Kalau dibaca lebih kritis lagi, kebijakan untuk terus mengajarkan bahasa Using bagi siswa SD merupakan kelanjutkan dari residu kehendak yang bersemayam dalam diri para pelaku budaya pada era Orde Baru. Sementara, era Reformasi sejatinya memberikan peluang peniadaan kewajiban belajar bahasa Using bagi siswa etnis lain. Artinya, pemertahanan bahasa Using dalam kurikulum muatan lokal memang semata-mata diarahkan untuk penguatan identitas Using di Banyuwangi agar bisa bertahan dan lestari di tengah-tengah realitas keberagaman kultural masyarakat.
Bisa dikataan, kebijakan Pemkab untuk terus mengajarkan bahasa Using kepada semua etnis pasca Reformasi merupakan bentuk “dominasi linguistik” yang dilakukan kelompok minoritas yang pada masa lalu pernah mendapatkan pengalaman didominasi dalam hal linguistik, khususnya oleh birokrat yang mewajibkan warga belajar bahasa Jawa Kulonan/Mataraman.
Pembalikan logika dominasi linguistik ini dilakukan dengan alasan pelestarian bahasa dan budaya Using yang semestinya hanya ditujukan untuk komunitas itu sendiri, bukannya untuk komunitas-komunitas lain. Namun demikian, dari data yang kami peroleh, warga non-Using juga tidak keberatan dengan pengembangan dan penguatan bahasa dan budaya Using yang menyasar kepada anak-anak mereka.
Saya juga sempat menanyakan kepada para anggota di sebuah grup FB “Banyuwangi Bersatu” yang berasal dari bermacam etnis. Hasilnya dari lebih 100 tanggapan yang masuk, 100 % warganet setuju untuk pembelajaran bahasa Using di sekolah karena bisa digunakan untuk memperkenalkan keunikan bahasa dan keragaman budaya khas Banyuwangi kepada masyarakat.
Masyaraat non-Using juga memiliki kebanggaan akan bahasa Using karena dengan mempelajarinya mereka bisa tahu dan paham karakteristik dan kekayaan budaya, termasuk juga lagu-lagu Using yang sangat digemari. Selain itu, karena mereka hidup di Banyuwangi yang sejak Orde Baru sudah dikampanyekan bahasa dan budaya Using, maka mereka menghadapi medan linguistik dan kultural yang begitu dominan dalam kehidupan sehari-hari.
Wajar kiranya kalau kemudian warga dari etnis lain pada akhirnya terbiasa dengan habitus Using. Kalaupun ada yang tidak setuju dengan dominasi linguistik Using, mereka tidak akan mengungapkannya di ruang publik ataupun medsos karena akan berhadapan dengan kebijakan Pemkab dan kuatnya pengaruh kultural Using.
TENTANG OSENG, OSING & USING
Dalam ranah akademis, istilah Using sebagaimana dipopulerkan dalam buku dan kamus lazim digunakan dalam penulisan ataupun perbincangan ilmiah. Dan sejak Orde Baru tidak ada penolakan dari kalangan budayawan, seniman, ataupun tokoh adat, meskipun mereka mengucapkannya dengan bunyi “O” tetapi dengan penulisan “U”.
Kemapanan akademis tersebut memang bukan tidak bermasalah karena dalam lagu-lagu yang diciptakan para seniman seperti (alm) Andang istilah lare Osing lebih terkenal ketimbang lare Using. Bagi warga, mereka memang terbiasa menggunakan bunyi “O”, meskipun “U” dalam tulisan juga dibaca Osing.
Pada 14 Desember 2015 DKB menggelar Seminar Nasional Bahasa Oseng yang bertujuan untuk menunjukkan ke publik tentang perbedaan bahasa Using dengan bahasa Jawa. Adapun pemakalah seminar tersebut adalah Emillia Contesa (anggota DPD RI), MH. Qowim (Pusat Studi Bahasa Oseng dan Pengurus DKB), dan Hasan Basri (budayawan dan pengurus DKB).
Panitia tidak menggunakan istilah “Using” yang secara resmi diakui oleh pemkab dan kalangan akademis, tetapi “Oseng” karena mereka meyakini itulah cara pengucapan yang benar di dalam percakapan sehari-hari komunitas tutur yang menggunakannya. Kalau dibaca secara lebih kritis, panitia berusaha memunculkan perlawanan diskursif terhadap cara penulisan selama ini sebagaimana dibakukan oleh para akademisi.