ‘agama sipil’, Pancasila dan pembangunan, rezim Suharto mengubah fungsi ritual dari kesenian, mentransformasi adat tertentu menjadi ‘kesenian’ dan menata-kembali kehidupan dalam komunitas di mana adat masih diikuti.
Acciaicoli (dikutip dalam Jones, 2012: 154), setidaknya, mengidentifikasi 3 elemen terkait proses tersebut yang berhubungan dengan kebijakan budaya. Pertama, transformasi ritual untuk memenuhi agama sipil negara, termasuk penerapan standar moral yang sesuai dengan agama lokal dominan (seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha).
Kedua, para aparat harus mampu mengarahkan perubahan tersebut ke dalam komunitas. Ketiga, pemerintah Indonesia mengkonsepsikan dirinya sebagai “pembawa budaya yang benar” ketimbang sebagai pembawa pandangan yang lebih antropologis dari budaya sebagaimana dibentuk oleh cara hidup berbeda, sebuah tafsir lebih luas yang akan menjadikannya mungkin negara untuk mendorong dan menyuburkan keragaman budaya,baik adat istiadat maupun pan-Indonesia.
Dengan perspektif itulah, pemerintah daerah melakukan proyek budaya yang sesuai dengan keinginan Jakarta. Kesenian-kesenian daerah dihidupkan lagi setelah sempat mati suri pasca 1965. Ritual adat disemarakkan dengan arahan yang sesuai dengan keinginan pemerintah dalam menyukseskan pembangunan. Bentuk-bentuk budaya lain seperti bahasa daerah atau bahasa ibu juga dikembangkan untuk mendukung dan memperkuat identitas budaya lokal dalam kendali negara.
Di Banyuwangi, setelah beberapa kali dilobi oleh pelaku seni yang sekaligus menjadi birokrat, Bupati Joko Supa’at Slamet berkenan mengumpulkan para seniman dari beragam latar belakang ideologis. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah bupati menginginkan kegiatan budaya di Banyuwangi kembali semarak tanpa harus membawa embel-embel ideologi partai politik seperti masa sebelum 1965 (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010).
Termasuk dalam arahan Supa’at adalah diperbolehkannya seniman dan sastrawan eks-Lekra untuk “dimanfaatkan” untuk meramaikan kehidupan budaya di Banyuwangi seperti sediakala. Para seniman eks-Lekra di masa Sukarno memang terkenal dengan keahlian mereka dalam musik angklung, sastra, janger, dan kesenian lainnya. Untuk itulah, ‘pemanfaatan’ mereka untuk memperkuat ekspresi budaya daerah yang bekontribusi bagi budaya nasional menjadi penting.
Di Banyuwangi, kesenian daerah yang dimaksud adalah gandrung, angklung, serta janger. Pesan Supa’at juga bermakna bahwa para seniman diizinkan untuk mengembangkan-kembali kesenian sebagai penopang budaya daerah, tetapi tidak diperkenankan untuk memasukkan ideologi-ideologi, khususnya ideologi komunis dan yang berbau SARA karena bisa dikhawatirkan menimbulkan konflik horisontal.
Pesan tersebut sekaligus menjadi bentuk de-PKI-isasi dan de-ideologisasi budaya Banyuwangi. Artinya, rezim negara di tingkat kabupaten menjadi bagian penting pembersiahan ruang dan praktik kebudayaan dari residu ideologi komunis. Sementara, de-ideologisasi terjadi dengan menjadikan budaya sekedar sebagai ekspresi perayaan yang terlepas ikatan ideologisnya dari permasalahan masyarakat, lingkungan, dan politik.
Bupati Supa’at mengeluarkan kebijakan dengan paradigma pembinaan dan pelestarian yang disahkan dalam SK Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970 (Waluyo & Basri, 2007), Supa’at mendapatkan konsensus dari mayoritas seniman dan budayawan. Mengikuti perspektif Gramscian (Gramsci, 1981; Boggs, 1984; Boothman, 2008) konsensus para pelaku budaya tersebut merupakan bagian dari inilah fase dimulainya kekuasaan hegemonik negara melalui prinsip artikulasi dan inkorporasi terhadap budaya Using.
Maka, diakui atau tidak, berkembangnya identitas Using, baik dari aspek bahasa, budaya, ataupun suku, tidak bisa dilepaskan dari kontribusi para seniman yang disponsori negara untuk memulai proyek kebudayaan khas Banyuwangi. Keputusan untuk memilih kesenian berbahasa Using merupakan cara populis karena, baik kesenian lagu maupun tembang dan tari, merupakan bentuk budaya khas yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Jawa dan Indonesia.
Kalau yang dikembangkan budaya Jawa dan Madura tentu akan bersaing dengan daerah lain. Salah satu tindakan kongkrit untuk proyek identitas ini adalah dimulainya perekaman lagu-lagu para seniman eks-Lekra dan yang lain dengan diiringi angklung yang sudah ditambahi alat musik gandrung, sehingga disebut angklung daerah.
Lagu-lagu yang direkam antara lain Kembang Galengan, Kembang Peciring, Amit-amit, Kembang Pethetan, Ulang Andung-andung, Prawan Sunti, Kali Elo, Tanah Kelahiran, Ugo-ugo, Umbul-umbul Blambangan. Lagu-lagu tersebut diputar dan disiarkan oleh radio khusus pemerintah daerah (RKPD, Suara Blambangan).
Penyiaran lagu berbahasa Using ini merupakan salah satu titik penting dalam pengembangan identitas Using secara massif. Masyarakat pun mulai menikmati lagu-lagu berbahasa Using serta menggeser ingatan mereka terhadap Genjer-genjer. Dampak penyiaran lagu tersebut adalah warga mulai menemukan kebanggaan karena Using digunakan sebagai bahasa lagu yang direkam dan disebarluaskan oleh rezim negara. Apalagi dalam sosialisasinya, musik garapan tersebut selalu diwacanakan sebagai Musik Lare Using atau Gaya Musik Lare Using (Arps, 2009: 16).
Guna semakin meningkatkan pemahaman masyarakat terkait ke-Using-an di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi multikultural, RKPD Suara Blambangan juga membuat beberapa program, seperti Gaya Lare Using, Siaran Bahasa Using, Sastra Using, dan Drama Using. Pada 1970-an sampai dengan 1980-an dilaksanakan Lomba Tembang Using dengan materi lagu-lagu gandrung.
Dampaknya, mulai tumbuhnya kebanggaan akan Using ditandai dengan meluasnya usaha-usaha kultural oleh seniman ataupun pengusaha swasta yang ikut menyebarluaskan lagu-lagu berbahasa Using dalam bentuk rekaman pita/kaset. Namun dikarenakan rezim tidak ingin kehilangan kendali atas proyek kultural yang mereka usung, usaha-usaha individual maupun swasta tersebut mulai dibatasi.
Pembatasan tersebut menegaskan bahwa apapun yang dilakukan para pelaku budaya dan warga masyarakat untuk mengembangkan identitas kedaerahaan Using harus mematuhi kebijakan yang sudah diputuskan oleh pemerintah kabupaten negara dan diamini oleh para aktor yang terlibat di dalam penentuan kebijakan tersebut.
Kesepakatan antara rezim negara dan aktor kultural memunculkan ‘percumbuan manis’ antara kepentingan untuk melestarikan budaya yang dianggap asli/khas dengan kekuasaan untuk mengendalikan gerak kultural masyarakat. Sementara, untuk mencegah komersialisasi terhadap usaha pelestarian kesenian Using, Ketua RKPD mengeluarkan Surat Edaran No 51/RKPD/V 1972 yang berisi larangan pengedaran dan penjualan lagu-lagu daerah Banyuwangi bagi para pengusaha rekaman swasta (Waluyo & Basri, 2007).
Pelarangan ini, menurut kami, merupakan bentuk kekhawatiran rezim negara terhadap perkembangan liar dari industrialisasi kesenian yang bisa mengarah ke praktik swastanisasi secara massif, sehingga mereka akan kesulitan untuk mengendalikan proyek pelestarian karena naluri bisnis swasta selalu berorientasi pasar tanpa memikirkan kepentingan budaya.
Tentu saja, keliaran diskursif industrialisasi musik Banyuwangian dikhawatirkan akan mengusung lirik-lirik atau mempopulerkan genre musik yang bertentangan dengan arah kebijakan rezim, atau bisa mengganggu kemapanan kekuasaan. Meskipun dalam catatan Arps (2009: 3) dikatakan bahwa sampai dengan tahun 1983 ketika dia memulai riset lapangannya di beberapa desa Banyuwangi masih banyak ditemukan masyarakat yang mengidentifikasi kesukuan dan kebahasaan mereka dengan “Jawa” dan bukan “Using”.
Program musikal, bahasa, dan sastra yang dilakukan oleh RKPD dengan pelibatan para seniman yang disokong rezim negara bisa dikatakan sebagai bentuk penyemaian awal bahasa dan budaya Using sebagai identitas khas masyarakat Banyuwangi yang multi-etnis dan multi-bahasa.
Lebih dari itu, program-program tersebut juga memberikan peluang lebih besar bagi konsolidasi dan penguatan identitas Using oleh para aktor kultural yang ditopang oleh negara. Kalaupun masih banyak warga pribumi Blambangan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Jawa, hal itu bisa jadi dipengaruhi oleh perjalanan historis yang mendudukkan Using sebagai sebutan yang mengejek.
Dalam perkembangan dari 1980-an sampai dengan 1990-an, penyemaian dan pengembangan identitas Using masih terus berlangsung dalam arahan dan kebajikan rezim negara Orde Baru, meskipun memunculkan juga riak-riak kecil yang dilakukan oleh individu-individu dan pihak swasta. Ragam wacana digunakan untuk mensosialisasikan dan menyebarluaskan identitas Banyuwangi ini ke tengah-tengah masyarakat.
Arps (2007) menyebutnya discursive ambience, di mana banyak ragam wacana di tempatkan di banyak lingkungan masyarakat Banyuwangi serta melibatkan banyak institusi, individu, kelompok, sehingga akan mempengaruhi pola pikir, imajinasi, dan pemahaman masyarakat terhadap wacana ke-Using-an.
Menariknya, perluasan dan pelipatgandaan medium ke-Using-an ini diramu secara manis dengan banyak kisah-kisah heroik seputar Kerajaan Blambangan, penetapan hari jadi, tradisi kuliner, etnisisasi ikon di tempat publik, pakaian, populeritas kesenian berbasis Using, dan lain-lain; sebuah glorifikasi dan valorisasi masa lampau untuk kepentingan masa kini.
Identifikasi identitas Using yang merujuk pada kisah-kisah heroik disebarluaskan oleh para budayawan—dulunya para seniman yang dilibatkan dalam proyek budaya rezim negara—dan sejarahwan yang, sekali lagi, mendapatkan legitimasi dari rezim pemerintah kabupaten.
Bahkan, penetapan hari jadi pada tanggal 18 Desember 1771 setelah melalui perdebatan dalam banyak seminar yang juga melibatkan akademisi dari Bali, Jember, dan Yogyakarta juga merujuk pada perlawanan Wong Agung Wilis terhadap penjajah Belanda, di mana pasukan pimpinannya berhasil untuk sementara waktu mengalahkan penguasa asing tersebut.
Meskipun pada masa itu kabupaten ini masih bernama Kerajaan Blambangan, rujukan pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut jelas ditujukan untuk memunculkan kebanggaan regional berbasis kisah kepahlawanan. Identifikasi heroisme sebagai basis untuk menentukan hari lahir selain berkaitan dengan kebanggaan juga berkaitan dengan mendapatkan legitimasi politiko-historis yang bisa memperkuat solidaritas sebagai sama-sama warga pewaris kejayaan Blambangan.
BAHASA USING DI MASA PASCAREFORMASI
Kalau Pemkab di masa Orde Baru hanya memasukkan kurikulum bahasa Using untuk sekolah dasar di komunitas Using, rezim pasca Reformasi 1998 mewajibkan pembelajaran bahasa Using untuk seluruh siswa SD dan SMP seluruh Banyuwangi, tanpa memandang identitas sukunya.
Perjuangan untuk melegitimasi bahasa Using dalam institusi akademis akhirnya bisa diwujudkan pada masa pasca Reformasi. Adalah Bupati Samsul Hadi yang pada tahun 2003 mengesahkan bahasa Using sebagai bagian kurikulum bermuatan lokal untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di seluruh Banyuwangi, tanpa memandang latar bekalang etnis mereka. Kebijakan ini disambut antusias oleh para budayawan, tokoh adat, maupun intelektual berlatar Using.
Hasan Sentot (2008) menjelaskan di blog-nya sebagai berikut.
Alhamdulillah, setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD dan SMP. Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayawan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamus Using. Berangsung-angsur wong Using juga mulai menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Samsul Hadi yang orang Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi.
Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara tentunya...Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Purnomo Sidik. Saat Mataram menguasai Blambangan, juga menggunakan background Majapahit dalam cerita Damarwulan untuk mendiskreditkan Raja Blambangan.
Ucapan “Alhamdulillah, setelah puluhan tahun perjuangan” menegaskan ungkapan syukur dari Hasan sebagai salah seorang intelektual berlatar Using karena perjuangan panjang yang dilakukan sejak awal Orde Baru akhirnya membuahkan hasil manis pada masa Reformasi.
Bahasa Using yang dulu dimarjinalkan oleh kekuatan Mataraman dari para penguasa sebelumnya, bisa dijadikan muatan kurikulum di SD dan SMP. Nuansa politis yang dikonstruksi dalam pendapat Hasan semakin kentara ketika persoalan bahasa tersebut dikaitkan dengan keberhasilan banyak warga Using dalam “berbagai aspek kehidupan”.
Dan, rujukan utama bagi keberhasilan tersebut adalah terpilihnya Samsul Hadi sebagai bupati Banyuwangi. Artinya, politik identitas melalui bahasa Using berjalin-kelindan dengan posisi politis yang sekian puluh tahun tidak pernah disandang oleh warga Using. Tentu saja, penyejajaran tersebut merupakan sesuatu yang wajar.
Mengapa? Karena warga Using yang selama ini mengklaim sebagai penerus langsung trah Blambangan selalu berada dalam posisi subordinat di tanah mereka sendiri akibat fakta politis yang tidak pernah memenangkan mereka. Namun, upaya untuk terlalu membanggakan Bupati Samsul sebagai orang Using, pada akhirnya, menegasikan usaha yang dilakukan Purnomo Sidiq yang menginisiasi penerapan bahasa Using sebagai muatan lokal pada era sebelum Reformasi.
Berkaitan dengan pembahasan di atas, bisa kami katakan bahwa kemenangan akan bahasa merupakan kemenangan politik dari kelompok subordinat yang secara kultural-historis semestinya menempati posisi ordinat atau dominan. Digemarinya lagu-lagu Banyuwangian yang berbahasa Using sejak zaman kemerdekaan sampai masa Reformasi dianggap belum cukup karena posisi di ranah akademis dan politis belum diraih.
Dengan diputuskannya bahasa Using sebagai muatan lokal, maka pembalikan posisi politiko-linguistik yang pada awalnya dikuasai oleh pendatang dengan sokongan rezim kurikulum di tingkat pusat bisa berlangsung. Kalau sebelum keputusan yang diambil Bupati Samsul anak-anak Using harus mau belajar bahasa Jawa Mataraman, dengan keputusan tersebut mereka hanya butuh belajar bahasa ibu sendiri. Dengan demikian, mereka tidak harus terbebani harus belajar bahasa Mataraman serta secara politis bisa diperkenalkan mulai dini dengan bermacam aspek kultural yang direpresentasikan melalui praktik berbahasa.
Melalui pengajaran bahasa Using kepada para siswa Jawa dan Madura, misalnya, posisi dominan secara simbolik bisa diwujudkan, karena bahasa mereka yang pada masa lampau dianggap menindas bisa diarahkan sesuai keinginan para budayawan dan birokrat yang berkiblat atau menjadikan bahasa dan budaya Using sebagai rezim kebenaran yang harus dituruti.
Maka, untuk memperkuat posisi politis tersebut, meskipun banyak mendapat kritik dari akademisi maupun masyarakat non-Using, kebijakan pemberlakukan bahasa Using sebagai muatan lokal tetap dilaksanakan di masa Bupati Samsul Hadi. Legitimasi formal dari penguasa, dengan demikian, menjadi faktor penting yang menopang kebanggaan bagi para aktor di balik pengusahaan bahasa Using dalam kurikulum muatan lokal sekolah.
Lebih jauh lagi, pilihan menjadikan bahasa Using sebagai muatan kurikulum lokal di Banyuwangi serta menginvestasi makna beraroma pembalikan politis dari kekuatan dominan—Mataraman—merupakan pilihan cerdas dari para budayawan dan aparatus negara. Hal itu tidak hanya mengkonsolodikasikan kekuatan politiko-linguistik bagi generasi penerus komunitas, tetapi juga menegaskan kepada masyarakat non-Using tentang peralihan posisi politis di bumi Blambangan.
Meskipun rezim penguasa berganti kepada bupati yang bukan berasal dari etnis Using, penetapan bahasa Using sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal tetap dipertahankan. Ketika Ratna Ayu Lestari (selanjutnya disingkat RAL) terpilih sebagai Bupati Banyuwangi periode 2004-2009, dia membuat keputusan yang memperkuat keputusan yang dibuat Bupati Samsul. Bupati RAL mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembejalaran Bahasa Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar.
Meskipun selama kepemimpinannya banyak ditentang oleh budayawan, tokoh adat, dan seniman karena dianggap kurang atau tidak berpihak kepada penguatan masyarakat dan budaya Using, ternyata RAL masih memberikan perhatian kepada bahasa Using dengan Perda tersebut. Namun, RAL tetap dianggap tidak melakukan usaha konkrit dalam pembejalaran bahasa Using karena, dia memangkas anggaran penerbitan buku sebesar Rp. 150.000.000 yang biasanya dianggarkan oleh rezim sebelumnya.
Berikut ini saya kutipkan beberapa pasal penting dari Perda yang dijadikan dasar berpikir dan bergerak para aktor kultural untuk menegaskan legitimasi penerapan bahasan Using sebagai muatan lokal.
Pasal 3
Pembelajaran bahasa Using sebagai kurikulum muatan lokal wajib dilaksanakan pada seluruh jenjang pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta, di Kabupaten Banyuwangi.
Pasal 4
Sekolah pada jenjang pendidikan dasar wajib mengajarkan bahasa daerah lainnya yang masih dipelihara dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat sekitarnya sesuai latar belakang bahasa ibu peserta didik atau pilihan wali peserta didik.
Dengan dua pasal di atas, implikasi lanjutnya adalah bahwa bahasa Using wajib diajarkan sebagai muatan lokal di seluruh SD dan SMP, baik negeri maupun swasta, di seluruh Kabupaten Banyuwangi. Termasuk di sekolah-sekolah yang berbasis etnis Jawa dan Madura.
Para siswa harus belajar bahasa Using, selain bahasa Jawa dan Madura. Terdapat 5 materi yang diajarkan dalam pembelajaran, yakni “cara membaca”, “mendengarkan”, “menulis”, “sastra Using”, dan “berbicara”. Meskipun terdapat banyak kendala dalam penerapannya, kebijakan ini tetap dijalankan. Bagi generasi tua, kewajiban tersebut bisa jadi hanya dianggap sebagai kewajiban di sekolah buat anak-anak mereka.
Namun, bagi para siswa, kewajiban tersebut merupakan bentuk institusionalisasi sejak usia pendidikan dasar kepada mereka terkait keunggulan bahasa dan budaya Using. Artinya, usaha simbolik untuk membalik logika politik bahasa bisa berimplikasi terhadap penguatan eksistensi budaya Using sebagai identitas yang membanggakan bagi seluruh masyarakat Banyuwangi.
Menariknya, idealisasi yang diyakini oleh para aktor kultural di Banyuwangi terkait pembelajaran bahasa Using harus berhadapan dengan kebijakan kurikulum yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Antariksawan Jusuf (2014) mencatat bahwa aturan Kurikulum 2013 yang mengharuskan seorang guru tingkat SMP mengajar mata pelajaran sesuai dengan keahliannya menjadikan tak seorang guru pun yang mengajarkan bahasa Using karena tidak ada di antara mereka yang bergelar Sarjana Bahasa Using.
Celakanya lagi, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, per April mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal wajib di Sekolah/Madrasah, di mana bahasa daerah di Jawa Timur hanya terdiri dari Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Dan, sama sekali tidak menyebut bahasa Using. Artinya, dua peraturan yang berasal dari pusat dan provinsi sama sekali tidak melegitimasi pembelajaran bahasa Using di Banyuwangi.
Pergub ini diposisikan sebagai ancaman terhadap eksistensi bahasa Using sebagai identitas masyarakat Banyuwangi, atau lebih tepatnya komunitas Using. Antariksawan (2014) menyebutnya sebagai “lonceng kematian bahasa Using”. Lebih jauh ia menjelaskan:
...Peraturan Gubernur yang sewenang-wenang ini makin mempercepat proses kematian Bahasa Using...Tanpa aturan yang membela keberadaannya, masa depan Bahasa Using sudah suram. Secara teori, peraturan itu mengancam keberlangsungan bahasa Using, sesuatu yang sangat bertentangan dengan rumusan para founding fathers negara ini.
Yaitu kebudayaan Indonesia adalah sumbangsih puncak-puncak kebudayaan lokal. Suatu hukum besi yang memberi ruang kebudayaan daerah untuk maju pesat. Artinya, kegelapan yang sama mengintai pada eksistensi masyarakat etnik Using Banyuwangi yang berjumlah hampir satu juta orang.
Sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk mempertahankan identitasnya. Tanpa Bahasa Using sebagai pelajaran, kematian Bahasa Using semakin cepat. Dan kematian bahasa ini ke depan akan memusnahkan kesenian Gandrung, misalnya. Karena lirik-lirik lagu dalam kesenian Gandrung atau upacara-upacara tradisional lainnya misalnya ritual trance Seblang, Kebo-keboan dan ritual lainnya, menggunakan bahasa Using. Pada akhirnya, keberadaan masyarakat Using yang menjadi sasaran.
Wacana yang dikonstruksi oleh Antariksawan sebagai intelektual Using lebih menekankan kepada apek legal-formal dalam pengembangan dan pemapanan bahasa Using sebagai bentuk identitas komunitas Using di Banyuwangi. Pergub yang dikatakan “sewenang-wenang” tersebut tidak memberikan perlindungan hukum bagi usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten maupun budayawan yang sudah sekian tahun memperjuangkan legitimasi bahasa Using di SD maupun SMP.
Asumsi konseptual yang dibangun adalah terdapat relasi langsung antara keberadaan peraturan yang melindungi kurikulum lokal bahasa Using dengan pembiasaan anak-anak Using dan juga anak-anak Banyuwangi dalam menggunakan bahasa ini. Karena dengan belajar di sekolah, mereka akan bisa mengetahui dan memahami lebih jauh signifikansi bahasa Using.
Sebenarnya, logika ini cenderung formalistik dalam memahami eksistensi bahasa ibu di tengah-tengah masyarakat. Namun, cara pandang ini memang masih dibutuhkan di tengah-tengah semakin terbukanya hubungan antara satu etnis dengan etnis lain di Banyuwangi, meskipun harus terus dievaluasi. Ketika anak-anak tidak ‘dipaksa’ untuk mempelajari bahasa ibu, sangat mungkin mereka akan lebih suka memilih bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang sudah semakin biasa di Banyuwangi.
Lebih jauh lagi, untuk memperkuat argumennya, Antariksawan menghubungkan ketiadaan payung hukum pengajaran bahasa Using dengan ancaman terhadap semakin tergerus atau terpinggirkannya budaya Using, dalam hal ini kesenian dan ritual. Gandrung, seblang, kebo-keboan, sebagai ritual yang menggunakan bahasa Using dimunculkan untuk meyakinkan pembaca tentang pentingnya payung hukum bagi pengajaran bahasa ini.
Tentu saja, yang dimaksudkan Antariksawan adalah bahwa ketika bahasa maupun mantra yang digunakan dalam ekspresi kultural tersebut tidak bisa lagi dipahami oleh generasi penerus, maka dikhawatirkan mereka tidak akan menggemari dan memahami gandrung, kebo-keboan, seblang, dan ekspresi kultural lain yang tembang dan mantranya menggunakan bahasa Using.
Argumen yang diajukan Antariksawan merupakan wacana yang sudah sangat lazim dalam perspektif kepunahan bahasa dan revitalisasinya. Marianne Mithum, linguis yang menggeluti bahasa kaum pribumi Amerika Utara, menjelaskan bahwa bahasa merupakan aspek kreatif dari kebudayaan dan sisi paling intim dari pikiran. Kepunahan bahasa akan menjadikan generasi berikutnya kesulitan untuk menemukan dan mengapresiasi aspek paling kreatif dari pikiran manusia (dikutip dalam Ahearn, 2011: 247-248).
Bahasa merupakan cara manusia membayangkan, menciptakan, dan mengomunikasikan kekayaan dalam kehidupannya melalui beragam karya seni, sastra, dan ritual. Menjadi wajar kalau penguasaan terhadap bahasa bisa menjadi kunci utama untuk bisa menikmati dan memahami hal-hal kreatif terkait kebudayaan dan identitas sebuah komunitas.
Lebih jauh, K. David Harrison (dikutip dalam Ahearn, 2011: 248) mengingatkan bahwa kepunahan sebuah bahasa bisa berimplikasi kepada beberapa tragedi. Pertama, erosi pengetahuan manusia, khususnya pengetahuan ekologis lokal yang sangat berguna untuk mencegah dampak buruk yang lebih luas dari krisis lingkungan dewasa ini. Kedua, hilangnya warisan budaya. Ketiga, kegagalan untuk memahami secara menyeluruh kapasitas kognisi manusia.
Masalahnya, terlalu kaku dalam memahami proses kepunahan atau kematihan sebuah bahasa lokal beserta dampak-dampak negatifnya bagi kebudayaan, terkadang bisa melupakan kompleksitas faktor dan permasalahan yang dihadapi oleh para penutur bahasa tersebut.
Sudut pandang esensial dan eksotis terhadap sebuah bahasa lokal bisa menegasikan peran para penutur sebagai agen yang terus berusaha menuturkannya di tengah-tengah kompleksitas masalah yang mereka hadapi. Mereka bukan sekedar “ikon” atau “penjaga” yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Apa yang patut diwaspadahi, menurut Ahearn (2011: 251) adalah jangan sampai kepentingan untuk kampanye penyelamatan bahasa ibu tersebut hanya menjadi kebutuhan para peneliti, dinas pemerintah, dan LSM, sedangkan para penutur di komunitas-komunitas bahasa lokal tidak berkepentingan.
Artinya, tidak masalah ada kekhawatiran, kampanye, ataupun penyelamatan bahasa ibu asalkan itu semua berasal dari kepentingan mayoritas penutur, bukan sekedar kepentingan sekelompok orang atau beberapa institusi yang ‘merasakan’ kekhawatiran akan punahnya bahasa tersebut sekaligus membawa misi atau kepentingan berbeda.
Dalam kasus tidak diakomodasinya bahasa Using dalam Pergub, memang sah-sah saja menimbulkan kekhawatiran akan cepat punah atau matinya bahasa Using. Namun, kekhawatiran ini tidak boleh semata-mata didasari atas kepentingan valorisasi dan mobilisasi identitas yang bukan menjadi kepentingan rakyat kebanyakan.
Selain itu, melogikakan bahwa ketika banyak generasi muda tidak lagi bisa berbahasa Using akan mendorong percepatan punahnya budaya Using, juga terkesan menyederhanakan permasalahan. Apabila ditelaah lebih jauh lagi, bahasa bukan faktor tunggal terkait kenyataan gandrung terob yang semakin terpinggirkan dalam gerak dinamis masyarakat Banyuwangi.
Salah satunya adalah masih kuatnya stigmatisasi terhadap kesenian ini dari kacamata agama sehingga tidak banyak orang tua yang mengizinkan anak perempuan mereka menjadi penari. Selain itu, ketidakjelasan kebijakan rezim Pendopo dalam hal regenerasi juga menjadi masalah tersendiri.
Terkait ketidakmengertian mantra yang digunakan dalam ritual di komunitas-komunitas Using, sebenarnya, tidak semata-mata dikarenakan generasi muda tidak mengetahui maknanya, tetapi banyak di antara pemangku adat yang tidak menginginkan atau tidak membolehkan mereka belajar makna dan kandungan mantra. Ketika ada kekhawatiran akan punahnya ritual komunitas tidak harus sepenuhnya dilimpahkan kepada persoalan penggunaan bahasa.
Faktor pewarisan makna mantra dan tata cara ritual kepada generasi muda juga perlu dipikirkan. Berkembangnya pemahaman agama yang menolak keragaman ritual karena dianggap menyekutukan Tuhan juga menjadi salah satu faktor yang mengancam keberlangsungan ritual komunitas.
Para aktor kultural di Banyuwangi, khususnya mereka yang duduk di Dewan Kesenian Blambangan (selanjutnya disingkat DKB), juga melancarkan perlawanan dengan cara mengirimkan surat protes kepada Gubernur Soekarwo terkait dikeluarkannya Pergub Nomor 19 Tahun 2014.
Lebih lanjut, DKB akan memboikot pagelaran seni-budaya yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi jika bahasa Using tidak dimasukkan ke dalam pembelajaran bahasa lokal versi pemerintah provinsi (Ika Ningtyas, 2015). Sebagai implikasi dari peraturan ini, sejumlah sekolah mulai tidak mengajarkan bahasa Using, karena tidak diwajibkan oleh pemerintah provinsi, sebagai institusi di atas pemerintah kabupaten.
Tentu saja, gerakan boikot pagelaran seni-budaya ini menarik untuk dicermati lagi. Ancaman boikot ini merupakan bentuk ‘terapi kejut’ terhadap pemerintah provinsi, karena selama ini kesenian Banyuwangi sering menjadi andalan provinsi untuk mengisi acara-acara mereka, termasuk sebagai duta seni ke tingkat nasional maupun internasional. Tujuan ancaman tersebut, tentu saja, agar aparat pemerintah provinsi mau menimbang-ulang ataupun merevisi keputusannya.
Namun, apa yang luput dari perhatian DKB adalah bahwa sebagian besar seniman dan kelompok seni di Banyuwangi sangat antusias apabila mendapatkan undangan dari pemerintah provinsi, apalagi kalau mereka mendapatkan biaya transportasi, akomodasi, serta memperoleh honor.
Tampil di ajang yang digelar pemerintah provinsi juga menjadi prestise tersendiri bagi para seniman dan kelompok seni mereka. Artinya, perjuangan yang dilakukan DKB maupun para intelektual berbasis Using dalam melawan Pergub tersebut, bisa jadi berbenturan dengan kepentingan pragmatis dari para seniman dan kelompok seni sebagai penggerak sebenarnya dari budaya di bumi Blambangan.
Apalagi, selama ini, menurut pengakuan banyak seniman di tingkat bawah, DKB sebagai institusi semi-pemerintah, kurang memperhatikan nasib mereka. Dengan kata lain, perjuangan melalui jalur protes yang dilakukan oleh DKB tampak menjadi tindakan para elit yang kurang merembes di lapisan bawah.
Tentu saja, kenyataan ini bisa menyebabkan keretakan atau ketidakutuhan mobilisasi identitas melalui praktik kebahasaan, karena tidak bisa menyatukan atau menjadi suara kolektif dari penggerak kultural di tingkat bawah yang selama ini nyata-nyata mendinamisasi budaya Banyuwangi.
Ketakutan akan tergusur atau punahnya bahasa Using dari tanah Banyuwangi memang sah-sah saja, apalagi dengan melihat semakin dominannya bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan juga mulai semaraknya program bahasa Inggris untuk masyarakat desa sebagai pendukung program wisata yang dicanangkan di bawah kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas.
Apalagi, pelestarian bahasa juga dikaitkan dengan kepentingan untuk terus menjaga dan menegaskan identitas Using di Banyuwangi. Namun, terlalu membabi-buta hanya dengan menyalahkan Peraturan gubernur tersebut, bisa melupakan permasalahan-permasalahan lain yang ikut berkontribusi terhadap proses tersebut.
Pergub tersebut memang harus terus dikritisi ataupun dilawan dengan cara-cara akademis dan kultural, tetapi tidak menjadikan perhatian pada persoalan-persoalan nyata yang mengancam bahasa Using diabaikan oleh intelektual ataupun institusi yang merasa bertanggung jawab. Jangan sampai kampanye perlawanan terhadap Pergub hanya menjadi proyek penegasan identitas yang melupakan para penutur bahasa Using di tingkat komunitas-komunitas yang masih menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari.
PENGALAMAN-PENGALAMAN GURU & SISWA
Diterapkannya pembelajaran bahasa Using untuk para pelajar SD dan SMP, baik yang berasal dari komunitas Using, Jawa, Madura, Mandar, Arab, China, dan yang lain sejak era Bupati Samsul Hadi hingga era Anas menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi, khususnya terkait pengalaman guru dan siswa. Perlu dijelaskan bahwa sejak keluarnya Pergub tahun 2014, banyak SMP di komunitas non Using yang sudah tidak mengajarkan bahasa Using lagi.
Untuk pelajar SD masih diajarkan. Mengetahui pengalaman para guru dan pelajar penting karena bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana efektifitas pembelajaran bahasa Using dalam memenuhi tujuan ideal untuk memperkuat identitas. Untuk keperluan tersebut kami mewancarai beberapa mahasiswa asli Banyuwangi, baik dari etnis Using maupun non-Using yang semasa SMP pernah mendapatkan pembelajaran bahasa Using.
Nindia, mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember angkatan 2014 adalah individu yang semasa SMP pernah merasakan pembelajaran bahasa Using. Dia sendiri berasal dari komunitas Using di salah satu di Rogojampi. Dalam kehidupan sehari-hari di keluarganya, ia memang berbahasa Jawa Ngoko bercampur sedikit Using.
Itulah yang menjadikannya tidak mahir berbahasa Using. Meskipun mendapatkan pelajaran bahasa Using ketika di bangku SMP, hal itu tidak menjadikannya mahir berbahasa Using dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, proses pembelajaran di ruang kelas yang menggunakan buku seperti LKS tidak menjadikan siswa seperti dirinya mahir berbahasa Using, baik secara lisan maupun tulis.
Apalagi yang mengajar bahasa Using adalah guru umum yang diminta mengajar karena memang tidak ada guru khusus bahasa Using. Maka, menjadi wajar kalau kemampuan dan kemahiran berbahasa Using tidak juga didapatkannya. LKS yang memang berbahasa Using, tetapi materinya lebih banyak ke ragam budaya Using, dari kesenian, ritual, dan yang lain.
Dini, mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember angkatan 2014 yang belajar di sekolah yang sama dengan Nindia, mengatakan hal serupa. Kalau diruntut dari moyangnya, Dini adalah keturunan etnis Mandar yang memang sejak zaman Kerajaan Blambangan sudah ada.
Meskipun berasal dari Mandar, Dini bisa sedikit berbicara dengan bahasa Using karena tempat ia tinggal, Desa Lemahbang, mayoritas dihuni komunitas Using. Namun, dalam pergaulan sehari-hari di sekolah, ia lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Itupula yang menyebabkan Dini tidak mahir berbahasa Using.
Hal serupa dialami Erisa Meutia, mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember angkatan 2015. Erisa berasal dari komunitas Madura di Kalibaru. Ketika SMP dia mendapatkan pelajaran Bahasa Using. Karena komunitas tutur sehari-harinya berbahasa Madura dan Jawa, Erisa menemukan kesulitan dalam proses belajar bahasa Using.
Apalagi guru yang mengajar adalah guru umum yang tidak begitu bisa mengajarkan seluk-beluk kebahasaan. Wajar, kalau dia tidak pernah mahir berbahasa Using meskipun telah lulus mata pelajaran tersebut ketika duduk di bangku SMP. Dengan satir Erisa mengatakan bahwa ia bisa sedikit bahasa Using ketia kuliah di Jember karena kawan-kawannya suka lagu pop-etnis Using.
Pengakuan ketiga mahasiswa tersebut menunjukkan bahwa efektifitas pembelajaran bahasa Using sebagai muatan lokal yang secara ideal diharapkan bisa meningkatkan kecakapan bahasa Using dan kecintaan terhadap identitas khas Banyuwangi masih bisa dipertanyakan. Memang, bagi pelajar yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Using, mereka mungkin tidak akan mendapatkan kesulitan berarti dalam proses pembelajaran, meskipun guru mereka berasal dari guru pelajaran lain.
Namun, bagi pelajar yang bukan berasal dari komunitas Using atau yang dalam bahasa sehari-harinya non Using, tentu mereka akan menemukan kesulitan dan ketidasyikan dalam proses belajar. Itulah yang menjadikan mereka belajar bahasa Using sekedar untuk bisa lulus ujian dan mendapatkan nilai, bukan untuk memperkuat identitas mereka sebagai suku atau komunitas Using di Banyuwangi.
Menurut Suryono, Nendy Angga, dan Iswaji, guru SDN Sumberagung 03 Pesanggaran, pembelajaran bahasa Using untuk siswa dari etnis Jawa tidak masalah, bahkan mereka mendukung dengan alasan agar siswa tahu salah satu karakteristik budaya yang ada di Banyuwangi, bukan hanya bahasa dan budaya Mataraman yang memang relatif kuat di Pesanggaran. Selain itu, bagi para guru, pembeajaran bahasa Using juga tidak terlalu berat karena hampir sama dengan bahasa Jawa.
Tentu saja pendapat ini tidak bisa dilepaskan dari model jawaban standar pandangan guru terkait kurikulum tertentu. Dari evaluasi pembelajaran yang mereka lakukan, mayoritas siswa berlatar etnis Jawa memberikan respon cukup baik kepada diajarakannya bahasa Using di ruang kelas.
Dengan belajar bahasa Using, siswa dari etnis Jawa bisa mengetahui dan memahami serta sedikit mempraktikkan bahasa yang unik dan menjadi identitas kultural Banyuwangi. Muatan lokal Using juga akan mengenalkan mereka kepada budaya Banyuwangi khususnya Using.
Meskipun demikian, para guru mengakui bahwa para siswa SD lebih menyukai pelajaran bahasa Jawa di sekolah karena mereka sehari-hari memang menggunakan bahasa Jawa. Kenyataan ini tentu bisa menjadi pertimbangan tentang tujuan sebenarnya pembelajaran bahasa Using untuk siswa dari etnis Jawa, Madura, dan yang lain.
Apakah perlu para pelajar atau komunitas etnis yang sudah memiliki bahasa ibu harus diwajibkan mempelajari bahasa Using? Bukankah tujuan sebenarnya dari pembelajaran bahasa Using itu untuk melegitimasi Using sebagai bahasa daerah yang sah untuk komunitas yang menggunakannya di Banyuwangi, sekaligus untuk memperkuat identitas etnis dan budaya Using? Kalau tujuannya demikian, berarti komunitas Jawa tidak perlu disasar kebijakan ini karena mereka sudah memiliki bahasa dan identitas sendiri yang ikut mewarnai Banyuwangi multikultural.
Kalau dibaca lebih kritis lagi, kebijakan untuk terus mengajarkan bahasa Using bagi siswa SD merupakan kelanjutkan dari residu kehendak yang bersemayam dalam diri para pelaku budaya pada era Orde Baru. Sementara, era Reformasi sejatinya memberikan peluang peniadaan kewajiban belajar bahasa Using bagi siswa etnis lain. Artinya, pemertahanan bahasa Using dalam kurikulum muatan lokal memang semata-mata diarahkan untuk penguatan identitas Using di Banyuwangi agar bisa bertahan dan lestari di tengah-tengah realitas keberagaman kultural masyarakat.
Bisa dikataan, kebijakan Pemkab untuk terus mengajarkan bahasa Using kepada semua etnis pasca Reformasi merupakan bentuk “dominasi linguistik” yang dilakukan kelompok minoritas yang pada masa lalu pernah mendapatkan pengalaman didominasi dalam hal linguistik, khususnya oleh birokrat yang mewajibkan warga belajar bahasa Jawa Kulonan/Mataraman.
Pembalikan logika dominasi linguistik ini dilakukan dengan alasan pelestarian bahasa dan budaya Using yang semestinya hanya ditujukan untuk komunitas itu sendiri, bukannya untuk komunitas-komunitas lain. Namun demikian, dari data yang kami peroleh, warga non-Using juga tidak keberatan dengan pengembangan dan penguatan bahasa dan budaya Using yang menyasar kepada anak-anak mereka.
Saya juga sempat menanyakan kepada para anggota di sebuah grup FB “Banyuwangi Bersatu” yang berasal dari bermacam etnis. Hasilnya dari lebih 100 tanggapan yang masuk, 100 % warganet setuju untuk pembelajaran bahasa Using di sekolah karena bisa digunakan untuk memperkenalkan keunikan bahasa dan keragaman budaya khas Banyuwangi kepada masyarakat.
Masyaraat non-Using juga memiliki kebanggaan akan bahasa Using karena dengan mempelajarinya mereka bisa tahu dan paham karakteristik dan kekayaan budaya, termasuk juga lagu-lagu Using yang sangat digemari. Selain itu, karena mereka hidup di Banyuwangi yang sejak Orde Baru sudah dikampanyekan bahasa dan budaya Using, maka mereka menghadapi medan linguistik dan kultural yang begitu dominan dalam kehidupan sehari-hari.
Wajar kiranya kalau kemudian warga dari etnis lain pada akhirnya terbiasa dengan habitus Using. Kalaupun ada yang tidak setuju dengan dominasi linguistik Using, mereka tidak akan mengungapkannya di ruang publik ataupun medsos karena akan berhadapan dengan kebijakan Pemkab dan kuatnya pengaruh kultural Using.
TENTANG OSENG, OSING & USING
Dalam ranah akademis, istilah Using sebagaimana dipopulerkan dalam buku dan kamus lazim digunakan dalam penulisan ataupun perbincangan ilmiah. Dan sejak Orde Baru tidak ada penolakan dari kalangan budayawan, seniman, ataupun tokoh adat, meskipun mereka mengucapkannya dengan bunyi “O” tetapi dengan penulisan “U”.
Kemapanan akademis tersebut memang bukan tidak bermasalah karena dalam lagu-lagu yang diciptakan para seniman seperti (alm) Andang istilah lare Osing lebih terkenal ketimbang lare Using. Bagi warga, mereka memang terbiasa menggunakan bunyi “O”, meskipun “U” dalam tulisan juga dibaca Osing.
Pada 14 Desember 2015 DKB menggelar Seminar Nasional Bahasa Oseng yang bertujuan untuk menunjukkan ke publik tentang perbedaan bahasa Using dengan bahasa Jawa. Adapun pemakalah seminar tersebut adalah Emillia Contesa (anggota DPD RI), MH. Qowim (Pusat Studi Bahasa Oseng dan Pengurus DKB), dan Hasan Basri (budayawan dan pengurus DKB).
Panitia tidak menggunakan istilah “Using” yang secara resmi diakui oleh pemkab dan kalangan akademis, tetapi “Oseng” karena mereka meyakini itulah cara pengucapan yang benar di dalam percakapan sehari-hari komunitas tutur yang menggunakannya. Kalau dibaca secara lebih kritis, panitia berusaha memunculkan perlawanan diskursif terhadap cara penulisan selama ini sebagaimana dibakukan oleh para akademisi.
Qowim menganggap bahwa para peneliti bahasa seringkali melakukan “kesalahan”, terkait metodologi seperti penentuan daerah penelitian, sampel, teori, teknik, serta kerap tidak sesuai metodologi penelitian bahasa. Tidak mengherankan, kalau temuan-temuan yang dihasilkan jauh dari kenyataan dan kebenaran berbahasa yang berlangsung dalam masyarakat.
Tidak hanya sampai di situ, menurut Qowim mayoritas peneliti bahasa Oseng tampak “tidak mau berpikir” dan “sudah membawa jawaban dari rumah atas penelitian yang akan dilakukan”. Ditambah lagi, waktu yang dimiliki peneliti bahasa Oseng sangat terbatas sehingga tidak maksimal dalam menjaring dan menganalisis data.
Tentu saja, tuduhan kejam Qowim terhadap para peneliti bahasa Using bisa dibaca sebagai resistensi terhadap kemapanan penelitian yang sebagian besar dilakukan oleh para peneliti non-Banyuwangi. Sebagai usaha diskursif untuk menggelorakan semangat meneliti kaum intelektual asli Banyuwangi, tuduhan itu tentu sah-sah saja.
Namun, pertanyaannya adalah “apakah Qowim sudah membaca semua hasil penelitian yang sudah dilakukan?” Selain itu, apakah Qowim sudah melakukan kajian-kajian yang lebih sesuai secara metodologis maupun lebih komprehensif dalam temuannya? Kalau belum, berarti ia secara sepihak hanya ingin mengonstruksi legitimasi bahwa hanya penelitian-penelitian yang (akan?) ia dan kawan-kawannya lakukan di Pusat Studi Bahasa Oseng lah yang paling benar.
Apa yang harus dicatat adalah melalui tuduhan tersebut, Qowim secara implisit melakukan politik wacana dengan mengklaim bahwa kebenaran akademis tentang kebahasaan tidak bisa muncul dari para peneliti non-Banyuwangi. Tentu, ini adalah bentuk “kesombongan akademis” yang kebablasan dari intelektual yang merasa menjadi wakil representatif Banyuwangi. Tentu, apa yang dilakukan Qowim tidak mewakili intelektual dan aktor kultural Banyuwangi secara keseluruhan.
Buktinya, Antariksawan Yusuf membuat beberapa tulisan bersambung di blog pribadinya soal beberapa keberatan, kritik, dan masukan terhadap acara seminar tersebut. Pertama, terkait penggantian istilah “Using” menjadi “Oseng” merupakan tindakan tanpa rujukan dan hanya menegaskan ‘syahwat’ panitia untuk diakui menjadi pihak yang paling tahu soal bahasa Using serta berpotensi memunculkan kebingungan di kalangan guru (Antariksawan, 2015a).
Lebih jauh Antariksawan (2015b, 2015c) mengatakan bahwa istilah “Oseng” itu baru sebatas usulan yang belum layak untuk menggantikan istilah “Using” yang sudah dibahas sampai disertasi doktoral oleh Suparman Herusantosa, “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi”, serta sudah di-perda-kan. Artinya, penggantian yang dilakukan oleh panitia bisa dibaca sebagai sebuah usaha diskursif yang mencoba berangkat dari realitas pengucapan di masyarakat.
Namun, tidak mengindahkan aturan-aturan linguistik yang sudah disepakati dalam kalangan akademis. Kedua, dalam dunia akademis sangat wajar ketika seorang peneliti menyalahkan para peneliti lain dan temuan mereka, tetapi tidak dengan cara mencaci-mereka di depan peserta seminar dan, celakanya, Qowim tidak menunjukkan hasil penelitiannya terkait bahasa Using (Antariksawan, 2015a).
Dengan kata lain, menurut saya, ia sedang meninggikan kemampuannya tetapi dengan menunjukkan kepada publik bahwa ia sebenarnya tidak—atau belum—menghasilkan karya akademis tentang bahasa Using; sebuah dekonstruksi terhadap diri-sendiri.
Perdebatan ramai antara pihak yang pro dan yang anti penggunaan terma Using berlangsung pula di jagat media sosial. Akibatnya, banyak pihak yang mengetahui. Pengurus DKB dan PPBO yang tetap ingin menggunakan istilah “Oseng” karena secara pengucapan di masyarakat bukanlah “Using”.
Karena perdebatan yang semakin memanas, Emilia Contessa, putri (alm) Hasan Ali (penulis Kamus Bahasa Using), anggota Komisi III DPD RI, sampai harus membuat himbauan terbuka di media on-line. Emilia Contessa (2016) menegaskan bahwa Seminar Ilmiah Nasional Bahasa Oseng/Using tidak digelar dengan tujuan menciptakan perpecahan atau suasana tidak nyaman, juga tidak bertujuan melupakan atau mengkhianati karya besar Hasan Ali sebagai tokoh yang membidani lahirnya kamus bahasa Using.
Ia tidak menginginkan nama, karya, dan pemikiran Hasan Ali digunakan sebagai alat propaganda, menebar kebencian, saling menghujat, mengadu domba, memfitnah, dan dipakai untuk menyerang pihak-pihak tertentu yang memicu perdebatan di media sosial.
Tidak lupa, Emilia berharap seluruh masyarakat, pemerhati bahasa, hingga peneliti, hendaknya saling menghargai perbedaan dan tidak melarutkan diri ke dalam perbincangan dan perdebatan yang berujung pada perpecahan. Semua pihak harus bersatu demi tercapainya sebuah pengakuan bahwa bahasa Oseng/Using sebagai bahasa daerah.
Menurut saya, kalaupun para pengurus DKB dan Pusat Studi Bahasa Oseng ingin mengugurkan penggunaan “Using” dan menasbihkan diri mereka sebagai “yang paling paham” bahasa warga penerus Blambangan, sudah seharusnya mereka menunjukkan keseriusan dalam meneliti dan menjalankan program penguatan di tengah-tengah masyarakat.
Tanpa karya akademis yang disebarkan secara luas, mereka hanya akan dibaca publik sebagai pihak yang tiba-tiba muncul ke permukaan ketika sedang ada ‘hajatan proyek’. Sebaliknya, pihak-pihak yang secara nyata berkontribusi terhadap pembelajaran dan penguatan malah dihilangkan suaranya dari pemberitaan media.
Dengan demikian, tegangan diskursif-konfliktual di antara pihak-pihak yang saling kontra sebenarnya kurang berpengaruh terhadap komunitas Using secara menyeluruh. Mereka telah terbiasa menggunakan bahasa itu di dalam percakapan sehari-hari, bahkan sejak usia dini. Namun, tegangan tersebut berlangsung di tangan para intelektual yang tentu akan terus berusaha menemukan fakta historis, sekaligus melanjutkan pertentangan dan pertarungan dalam medan kebudayaan.
SASTRA BERBAHASA USING UNTUK IDENTITAS
Ketika banyak pihak mengatakan bahwa budaya Using miskin karya tulis, ketika banyak pihak masih gembar-gembor mana yang benar Osing, Using, atau Oseng, beberapa intelektual-pegiat sastra dan budaya memutuskan berkarya di bawah bendera SKB, Sengker Kuwung Belambangan.
Lembaga yang digawangi oleh Antariksawan Yusuf ini aktif dalam menyelenggarakan kegiatan literasi di bumi Banyuwangi. Yang saya maksudkan dengan literasi adalah upaya edukasi dan kreasi untuk mengampanyekan pentingnya menulis karya sastra berbahasa Using dan karya-karya akademis yang ditulis oleh sastrawan dan intelektual Banyuwangi.
Meskipun hanya digerakkan oleh beberapa penggiat, lembaga ini telah mampu menyumbangkan sesuatu bagi pengembangan dan penguatan identitas Using, baik di ranah regional maupun nasional. Kegiatan mereka berupa pelatihan penulisan sastra, lomba penulisan cerpen berbahasa Using, diskusi sastra dan budaya, lomba mengeja bahasa Using, serta penerbitan karya-karya sastra dwi bahasa (Using dan Indonesia) dan karya-karya akademis tentang kebudayaan Using.
Dalam catatan Antariksawan (2016), sejak tahun 2013, SKB melakukan lomba cerpen berbahasa Using dan diterbitkan dalam bentuk buku antologi berjudul Kembang Ronce. Tentu saja, even lomba dan penerbitan ini menjadi sumber inspirasi dan kekuatan kultural baru untuk menyemaikan dan menyuburkan tradisi tulis bahasa Using ketika institusi pemangku kepentingan kebudayaan di Banyuwangi nyaris tidak berbuat apa-apa selain larut dalam euforia festival dan karnaval yang sangat dibanggakan bupati.
Di tahun 2013, Kembang Ronce, bersama-sama dengan karya lain seperti, Nawi BKL Inah (Antariksawan Yusuf dan Hani Noer) yang ditulis dalam bahasa Using dan Indonesia serta Kemiren: Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris (Aekano H) yang ditulis dalam bahasa Using dan 5 bahasa lainnya (Jawa, Inggris, Perancis, Belanda, dan Italia), mampu menjadi penanda penting dimulainya aktivitas literasi yang ditujukan kepada generasi muda dan masyarakat secara umum.
Pada tahun 2014, SKB menerbitkan kumpulan cerpen Kembang Ronce dan Markas Katelon. Tahun 2015, selain menerbitkan kumpulan cerpen Kembang Ronce, Jala Sutra, Belambangan 1771, SKB juga menerbitkan novel Niti Negari Bala Abangan (Hasnan Singodimayan) dalam dwi bahasa, Using dan Indonesia.
Tahun 2017 novel dwi-bahasa terbitan SKB, Agul-agul Belambangan (Mohammad Syaiful), meraih penghargaan bergengsi untuk sastra berbahasa daerah, Rancage, untuk kategori sastra berbahasa Jawa. Hal ini bisa dikatakan sebagai memunculkan ambivalensi bagi pengembangan sastra Using. Mengapa demikian? Pernyataan Antariksawan (2017) berikut bisa menjelaskan soal ambivalensi tersebut.
....sungguh menggembirakan sekaligus memunculkan keprihatinan tetapi membanggakan. Menggembirakan karena untuk pertama kali karya sastra Using diikutsertakan pada penilaian Sastra Rancage.... Memprihatinkan karena karya sastra Using, dimasukkan ke dalam kategori Jawa.
Meski ada perdebatan bahwa Using merupakan bahasa tersendiri, dan kubu lain yang mengatakan bahwa Using hanyalah dialek Jawa, akhirnya panitia memutuskan merujuk pada Peraturan Gubernur Jawa Timur (Nomor 19 Tahun 2014) yang dalam Bab I Pasal 1 no. 9 tercantum : “Bahasa Daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa Timur yang terdiri dari bahasa Jawa dan Bahasa Madura.” Yang akhirnya diambil kesimpulan bahwa Bahasa Using merupakan dialek Bahasa Jawa, sehingga karya sastra Using dilombakan dalam kategori bahasa Jawa.
Pemunculan istilah “menggembirakan” dan “memprihatinkan” merupakan bukti betapa Antariksawan berada dalam ambivalensi. Selama ini, perjuangan SKB dan para penggiatnya diorientasikan kepada penguatan posisi bahasa Using, tidak hanya di Banyuwangi, tetapi juga di Jawa Timur dan Indonesia.
Tentu saja, para penggiat sastra Using akan lebih bergembira apabila Agul-agul Belambangan masuk kategori khusus, sastra berbahasa Using, sebuah kategori baru. Namun, ketika panitia memilih untuk memosisikan bahasa Using sebagai dialek dari bahasa Jawa berdasarkan Pergub Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2014, harapan tersebut harus dipupus karena panitia tentu tidak ingin menimbulkan polemik berkepanjangan.
Ambivalensi ini memang tidak mengenakkan karena hasrat untuk positioning bahasa Using yang setara dengan bahasa Jawa harus berbenturan dengan keputusan panitia yang sekaligus memosisikan bahasa Using sebagai dialek dari bahasa Jawa. Meskipun demikian, kemenangan novel ini menunjukkan bahwa para sastrawan Using memiliki kualitas yang tidak kalah dengan para sastrawan Jawa.
“Untuk pertama kalinya ikut, karya Sastra Using sudah mampu menyabet hadiah Rancage mengalahkan karya-karya sastra berbahasa Jawa lainnya,” begitu ungkapan Antariksawan yang merepresentasikan kegembiraan dan kebanggaan para penggiat literasi Using, khususnya dalam SKB.
Ungkapan tersebut sekaligus mengonstruksi wacana ‘patriotisme dalam bidang literasi’ yang harus terus dijaga dan diperjuangkan para penggiat demi pengembangan dan penguatan bahasa dan sastra Using, karena mereka memiliki kualitas yang terbukti tidak kalah dengan para sastrawan Jawa lain yang sudah terlebih dahulu berkarya.
Sebagai sebuah gerakan literasi, para penggiat SKB tidak pernah merengek-rengek meminta dana kepada Pemkab Banyuwangi. Apa yang mereka pentingkan adalah berbuat sesuatu untuk pemertahanan dan pengembangan bahasa Using melalui bahasa tulis-sastrawi.
Mengembangkan bahasa Using melalui karya tulis sastrawi dan menyebarluaskannya ke masyarakat secara regional dan nasional merupakan terobosan yang luar biasa karena berkaitan usaha dengan untuk mendokumentasikan dan menyuburkan “peradaban tulis” sehingga bisa menjadi monumen atau prasasti yang bisa dilacak oleh generasi masa kini ataupun masa depan.
Dengan karya sastra kita juga bisa melihat bagaimana kekayaan dan permasalahana manusia, komunitas, dan budaya Using di tengah-tengah perubahan zaman diimajinasikan dan direkonstruksi oleh para penulis Banyuwangi secara dinamis. Melalui karya sastra mereka bisa dengan leluasa menegosiasikan pandangan dunia mereka terkait permasalahan sosial, ekonomi, politik, pariwisata, dan kultural yang dihadapi komunitas-komunitas Using, pada khususnya, dan masyarakat Banyuwangi, pada umumnya.
BAHASA, IDENTITAS, & KEPENTINGAN
Penentuan bahasa lokal tertentu sebagai bahasa resmi atau bahasa yang diajarkan di sekolah bukan sekedar memenuhi kepentingan pelestariannya di tengah-tengah pengaruh banyak bahasa dan budaya. Ditetapkannya bahasa Using sebagai bahasa daerah yang harus diajarkan di Banyuwangi, merupakan “usaha ideologis” untuk memvalorisasi dan memobilisasi identitas partikular yang melekat pada subjektivitas komunitas Using.
Bahasa, bagaimanapun juga, telah menjadi alat indeksikal yang merujuk pada komunitas atau masyarakat dengan budaya spesifik yang berbeda dengan komunitas lainnya. Bahasa menjadi pengikat solidaritas yang cukup efisien di antara warga yang berasal dari satu keturunan nenek moyang.
Pada kondisi ketika mereka terdesak oleh kekuatan kultural lain yang lebih dominan, kekhawatiran linguistik menjadi menguat di antara para pelaku budaya di Banyuwangi. Kondisi inilah yang menjadikan mereka mendekati pimpinan daerah untuk mengesahkan bahasa Using diajarkan di sekolah.
Kekuatan birokrasi untuk melegitimasi dan mengembangkan bahasa Using di tengah-tengah komunitasnya mendorong semakin populernya bahasa ini di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi multikultural. Dampak langsungnya adalah semakin terkenal dan menguatnya identitas budaya dan suku Using, baik di Banyuwangi maupun di luar Banyuwangi.
Penguatan linguistik ini sekaligus menjadi misi ideologis yang dijalankan oleh para pelaku budaya yang berjuang untuk mematangkan identitas Using sebagai yang semestinya dominan di tanahnya sendiri. Meskipun Jawa dan Madura secara kuantitas lebih besar, secara kultural Using lah yang bisa menjadi kekuatan dominan karena faktor historis dan karakteristiknya yang tidak ada di wilayah lain.
Namun demikian, kita melihat adanya keuntungan politik yang didapatkan rezim negara Orde Baru dengan melegitimasi bahasa Using. Pemerintah kabupaten sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat bisa memformulasi kebijakan budaya yang menjadikn Using sebagai ekspresi yang dirayakan untuk kepentingan pencarian unsur-unsur budaya bangsa.
Lebih jauh, pengaruh kebijakan ini adalah pemerintah memberikan ruang dan ekspresi budaya kepada para seniman dan masyarakat sehingga mereka terikat dengan kebersamaan. Solidaritas yang semakin menguat bukanlah solidaritas untuk melawan penindasan atau ketidakadilan dari kekuatan luar ataupun rezim negara. Solidaritas berbasis bahasa dan budaya tersebut hanya menjadi ikatan kebersamaan tanpa nilai ideologis sebenarnya.
Artinya, negara berhasil mengebiri kekuatan-kekuatan ideologis dari bahasa dan budaya. Yang tidak bisa diabaikan adalah ketika selebrasi linguistik ikut memperkuat budaya dan etnisitas, pada saat bersamaan, rezim negara mendapatkan keuntungan strategis karena mereka memperoleh konsesus dari pewaris tanah Blambangan.
Selain itu, rezim negara juga berhasil menetralisir residu ideologis komunisme yang sempat mempengaruhi gerak budaya Banyuwangi. Dengan demikian, perkembangan bahasa dan budaya Using pada era Orde Baru membawa lapisan kepentingan yang beririsan satu sama lain, meskipun memiliki partikularitas yang disesuaikan dengan kepentingan sektoral mereka.
Pada masa pasca Reformasi 1998, euforia lokalitas semakin meluas. Konsep putra asli daerah memungkinkan rezim pemkab Banyuwangi bersama para pelaku kultural yang masih ingin terus mengembangkan bahasa dan budaya Using melakukan terobosan-terobosan kebijakan.
Identitas Using dimainkan secara massif sehingga para pelaku budaya memberikan respons positif. Perluasan pembelajaran bahasa Using di masa Samsul Hadi menjadikan bupati ini mendapatkan konsensus dari masyarakat dan pelaku budaya. Di sinilah, Samsul mendapatkan keuntungan politik dengan memobilisasi identitas berbasis kebahasaan dan budaya.
Pada masa Ratna Ani Lestari, pembelajaran bahasa Using diperluas untuk semua siswa di Banyuwangi, SD dan SMP, tidak peduli komunitas etnis mereka. Meskipun tidak mendapatkan dukungan konsensual dari para pelaku budaya, Ratna terbukti menjamin pengembangan dan perluasan untuk pembelajaran bahasa Using. Bisa jadi, Ratna juga ingin mendapatkan keuntungan dari proses tersebut, yakni ingin mendapatkan dukungan kultural dari para pembela bahasa dan budaya Using.
Dari paparan di atas, kita bisa membaca adanya kepentingan untuk memobilisasi identitas yang dimainkan di dalam usaha untuk menetapkan bahasa Using sebagai bahasa daerah di era Orde Baru. Muncul beberapa aktor kultural yang berperan penting dalam mengusung aktivitas pemapanan bahasa Using.
Penetapan bahasa Using sebagai bagian kurikulum muatan lokal pada awalnya bukanlah kehendak komunal, tetapi hasrat beberapa elit lokal yang memiliki akses terhadap pemimpin wilayah di tingkat birokrasi. Namun, dalam perkembangannya mempengaruhi solidaritas komunitas Using di Banyuwangi, sehingga memperkuat bentuk budaya dan konstruksi etnis.
Rezim negara pun mendapatkan keuntungan dengan konsensus politik dari mayoritas warga pengguna bahasa dan pelaku budaya Using. Pada masa pasca Reformasi, penguatan lokalitas Using melalui pembelajaran bahasa untuk semua etnis di Banyuwangi berjalan dengan lancar. Kepentingan politik memang kental, tetapi itu semua dibalut dengan kebijakan yang mengikat aparat birokrasi dan masyarakat.
* Tulisan ini berasal dari laporan riset dengan judul "Bukan Sekedar Oseng, Osing, atau Using: Ideologi, Politik, dan Kebijakan Bahasa di Banyuwangi" (2018).
DAFTAR BACAAN
Acciaioli, Greg. 1985. “Culture as Art: From Practice to Spectacle in Indonesia”. Canberra Anthhropology, Vol. 8 (1 & 2), hlm. 148-172.
Ahearn, Laura M. 2012. Living Language: An Introduction to Linguistic Anthropology. Victoria: Wiley-Blackwell .
Arps, Bernard. 2010. “Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang Pandang 1970-2009)”. Dalam Mikihiro Moriyama & Manneke Budiman (Ed). Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru. Tokyo: Research Institute for Language and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University of Foreign Studies.hlm.225-248.
Arps, Benard. 2009. “Using kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic identity and the regional past as an ambient theme in East Javanese town”. Wacana, Vol.11, No.1: 1-38.
Blom, Jan-Petter and Gumperz, John. 1972. "Social Meaning in Linguistics Structure: Code-Switching in Norway." In Gumperz and Hymes (ed.). 1972: 407-434.
Boggs, Carl. 1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.
Boothman, Derek. 2008. “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony,” dalam Richard Howson & Kylie Smith (eds). Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.
Dirven, Rene, Roslyn Frank, & Cornelia Ilie (eds). 2001. Language and Ideology, Volume II: Descriptive Cognitive Approaches. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Dirven, Rene, Bruce Hawkins, & Ersa Sandikcioglu. 2001. Language and Ideology, Volume I: Theoretical Cognitive Approaches. Amsterdam: John Bejmanins Publishing Compnay.
Duranti, Alessandro (ed). 2005. A Companion to Linguistic Anthropology. Victoria: Wiley-Blackwell.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Essex: Longman.
Fontana, Benedetto. 2008. “Hegemony and Power in Gramsci,” dalam Richard Howson & Kylie Smith (Eds). Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.
Foucault, Michel. 1984. “Truth and Power”. Dalam Paul Rainbow (ed). Foucault Reader. New York: Panthean Books.
Foucault, Michel. 1981. “The Order of Discourse”, Inaugural Lecture at the College de France, 2 Desember 1976, dipublikasikan kembali dalam Robert Young (ed). Untying the Text: A Post-Structuralist Reader. Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester.
Foucault, Michel. 2013. Archaeology of Knowledge. London: Routledge.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
Gumperz, J. 1977. “The Sociolinguistic Significance of Conversational Code-switching”. RELC Journal, 8 (2):1-34.
Gumperz, J. and Hymes, D. (eds.). 1972. Direction in Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Hymes, Dell H. 1983. Essays in the History of Linguistic Anthtropology. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Hudson, R.A. 1990. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Hymes, Dell (ed.). 1971. Pidgination and Creolization of Languages. Cambridge: Cambridge University Press.
Kroskrity, Paul V. 2004. “Language Ideologies”. Dalam Alessandro Duranti (ed). A Companion to Linguistic Anthropology. Victoria: Wiley-Blackwell.
Parasher, S.N. 1980. “Mother Tongue-English Diglossia: a Case Study of Educated India Bilinguals’ Language Use”. Anthropological Linguistics, 22 (4):151-168.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 2003. “Perubahan Fungsi Kode Tutur di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Internasional Budaya, Bahasa, dan Sastra, Fakultas Sastra UNDIP-UNIMUS, Semarang, Oktober 2003.
Mair, Christian. 2003. The Politics of English as a World Language: New Horizons in Postcolonial Cultural Studies. Amsterdam: Rodofi.
Mann, Robin. 2007. “Negotiating the politics of language: Language learning and civic identity in Wales”. Ethnicities, Vol. 7(2): 208-224.
Mertz, Christian. 2007. “Semiotic Anthropology”. Annual Review of Anthropology, Vol. 36: 337-353.
Nichols, Robert Lee. 2006. “Struggle with language: Indigenous movement of linguistic security and the politics of local community”. Ethnicities, Vol. 6(1): 27-51.
Ningtyas, Ika. 2015. “Bahasa Lokal Using Tidak Diakui, Banyuwangi Protes Gubernur”, http://www.tempo.co/read/news/2015/05/06/058664013/Bahasa-Lokal-Using-Tak-Diakui-Banyuwangi-Protes-Gubernur, diunduh 18 Mei 2015.
Schmid, Carol L. 2001. The Politics of Language: Conflict, Identity, and Cultural Pluralism in Comparative Perspective. Oxford: Oxford University Press.
Salzmann, Zdenek, James M. Stanlaw, & Nobuko Adachi. 2012. Language, Culture, and Society: An Introduction to Linguistic Anthropology. Colorado: Westview Press.
Sentot, Hasan. 2008c. “Ada Apa dengan Wong Using”, http://hasansentot2008.blogdetik.com/2009/01/15/ada-apa-dengan-wong-Using/, diunduh 18 Agustus 2011.
Setiawan, Ikwan, Albert Tallapessy, & Andang Subaharianto. 2017a. Merawat Budaya, Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan. Yogyakarta: Diandra Kreatif bekerjasama dengan Matatimoer Institute.
Setiawan, Ikwan, Albert Tallapessy, & Andang Subaharianto. 2017b. “The Mobilization of Using Cultures and Local Government’s Political Economy Goals in Post-Reformation Banyuwangi”. Humaniora, Vol. 29(1): 12-23.
Setiawan, Ikwan, Albert Tallapessy, & Andang Subaharianto. 2017c. “Exertion of Cultures and Hegemonic Power in Banyuwangi: The Midst of Postmodern Trends”. Karsa: Journal of Social and Islamic Studies, Vol. 25(1): 147-178.
Sariono, Agus. 2007. "Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Using: Studi Kasus pada Masyarakat Using di Kelurahan Singotrunan, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi". Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.
Thelander, Mats. 1976. “Code-switching or Code-mixing?”. Linguistics. 183:103-124.
Wardhaugh, Ronald. 1990. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.
Wolff, John U. dan Soepomo Poedjosoedarmo. 1982. Communicative Code in Central Java. New York: The Cornell University South East Asia Program.
Yusuf, Antariksawan. 2017. “Karya Sastra Using Mengalahkan Karya Sastra Jawa pada Rancage 2017”, http://antariksawanjusuf.blogspot.co.id/2017/02/karya-sastra-using-mengalahkan-karya.html, diunduh 1 April 2017.
Yusuf, Antariksawan. 2015a. “Seminar Bahasa Oseng,Catatan dan Masukan”, tersedia di: http://antariksawanjusuf.blogspot.co.id/2015/12/seminar-bahasa-using-catatan-dan-masukan.html, diunduh 2 September 2016.
Yusuf, Antariksawan. 2015b. “Surat Terbuka untuk Panitia Seminar Bahasa Oseng”, http://antariksawanjusuf.blogspot.co.id/2015/11/surat-terbuka-untuk-panitia-seminar.html, diunduh 2 September 2016.
Yusuf, Antariksawan. 2015c. “Surat Terbuka untuk Panitia Seminar Bahasa Oseng (Bagian-2), http://antariksawanjusuf.blogspot.co.id/2015/11/surat-terbuka-untuk-panitia-seminar_29.html, diunduh 2 September 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H