Pada tahun 2014, SKB menerbitkan kumpulan cerpen Kembang Ronce dan Markas Katelon. Tahun 2015, selain menerbitkan kumpulan cerpen Kembang Ronce, Jala Sutra, Belambangan 1771, SKB juga menerbitkan novel Niti Negari Bala Abangan (Hasnan Singodimayan) dalam dwi bahasa, Using dan Indonesia.
Tahun 2017 novel dwi-bahasa terbitan SKB, Agul-agul Belambangan (Mohammad Syaiful), meraih penghargaan bergengsi untuk sastra berbahasa daerah, Rancage, untuk kategori sastra berbahasa Jawa. Hal ini bisa dikatakan sebagai memunculkan ambivalensi bagi pengembangan sastra Using. Mengapa demikian? Pernyataan Antariksawan (2017) berikut bisa menjelaskan soal ambivalensi tersebut.
....sungguh menggembirakan sekaligus memunculkan keprihatinan tetapi membanggakan. Menggembirakan karena untuk pertama kali karya sastra Using diikutsertakan pada penilaian Sastra Rancage.... Memprihatinkan karena karya sastra Using, dimasukkan ke dalam kategori Jawa.
Meski ada perdebatan bahwa Using merupakan bahasa tersendiri, dan kubu lain yang mengatakan bahwa Using hanyalah dialek Jawa, akhirnya panitia memutuskan merujuk pada Peraturan Gubernur Jawa Timur (Nomor 19 Tahun 2014) yang dalam Bab I Pasal 1 no. 9 tercantum : “Bahasa Daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa Timur yang terdiri dari bahasa Jawa dan Bahasa Madura.” Yang akhirnya diambil kesimpulan bahwa Bahasa Using merupakan dialek Bahasa Jawa, sehingga karya sastra Using dilombakan dalam kategori bahasa Jawa.
Pemunculan istilah “menggembirakan” dan “memprihatinkan” merupakan bukti betapa Antariksawan berada dalam ambivalensi. Selama ini, perjuangan SKB dan para penggiatnya diorientasikan kepada penguatan posisi bahasa Using, tidak hanya di Banyuwangi, tetapi juga di Jawa Timur dan Indonesia.
Tentu saja, para penggiat sastra Using akan lebih bergembira apabila Agul-agul Belambangan masuk kategori khusus, sastra berbahasa Using, sebuah kategori baru. Namun, ketika panitia memilih untuk memosisikan bahasa Using sebagai dialek dari bahasa Jawa berdasarkan Pergub Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2014, harapan tersebut harus dipupus karena panitia tentu tidak ingin menimbulkan polemik berkepanjangan.
Ambivalensi ini memang tidak mengenakkan karena hasrat untuk positioning bahasa Using yang setara dengan bahasa Jawa harus berbenturan dengan keputusan panitia yang sekaligus memosisikan bahasa Using sebagai dialek dari bahasa Jawa. Meskipun demikian, kemenangan novel ini menunjukkan bahwa para sastrawan Using memiliki kualitas yang tidak kalah dengan para sastrawan Jawa.
“Untuk pertama kalinya ikut, karya Sastra Using sudah mampu menyabet hadiah Rancage mengalahkan karya-karya sastra berbahasa Jawa lainnya,” begitu ungkapan Antariksawan yang merepresentasikan kegembiraan dan kebanggaan para penggiat literasi Using, khususnya dalam SKB.
Ungkapan tersebut sekaligus mengonstruksi wacana ‘patriotisme dalam bidang literasi’ yang harus terus dijaga dan diperjuangkan para penggiat demi pengembangan dan penguatan bahasa dan sastra Using, karena mereka memiliki kualitas yang terbukti tidak kalah dengan para sastrawan Jawa lain yang sudah terlebih dahulu berkarya.
Sebagai sebuah gerakan literasi, para penggiat SKB tidak pernah merengek-rengek meminta dana kepada Pemkab Banyuwangi. Apa yang mereka pentingkan adalah berbuat sesuatu untuk pemertahanan dan pengembangan bahasa Using melalui bahasa tulis-sastrawi.
Mengembangkan bahasa Using melalui karya tulis sastrawi dan menyebarluaskannya ke masyarakat secara regional dan nasional merupakan terobosan yang luar biasa karena berkaitan usaha dengan untuk mendokumentasikan dan menyuburkan “peradaban tulis” sehingga bisa menjadi monumen atau prasasti yang bisa dilacak oleh generasi masa kini ataupun masa depan.
Dengan karya sastra kita juga bisa melihat bagaimana kekayaan dan permasalahana manusia, komunitas, dan budaya Using di tengah-tengah perubahan zaman diimajinasikan dan direkonstruksi oleh para penulis Banyuwangi secara dinamis. Melalui karya sastra mereka bisa dengan leluasa menegosiasikan pandangan dunia mereka terkait permasalahan sosial, ekonomi, politik, pariwisata, dan kultural yang dihadapi komunitas-komunitas Using, pada khususnya, dan masyarakat Banyuwangi, pada umumnya.
BAHASA, IDENTITAS, & KEPENTINGAN