Artinya, tidak masalah ada kekhawatiran, kampanye, ataupun penyelamatan bahasa ibu asalkan itu semua berasal dari kepentingan mayoritas penutur, bukan sekedar kepentingan sekelompok orang atau beberapa institusi yang ‘merasakan’ kekhawatiran akan punahnya bahasa tersebut sekaligus membawa misi atau kepentingan berbeda.Â
Dalam kasus tidak diakomodasinya bahasa Using dalam Pergub, memang sah-sah saja menimbulkan kekhawatiran akan cepat punah atau matinya bahasa Using. Namun, kekhawatiran ini tidak boleh semata-mata didasari atas kepentingan valorisasi dan mobilisasi identitas yang bukan menjadi kepentingan rakyat kebanyakan.Â
Selain itu, melogikakan bahwa ketika banyak generasi muda tidak lagi bisa berbahasa Using akan mendorong percepatan punahnya budaya Using, juga terkesan menyederhanakan permasalahan. Apabila ditelaah lebih jauh lagi, bahasa bukan faktor tunggal terkait kenyataan gandrung terob yang semakin terpinggirkan dalam gerak dinamis masyarakat Banyuwangi.Â
Salah satunya adalah masih kuatnya stigmatisasi terhadap kesenian ini dari kacamata agama sehingga tidak banyak orang tua yang mengizinkan anak perempuan mereka menjadi penari. Selain itu, ketidakjelasan kebijakan rezim Pendopo dalam hal regenerasi juga menjadi masalah tersendiri.Â
Terkait ketidakmengertian mantra yang digunakan dalam ritual di komunitas-komunitas Using, sebenarnya, tidak semata-mata dikarenakan generasi muda tidak mengetahui maknanya, tetapi banyak di antara pemangku adat yang tidak menginginkan atau tidak membolehkan mereka belajar makna dan kandungan mantra. Ketika ada kekhawatiran akan punahnya ritual komunitas tidak harus sepenuhnya dilimpahkan kepada persoalan penggunaan bahasa.Â
Faktor pewarisan makna mantra dan tata cara ritual kepada generasi muda juga perlu dipikirkan. Berkembangnya pemahaman agama yang menolak keragaman ritual karena dianggap menyekutukan Tuhan juga menjadi salah satu faktor yang mengancam keberlangsungan ritual komunitas.
Para aktor kultural di Banyuwangi, khususnya mereka yang duduk di Dewan Kesenian Blambangan (selanjutnya disingkat DKB), juga melancarkan perlawanan dengan cara mengirimkan surat protes kepada Gubernur Soekarwo terkait dikeluarkannya Pergub Nomor 19 Tahun 2014.Â
Lebih lanjut, DKB akan memboikot pagelaran seni-budaya yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi jika bahasa Using tidak dimasukkan ke dalam pembelajaran bahasa lokal versi pemerintah provinsi (Ika Ningtyas, 2015). Sebagai implikasi dari peraturan ini, sejumlah sekolah mulai tidak mengajarkan bahasa Using, karena tidak diwajibkan oleh pemerintah provinsi, sebagai institusi di atas pemerintah kabupaten.Â
Tentu saja, gerakan boikot pagelaran seni-budaya ini menarik untuk dicermati lagi. Ancaman boikot ini merupakan bentuk ‘terapi kejut’ terhadap pemerintah provinsi, karena selama ini kesenian Banyuwangi sering menjadi andalan provinsi untuk mengisi acara-acara mereka, termasuk sebagai duta seni ke tingkat nasional maupun internasional. Tujuan ancaman tersebut, tentu saja, agar aparat pemerintah provinsi mau menimbang-ulang ataupun merevisi keputusannya.Â
Namun, apa yang luput dari perhatian DKB adalah bahwa sebagian besar seniman dan kelompok seni di Banyuwangi sangat antusias apabila mendapatkan undangan dari pemerintah provinsi, apalagi kalau mereka mendapatkan biaya transportasi, akomodasi, serta memperoleh honor.Â
Tampil di ajang yang digelar pemerintah provinsi juga menjadi prestise tersendiri bagi para seniman dan kelompok seni mereka. Artinya, perjuangan yang dilakukan DKB maupun para intelektual berbasis Using dalam melawan Pergub tersebut, bisa jadi berbenturan dengan kepentingan pragmatis dari para seniman dan kelompok seni sebagai penggerak sebenarnya dari budaya di bumi Blambangan.