Hasan sangat cerdas dalam memandang peluang untuk mulai memperkenalkan gagasan tentang bahasa Using ke dalam buku yang pembuatanya atas perintah langsung bupati Djoko Supaat Slamet. Tentu tidak akan ada pihak-pihak birokrasi yang berani mengritisi dan menggugat keberadaan isi buku tersebut.
Legitimasi bupati melalui buku tersebut tentu akan mempermudah untuk mendapatkan fasilitasi negara seperti kebijakan. Jalan formal yang dipilih sesuai dengan susana pemerintah Orde Baru di mana semua harus berada dalam kendali Negara. Dengan mendapatkan pengakuan formal-birokratis, usaha-usaha untuk menjadikan dialek Jawa Osing sebagai bahasa mandiri, tentu, diharapkan tidak mengalami hambatan struktural.
Pertemuan Hasan dengan peneliti linguistik dari Singaraja Bali secara intens antara 1976-1979 semakin memperkuat semangatnya dalam menggeluti usaha untuk menjadikan bahasa Using ada sebagai bahasa (Arps, 2010: 233). Pada kurun waktu tersebut, Hasan memfasilitasi Suparman untuk melakukan penelitian disertasi.
Ucapan Suparman yang mengatakan bahwa bahasa Using akan “punah” karena kuatnya pengaruh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, memberikan keyakinan kepada Hasan untuk terus memperjuangkannya. Suparman memandang Hasan memiliki kapasitas untuk melakukan aktivitas-aktivitas pemertahanan bahasa Using.
Sebagai warga Banyuwangi yang menggemari budaya Using serta sebagai birokrat yang memiliki akses terhadap kebijakan dan terikat dengan kebijakan Orde Baru untuk mengusahakan identitas khas yang mendukung budaya nasional, bisa jadi ucapan tersebut memperkuat semangat dalam diri Hasan untuk menyiapkan agenda-agenda secara terstruktur untuk membuka jalan bagi perjuangan untuk menjadikan Using bahasa.
Salah satunya adalah menyelenggarakan Sarasehan bahasa Using sebagai bagian dalam Pekan Bahasa Using 1990 yang diselenggarakan oleh Yayasan Kebudayaan Banyuwangi (Arps, 2010: 234). Dalam acara tersebut, Suparman yang berhasil mempertahankan disertasinya di UI mengatakan bahwa Using adalah bahasa yang sejajar dengan bahasa Jawa Kulonan karena berasal dari akar bahasa Jawa Kuno yang sama.
Suparman juga menjelaskan bahwa harus segera dibuat kamus bahasa Using agar bahasa ini memiliki rujukan yang jelas dan ilmiah dalam usaha pemertahanannya dari kepunahan. Saran akademisi yang dianggap sebagai pakar mumpuni tersebut segera disaut oleh Hasan yang menyiapkan beberapa rekomentasi dengan alasan agar bahasa Using tidak segera punah.
Beberapa saran tersebut antara lain: (1) kodifikasi norma bahasa dan kosakata; (2) penyusunan buku pelajaran sekolah mulai dari tingkat dasar; (3) pengajaran bahasa Using sebagai muatan lokal, mulai dari pendidikan dasar pula; (4) penggalakan penghargaan dan rasa tanggung jawab masyarakat, terutama kaum muda, atas bahasa daerah mereka sendiri; dan, (5) penerbitan buku, brosur, buletin, dan sebagainya dalam bahasa Using. Pemerintah daerah diharapkan menyediakan bantuan (Arps, 2010: 234).
Kalau kita perhatikan saran-saran terebut, muncul dua agenda besar yang disiapkan oleh Hasan dan mereka yang ingin memperjuangkan bahasa Using, yakni agenda ilmiah dan kultural. Kodifikasi norma bahasa dan kosa kata merupakan agenda ilmiah-akademis mengusahakan santifikasi bahasa Using dari aspek linguistiknya.
Usaha semacam ini memiliki orientasi untuk mendudukkan bahasa ini dalam lingkaran akademis yang membutuhkan hasil kajian formal serta deskripsi kebahasaan yang sesuai dengan standar. Tujuannya jelas agar komunitas akademis terkait bahasa daerah mau menerima keinginan Hasan dan kawan-kawannya tentang keabsahan bahasa Using sebagai bahasa tersendiri.
Dengan pengakuan tersebut, posisi akademis bahasa Using bisa semakin kuat. Pembelajaran bahasa Using sebagai muatan lokal merupakan tahapan praksis yang akan memperkuatnya dalam aktivitas “formal-regenerasi” dengan harapan anak-anak Banyuwangi, khususnya yang berasal dari keturunan Blambangan atau yang dilabeli dengan sitilah wong Using, tidak akan melupakan bahasa ibunya. Adapun agenda kultural merupakan usaha Hasan dan kawan-kawannya untuk lebih memasyarakatkan penggunaan bahasa Using.