Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Using Banyuwangi: Kurikulum, Identitas, dan Kepentingan

4 Januari 2022   17:25 Diperbarui: 7 Februari 2022   07:49 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamus Bahasa Using. Foto: Antariksawan Yusuf 

Termasuk dalam arahan Supa’at adalah diperbolehkannya seniman dan sastrawan eks-Lekra untuk “dimanfaatkan” untuk meramaikan kehidupan budaya di Banyuwangi seperti sediakala. Para seniman eks-Lekra di masa Sukarno memang terkenal dengan keahlian mereka dalam musik angklung, sastra, janger, dan kesenian lainnya.  Untuk itulah, ‘pemanfaatan’ mereka untuk memperkuat ekspresi budaya daerah yang bekontribusi bagi budaya nasional menjadi penting.   

Di Banyuwangi, kesenian daerah yang dimaksud adalah gandrung, angklung, serta janger. Pesan Supa’at juga bermakna bahwa para seniman diizinkan untuk mengembangkan-kembali kesenian sebagai penopang budaya daerah, tetapi tidak diperkenankan untuk memasukkan ideologi-ideologi, khususnya ideologi komunis dan yang berbau SARA karena bisa dikhawatirkan menimbulkan konflik horisontal. 

Pesan tersebut sekaligus menjadi bentuk de-PKI-isasi dan de-ideologisasi budaya Banyuwangi.  Artinya, rezim negara di tingkat kabupaten menjadi bagian penting pembersiahan ruang dan praktik kebudayaan dari residu ideologi komunis. Sementara, de-ideologisasi terjadi dengan menjadikan budaya sekedar sebagai ekspresi perayaan yang terlepas ikatan ideologisnya dari permasalahan masyarakat, lingkungan, dan politik. 

Bupati Supa’at mengeluarkan kebijakan dengan paradigma pembinaan dan pelestarian yang disahkan dalam SK Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970 (Waluyo & Basri, 2007), Supa’at mendapatkan konsensus dari mayoritas seniman dan budayawan. Mengikuti perspektif Gramscian (Gramsci, 1981; Boggs, 1984; Boothman, 2008) konsensus para pelaku budaya tersebut merupakan bagian dari inilah fase dimulainya kekuasaan hegemonik negara melalui prinsip artikulasi dan inkorporasi terhadap budaya Using.

Maka, diakui atau tidak, berkembangnya identitas Using, baik dari aspek bahasa, budaya, ataupun suku, tidak bisa dilepaskan dari kontribusi para seniman yang disponsori negara untuk memulai proyek kebudayaan khas Banyuwangi. Keputusan untuk memilih kesenian berbahasa Using merupakan cara populis karena, baik kesenian lagu maupun tembang dan tari, merupakan bentuk budaya khas yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Jawa dan Indonesia. 

Kalau yang dikembangkan budaya Jawa dan Madura tentu akan bersaing dengan daerah lain. Salah satu tindakan kongkrit untuk proyek identitas ini adalah dimulainya perekaman lagu-lagu para seniman eks-Lekra dan yang lain dengan diiringi angklung yang sudah ditambahi alat musik gandrung, sehingga disebut angklung daerah. 

Lagu-lagu yang direkam antara lain Kembang Galengan, Kembang Peciring, Amit-amit, Kembang Pethetan, Ulang Andung-andung, Prawan Sunti, Kali Elo, Tanah Kelahiran, Ugo-ugo, Umbul-umbul Blambangan. Lagu-lagu tersebut diputar dan disiarkan oleh radio khusus pemerintah daerah (RKPD, Suara Blambangan). 

Penyiaran lagu berbahasa Using ini merupakan salah satu titik penting dalam pengembangan identitas Using secara massif. Masyarakat pun mulai menikmati lagu-lagu berbahasa Using serta menggeser ingatan mereka terhadap Genjer-genjer. Dampak penyiaran lagu tersebut adalah warga mulai menemukan kebanggaan karena Using digunakan sebagai bahasa lagu yang direkam dan disebarluaskan oleh rezim negara. Apalagi dalam sosialisasinya, musik garapan tersebut selalu diwacanakan sebagai Musik Lare Using atau Gaya Musik Lare Using (Arps, 2009: 16). 

Guna semakin meningkatkan pemahaman masyarakat terkait ke-Using-an di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi multikultural, RKPD Suara Blambangan juga membuat beberapa program, seperti Gaya Lare Using, Siaran Bahasa Using, Sastra Using, dan Drama Using. Pada 1970-an sampai dengan 1980-an dilaksanakan Lomba Tembang Using dengan materi lagu-lagu gandrung. 

Dampaknya, mulai tumbuhnya kebanggaan akan Using ditandai dengan meluasnya usaha-usaha kultural oleh seniman ataupun pengusaha swasta yang ikut menyebarluaskan lagu-lagu berbahasa Using dalam bentuk rekaman pita/kaset. Namun dikarenakan rezim tidak ingin kehilangan kendali atas proyek kultural yang mereka usung, usaha-usaha individual maupun swasta tersebut mulai dibatasi. 

Pembatasan tersebut menegaskan bahwa apapun yang dilakukan para pelaku budaya dan warga masyarakat untuk mengembangkan identitas kedaerahaan Using harus mematuhi kebijakan yang sudah diputuskan oleh pemerintah kabupaten negara dan diamini oleh para aktor yang terlibat di dalam penentuan kebijakan tersebut. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun