Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (1)

17 Juni 2020   23:40 Diperbarui: 17 Juni 2020   23:43 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpapermaiden.com

Pengantar:

Draft novel yang belum mempunyai judul ini  saya tulis sejak menjalani kuliah S3 di UGM, 2009. Dan, sampai sekarang novel itu seperti belum mau diselesaikan. Semua draft dari novel akan saya upload dalam bentuk bersambung. 

Masing-masing bab akan diberikan judul untuk mempermudah pencarian di blog ini. Novel ini tidak memiliki keistimewaan, hanya cerita dua mahasiswa--dan, tentu saja, bersama tokoh-tokoh lain--dengan permasalahan masing-masing yang berusaha membangun relasi pikir dan batin, sembari mengembangkan keinginan untuk membongkar jejak peristiwa 1965. 

Cinta adalah keniscayaan yang hadir dalam dinamika naratif novel ini, memiliki karakteristik tersendiri. Begitulah pengantar sangat singkat dari saya, selamat menikmati.  

Banyuwangi selatan, tengah malam, akhir Oktober 1965

Suara air sungai menghasilkan nada tegas, tetapi lentur ketika berbenturan dengan bebatuan, tidak seperti serangga hutan yang menciptakan orkestra nan ramai, terkesan angkuh, bersama angin yang berhembus dingin.

Di balik itu semua, malam yang mengatur kala atas izin Sang Penghidup, tetap diam, setia berbagi jutaan cerita; dari dasar, permukaan, dan tepi sungai; dari balik semak hingga atas pohon-pohon bendho; dari bawah langit hingga atas langit. 

Tapi, malam tidak pernah berbagi cerita tentang sebuah peristiwa yang akan terjadi, karena memang belum terjadi; peristiwa yang tidak pernah ia inginkan sebagai pengendali kala. 

Lima puluh orang menyeberangi sebuah sungai berbatu dengan arus air yang cukup deras itu. Sehari-harinya, kali itu dibuat mandi oleh para petani dan buruh tani sepulang dari sawah. Dengan hati-hati, mereka melangkahkan kaki, melawan dinginnya air sungai, menginjak bebatuan yang meskipun menimbulkan rasa sakit di telapak kaki, tak terasa lagi. 

Wajah mereka dihinggapi kekosongan, bukan kesedihan karena kesedihan itu sudah berlalu beberapa waktu sebelumnya; ketika mereka diambil dari rumah masing-masing; ketika mereka harus meninggalkan istri, anak-anak, saudara, orang tua, dan kerabat; ketika permohonan ampun keluarga mereka dijawab dengan hujatan bercampur kalimat suci.

Saat itulah, kesedihan dan tangis harus dilupakan, karena nyawa dan kehidupan bukan lagi ditentukan Gusti Allah, Gusti Pengeran—Tuhan Sang Penentu Hidup Manusia, tetapi oleh orang-orang yang mengaku bisa membaca dan memahami kalimat-kalimat suci-Nya, orang-orang yang juga pernah mandi bersama dengan mereka di sungai ini.

Sebagian besar dari mereka adalah lelaki setengah baya. Sebagian kecil para pemuda dengan tubuh kurus dan kulit sawo matang yang kelihatan semakin gelap oleh penerangan obor. Mereka berpakaian seadanya, baju dan kaos lusuh serta celana pendek. 

Sebagian mengenakan kopyah/kethu (songkok) berwarna hitam. Pohon-pohon bendho berukuran besar berdiri di lereng bukit di atas sungai itu, seperti raksasa penjaga yang siap memangsa orang-orang tanpa harapan itu. 

Pohon-pohon itu selama ratusan tahun telah membentengi bukit dari jamahan tangan manusia; menahan tanah bukit dengan akar-akar tunggang mereka; menjalin kasih sayang sejati dalam puja semesta. Suara serangga-serangga malam bersautan dengan deras suara air sungai dan gemerisik; sebuah orkestra sakral yang agung dan menakutkan.

Tiga puluh lelaki anggota laskar mengawal perjalanan mereka dengan senjata masing-masing; pedang, penthungan, pisau besar, cangkul, tombak, dan arit. Beberapa dari mereka meneriakkan kalimat suci yang biasanya disampaikan para guru ngaji di masjid desa. Beberapa anggota laskar membentak mereka dengan sumpah serapa. 

Sampai di atas sungai, lima puluh orang itu diperintahkan untuk menaiki bukit. Lima anggota laskar mendahului mereka untuk membabat semak-semak. Beberapa dari orang-orang itu jatuh, terpeleset embun yang mulai membasahi tanah bukit. Kawan-kawan mereka segera menolong. Suara teriakan para anggota laskar yang berada di barisan belakang mengagetkan puluhan burung cucak rowo yang tengah menikmati tidur. 

Beberapa serangga berhenti bersuara, diliputi rasa heran atas kedatangan bangsa manusia itu. Hampir satu jam mendaki, rombongan itu tiba di puncak bukit. Pimpinan laskar, seorang setengah baya, memberi komando agar orang-orang itu menuruni bukit.

Pukul 02.00, mereka sampai di hutan yang sebelumnya tidak pernah didatangi manusia. Beberapa binatang berlarian takut atas kedatangan mereka. Pimpinan laskar, segera memerintah anggotanya untuk memberikan cangkul kepada sepuluh orang dari lima puluh orang itu. 

Mereka diminta untuk menggali lima lubang. Secara bergantian, mereka mulai menggali lubang demi lubang. Tak ada lagi rasa takut atau pertanyaan, untuk apa lubang-lubang itu digali. Tiga puluh anggota laskar mengelilingi mereka. 

Dua orang pemuda berusaha melarikan diri, tetapi sabetan pedang pimpinan laskar tepat mengenai paha mereka. Rintihan mereka berdua hilang diserap suara hutan. Kawan-kawan mereka berusaha menenangkan kedua pemuda itu. Kemudian, lamat-lamat suara adzan Subuh menggemakan doa suci kepada Gusti Allah.

Pukul 05.00, pimpinan laskar meneriaki lima puluh orang itu untuk masuk ke dalam lima lubang yang mereka gali secara bergantian. Mereka berusaha menolak dan memohon ampunan sekali lagi. Tapi, sia-sia, para anggota laskar mendorong masuk separuh mereka. Teriakan mereka di dalam lima lubang seperti menjadi puji-pujian yang mendendangkan irama riang di telinga anggota laskar. 

Separuhnya lagi, langsung masuk ke lima lubang itu, berdesak-desakkan dengan kawan-kawan mereka yang menangis, merintih, dan senyap karena tidak bisa bernafas. Setelah mereka semua masuk ke lubang-lubang itu, pimpinan laskar langsung memerintahkan anggotanya untuk menutup kelima lubang itu. 

Suara-suara rintihan mereka, sesaat masih terdengar lirih, sampai akhirnya benar-benar hilang dibungkam tanah. Teriakan-teriakan kalimat suci, lagi-lagi, memenuhi isi hutan. Tidak lama kemudian pimpinan dan anggota laskar, meninggalkan lima kuburan dan hutan itu.

Ya, orang-orang yang katanya beragama, berbudaya, berperikemanusiaan, dan berbudi-luhur, telah meninggalkan itu semua dalam jejak-jejak yang ditutup rapat oleh sang pagi, kicauan burung cucak ijo, segarnya dedaunan, serta oleh batang, cabang, dan ranting pohon-pohon besar yang tinggi menjulang. 

Ya, semua kebiadaban itu akan segera diyakini sebagai sebuah kebenaran, ketika mereka membasuh tubuh mereka dengan air suci, sembari menghadap dan berdoa kepada Sang Penghidup. Ya, mereka telah menyimpan sebuah rahasia senyap di sebuah hutan. Ya, sebuah hutan yang kelak dinamai hutan larangan; sebuah nama yang diberikan oleh para anggota laskar agar orang-orang tidak berani masuk ke hutan itu, agar kebiadaban itu tetap menjadi rahasia yang terlarang untuk diungkap.

***

Jember kota, tengah malam, pertengahan Maret 2000

Perempuan muda itu—berusia 21 tahun, berparas ayu, kulit kuning langsat, rambut panjang sampai punggung, mata bulat, tinggi 170 cm, mengenakan celana jeans biru dan kemeja putih lengan panjang—tengah berdiri mematung, diliputi rasa tidak percaya atas apa yang dilihatnya: seorang lelaki—berambut gondrong-kriting, berkulit sawo matang, mata setengah sipit, mengenakan celana robek di bagian lutut berwarna blue black, kemeja biru muda kota-kota kecil—tengah berdiri mematung pula, di tepi sebuah sungai yang airnya deras mengalir, menyapa jajaran bebatuan besar di dalamnya. 

Wajah lelaki itu dipenuhi rasa takut ketika menatap pohon-pohon bendo yang berdiameter 1 meter tinggi menjulang, menjadi penahan sebenarnya dari bukit di seberang sungai. Di sungai itulah, si perempuan yang kini melangkah untuk mendekati si lelaki seringkali bermain bersama teman-teman sebayanya, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, meskipun orang tuanya sering melarang.

Nandita Bela Sesama, begitulah kedua orang tuanya menamai perempuan itu. Lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, bapaknya berharap ia akan menjadi perempuan cantik yang kuat dan bisa mengembangkan rasa welas asih untuk membelas sesama manusia, tak peduli agama, suku, pilihan politik, ataupun kebangsaan mereka. 

Di masyarakat desa, nama itu memang tampak aneh khususnya dua kata terakhirnya. “Nama kok Bela Sesama, kayak ndak ada nama lain,” begitulah gerutu beberapa tetangga selepas mereka menghadiri slametan selapan sekaligus pemberian nama. 

Memang, pada masa kelahirannya, nama-nama untuk anak perempuan masih sangat sederhana, seperti Wiwik, Puji, Ningsih, Ratna, maupun Wati. Namun, bapaknya mempunyai alasan sendiri kenapa harus menamai anaknya seperti itu.

“Saat ini dan pada masa-masa mendatang, kita akan menjumpai banyak orang yang kurang mempedulikan sesama, meskipun mereka beragama. Kebutuhan ekonomi yang dari hari ke hari semakin meningkat, menjadikan banyak orang mengutamakan kepentingan pribadi, tanpa mau menoleh kepada tetangga yang kelaparan. Aku tidak ingin anak pertama kita seperti itu, Bu. Aku ingin anak kita menjadi perempuan yang mau membantu dan membela sesama yang membutuhkan.” Begitulah alasan bapak ketika istrinya menanyakan alasan pemberian nama itu pada sebuah malam ketika mereka berdua ngeloni bayi Nandita. 

Alasan itulah yang memotivasi mereka berdua sebagai orang tua untuk mengajarinya berbuat baik kepada sesama sejak kecil. Ajaran sejak kecil itulah yang menjadikan Nandi—yang di desanya biasa dipanggil Nan—mudah bergaul dengan teman-temannya di Kampus Sastra Universitas Jember yang sebagian berasal dari berbagai kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, sebagian kecil Jawa Barat dan Jakarta, serta Bali, Sumatra, Sulawesi, Nusatenggara, Kalimantan, Timor-timur, dan Irian Jaya.

Namun, di antara teman-temannya, ada seorang lelaki yang menjadi sahabat lelaki pertamanya ketika masa awal kuliah. Dia berasal dari Lamongan, sebuah kabupaten yang terkenal dengan banjir Bengawan Solo-nya, tetapi juga terkenal dengan soto dan wingko-nya. 

Persahabatan mereka bermula dari sebuah perkenalan saat mereka sama-sama bertemu pada acara Penataran P-4 [Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila] bagi calon mahasiswa baru Universitas Jember; sebuah acara yang cukup membosankan, tapi wajib dilakoni karena terkait indoktrinasi Pancasila sebagai ideologi negara. Kebetulan, si lelaki duduk tepat di belakangnya bersama seorang temannya yang berasal dari Medan. 

Mereka berkenalan setelah si lelaki mengambil bulpen Nandi yang terjatuh ke arah belakang. Perkenalan itu berlanjut menjadi persahabatan, ketika si lelaki sering berkunjung ke tempat kosnya. 

Bersamanya, Nandi banyak berdiskusi tentang kuliah dan kegiatan di Kampus. Dari perbincangan itulah, mereka berdua memutuskan untuk aktif di kegiatan kampus, bukan sekedar menjadi mahasiswa yang belajar dan belajar. Nandi memilih jurnalistik, sementara si lelaki memilih kesenian.

Persahabatan mereka semakin akrab ketika mereka sama-sama menjadi pengurus Senat Mahasiswa Sastra. Sering juga, setiap kali habis menerima kiriman uang dari ibunya, Nandi mentraktir lelaki itu makan malam Warung Oyi, warung langganan mahasiswa di Jalan Jawa. Begitu pula sebaliknya. 

Anehnya, mereka berdua tidak pernah membicarakan cinta, meskipun terkadang Nandi ingin menanyakan hal itu kepada si lelaki, niat itu selalu diurungkannya. Sampai suatu saat, ketika seorang lelaki bernama Rudy berusaha mendapatkan cintanya, lelaki itu mulai jarang mengunjungi Nandi, bahkan akhirnya tidak pernah sama sekali.

“Aku lelaki. Dan, aku tahu bagaimana rasanya ketika sedang mengejar cinta seorang perempuan. Aku tak ingin mengganggu keseriusannya, Dee. Dia berhak mengusahakan cintanya.” 

Begitulah jawaban lelaki itu ketika Nandi menanyakan perihal perubahannya; sebuah jawaban yang membuatnya terperangah, karena semula ia mengira lelaki itu menaruh hati kepadanya. Sejak saat itulah, ia menyadari bahwa persahabatannya dengan lelaki itu mungkin tidak membutuhkan cinta, tetapi cukuplah rasa sayang yang dihayati.

Lelaki itulah yang sekarang berdiri dengan wajah ketakutan di tepi sungai sambil menatap bukit di seberang. Semakin Nandi melangkah mendekatinya, semakin ia tak percaya bahwa yang lelaki yang dilihatnya adalah Ivan Sandyawan—sebuah nama pemberian Budhe-nya, seorang guru sekolah dasar. 

Pikirannya diliputi rasa penasaran, kenapa Ivan berada disungai itu. Apakah ia hendak menaiki bukit itu? Dia mencoba menyapanya sembari menyentuh bahunya. Tetapi, Ivan hanya menatapnya, tidak memberikan respons lain. “Ini aku, Dee, sahabatmu.” Berulang kali ia mengatakan ucapan itu, Ivan tetap tidak berbicara. 

Tidak lama kemudian, jemari telunjuknya dia arahkan ke bukit. Beberapa saat Nandi terdiam, berusaha memahami makna dari penanda itu. Apakah Ivan takut kepada bukit itu? Ataukah, ia ingin menaiki bukit itu, tetapi takut? Tetapi, bukankah bukit itu dianggap keramat oleh warga desa? Tidak lama pertanyaan-pertanyaan itu bersemayam di benaknya, Nandi tiba-tiba, Nandi merasakan sebuah kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya; mengalir dari dada menuju otaknya. 

Tanpa pikir panjang, Nandi segera menggandeng tangan kanannya, menuntunnya menyeberangi sungai. Awalnya Ivan menolak karena takut. Nandi terus meyakinkannya bahwa ia akan membantunya. Akhirnya, dia mau juga. Pelan sekali mereka menyeberangi sungai, sembari berpegangan pada batu-batu besar. 

Separuh celana mereka basah. Beberapa kali Ivan terjatuh, membuat pakaiannya basah kuyup. Nandi menariknya, lalu memegang tangannya untuk kembali menerobos arus air, hingga akhirnya mereka sampai ke tepi. 

Setelah beristirahat sebentar, menyandarkan tubuh pada pohon bendho, Nandi mengajaknya menaiki bukit. Ia berada di depan, menarik tangan Ivan. Beberapa kali Ivan terjatuh, untung Nandi bisa menariknya dengan berpegangan pada akar pohon-pohon besar. Ketika sampai di puncak bukit, telunjuknya menunjuk ke arah bawah. Di kejauhan, sebuah perkampungan tersembunyi di balik rimbunnya pohon.

Tanpa bisa ia cegah, Ivan segera berlari menuruni bukit. Tidak seperti waktu hendak naik ke bukit, tak ada lagi rasa takut. Ivan memanggil-manggil namanya beberapa kali, mengajaknya turun. Kini Nandi yang dilanda ketakutan. Ia berteriak-teriak memanggilnya, berulang kali. Percuma Ivan sudah semakin jauh. 

Tiba-tiba, air matanya menetes, menangisi kepergiaannya. Ia berteriak lagi, keras dan semakin keras bersama tangisnya. Dalam batinnya, ia sendiri tidak mengerti, mengapa harus menangisi kepergiannya. 

Pikirannya mulai dipenuhi bermacam pertanyaan. Perkampungan apa itu? Masyarakat seperti apa yang menghuninya? Kenapa Ivan begitu bersemangat menuju perkampungan itu? Apakah ada yang menarik di sana?

Gedoran pintu membangunkannya. Rupanya, Mbak Mina, Penjaga Kos. “Ya, Tuhan, ternyata aku bermimpi,” gumamnya lirih. Kenapa harus ada sungai dan bukit itu? Kenapa harus ada Ivan? Sungguh aneh. Waker sudah menunjukkan pukul 03.30. Setelah meminum air putih, ia masih memikirkan mimpi itu. 

Tiba-tiba, ia berpikir jangan-jangan ungkapan warga desanya tentang keramatnya bukit itu ada kaitannya dengan keanehan mimpi tadi. Ah, mungkin itu terlalu berlebihan. Untuk mengusir semua pertanyaan itu, Nandi menenggelamkan pikiran dalam gugusan kata dalam puluhan kertas yang semalam ia ketik sebagai bahan skripsi, sembari menunggu Subuh menyapa, di sebuah rumah kos di Jl. Jawa VI Jember.

Di tempat terpisah, tepatnya di sebuah rumah kos di Jl. Kalimantan 10, di depan pintu gerbang Universitas Jember, Ivan baru saja terbangun. Bukan buku yang ia pegang, bukan pula niatan untuk mengambil wudlu yang ia pikirkan. Mengeluarkan sebatang rokok putihan produksi sebuah perusahaan di Kediri—pengganti rokok putihan produksi Amerika Serikat yang tak mampu ia beli untuk beberapa hari ini karena uang saku sudah semakin menipis—dan menyulutnya setelah minum segelas air. Lelaki dengan rambut gondrong-keriting itu menghisap dan mengeluarkan asap dengan penuh penghayatan, seolah-olah: “Aku merokok maka aku ada”.

Kembali, ia pandangi selembar foto: seorang perempuan berjilbab dengan kulit kuning bersih dan hidung mancung tersenyum. Ya, perempuan itu, Yuni Devi Susanti, satu bulan lalu masih menjadi kekasihnya, sebelum mereka mengakhiri cinta yang sudah berjalan hampir satu tahun. 

Wajah lelaki itu benar-benar terlihat cengeng ketika ia meraba wajah Dev, begitu ia biasa memanggil perempuan asal Puger itu. Betapa gairah yang berkobar ketika ia ikut demonstrasi Reformasi 1998 bersama Nandi dan mahasiswa Universitas Jember seolah hilang ditelan meloisme yang kini melandanya. 

“Menjadi aktivis adalah pilihan rasional dan batin untuk mendapatkan pengalaman. Menjalani cinta adalah pilihan rasional dan batin untuk merasakan kehidupan.” Begitu keyakinan yang selalu ia tularkan kepada para mahasiswa adik angkatannya ketika mereka berdiskusi santai sambil nyruput kopi di Warung Bu No, di sebelah timur Fakultas Sastra. 

Di warung itulah, para mahasiswa Sastra—khususnya lelaki—biasa  ngobrol, baik tentang aktivitas kuliah, kegiatan intra dan ekstra kampus, sampai soal-soal meloisme ditemani berbatang-batang rokok.

 Tapi, apakah hidup dalam keputusasaan karena putus cinta adalah pilihan yang masuk akal? “Kadang akal memang tidak bisa menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi,” begitu jawaban diplomatis yang ia lontarkan setiap kali ia sendiri menggugat keputusasaan yang sama sekali tidak sesuai dengan idealismenya.  

***

Aneh juga. Kisah kehidupan Pak Tarji yang mestinya menjadi data untuk skripsinya, ternyata ia rangkai menjadi tulisan yang menyerupai kisah fiktif, tepatnya mirip cerpen, dengan judul "Sebuah Sujud Selepas Subuh. Nandi mengetahui sosok Pak Tarji dari seorang kawannya, mahasiswa Universitas Airlangga yang pernah melakukan riset di Kalisosok tentang kehidupan narapidana. 

Pilihan untuk menulis skripsi tentang kehidupan anggota PKI pasca 65 memang bukan ide orisinilnya. Pak Tono, dosen walinya yang nyentrik dan sering memprovokasi mahasiswa untuk berpikir kritis, menantangnya untuk menulis tema tersebut.

“Terlalu banyak kisah yang sengaja disenyapkan di Republik ini, khususnya terkait para anggota PKI pasca 65. Mereka benar-benar menjadi manusia-manusia senyap, karena memang dijadikan demikian. Kalau kamu bisa menulis kisah hidup mereka sebagai skripsi, itu akan menjadi karya akademis yang luar biasa, Nan,” begitulah ucapannya ketika Nandi mengutarakan keinginannya untuk menulis skripsi. 

Karena merasa tertantang, ia memutuskan untuk mengerjakan tema kehidupan anggota PKI. “Hemmm, skripsi model cerpen pasti belum bisa diterima oleh para dosen”, begitu gerutunya dalam batin. Ia merasa perlu memolesnya kembali, biar kesan tulisan akademisnya lebih kentara. Selama hampir 15 menit ia berusaha menulis kerangka tulisan yang lebih tepat dalam selembar kertas buram.

Selesai membaca tulisan itu sembari membuat kerangka tulisan baru, pikiran Nandi masih saja memikirkan keanehan-keanehan dari mimpi itu. Sejak kecil, orang tua dan warga desanya selalu mengatakan kalau ada hutan di balik bukit itu yang tidak boleh dimasuki; hutan larangan.

Nandi dan kawan-kawan sepermainan yang suka main di sungai mendapat bermacam cerita yang membuat mereka takut, sekaligus penasaran. Ada yang bilang di hutan itu banyak binatang jadi-jadian, dari macan Jawa, ular raksasa, sampai anjing hutan yang suka daging anak-anak. Ada juga yang bilang, di hutan itu banyak sekali hantu yang menyeramkan, dari kuntilanak, banaspati, genderuwo, hingga wewe gombel. 

Hanya Mbah Karso, pemilik gubuk di tepi kali, yang tidak pernah bercerita yang seram-seram. Kepada mereka, sambil membagi singkong bakar yang membuat mereka senang, dia mengatakan, “Kalau sudah tiba saatnya nanti, kalian semua akan tahu, ada apa di hutan itu. Tunggu saja. Pada suatu ketika, Mbah yakin, salah satu dari kalian akan terpilih untuk pergi ke hutan itu.”

“Apakah mimpi itu penanda kalau aku menjadi yang terpilih? Ah, tidak, itu terlalu jauh,” sekali lagi ia dilanda rasa penasaran. Tapi, yang masih membuatnya heran, kenapa harus ada Ivan dalam mimpi itu. 

Bukankah, Ivan belum pernah ke tempat itu? “Mungkin munculnya Ivan dalam mimpi itu dikarenakan baru kemarin ia tiba-tiba muncul di kosku, setelah satu minggu lebih aku tidak menemuinya di Kampus.” Sekali lagi, ia berusaha meyakinkan pikiran dan batinnya perihal keanehan mimpi itu. 

Ketika bertamu, wajah Ivan tampak kusut dan rambut kritingnya semakin panjang. Ternyata ia baru saja berdiam diri di Pantai Tanjung Papuma, di selatan Jember, selama satu minggu, berusaha mengubur semua kenangan dengan Dev, mantan kekasihnya.

“Kamu itu romantis banget, ya?”

“Maksudmu?”

“Iya, romantis, setiap ada masalah yang merisaukan batinmu, kamu pergi menyepi, berkawan semesta, Pantai Papuma, misalnya. Van, sesering apapun kamu berkeluh kesah kepada alam, ndak ada gunanya. Mereka ndak akan dengar. Kamu akan semakin tenggelam dalam pengembaraan batin yang membentur batu karang, diombang-ambingkan oleh segara luas. Kenapa tidak berperilaku wajar saja? Oke, kamu sudah berpisah dari Dev, itu kenyataan yang harus kamu alami dan hadapi. Oke, kamu masih mencintainya, itu kenyataan juga. Kenapa tidak biarkan perpisahan dan cintamu itu menjadi kenyataan yang harus kamu hadapi dan jalani, meskipun berat? Mungkin dengan seperti itu kamu akan semakin terbiasa berpisah darinya. Masih banyak yang bisa kamu kerjakan untuk kehidupanmu, kawan-kawanmu, organisasimu, kuliahmu, atau, mungkin orang tuamu.”

Lelaki yang mengenakan celana jeans robek itu menundukkan mukannya. Nandi tahu baginya Dev terlalu istimewa. Dulu waktu masih bareng perempuan itu, setiap kali selesai rapat senat, ia selalu bercerita hubungan mereka berdua. 

Dalam keyakinannya, Dev-lah yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Seperti kebiasaan yang ia lakukan setiap kali curhat persoalan yang ia hadapi, Ivan menggenggam tangannya. 

Nandi membiarkannya karena mungkin dia perlu meminjam energi darinya untuk saat ini. Paling tidak, sekedar menyalurkan segala kepenatan yang ia rasakan agar bisa sedikit menguap bersama udara.

“Ya, sudahlah, yang mesti terjadi terjadilah, meskipun masih terasa berat. Kamu sendiri gimana, Dee? Bagaimana hubunganmu dengan Rudy?” tanya Ivan sambil melepaskan tangan Nandi.

“Emmm, gimanya ya? Aku rasa standar banget. Bahkan, mungkin bisa dibilang monoton. Dua malam sekali ngapeli aku, kami makan, bercengkrama, dan sesekali bercumbu di tempat kosnya. Sudah. Gitu aja. Padahal, aku ini tipe perempuan yang suka dengan kejutan dalam hidup.”

“Maksudmu?”

“Gimana ya menjelaskannya? Intinya, aku lebih menikmati peristiwa-peristiwa spontan yang tak terduga sebelumnya. Mungkin karena monotonnya hubungan kami, terkadang aku berpikir untuk putus dari Rudy, Van.”

“Apa, putus? Wah...wah, ternyata kamu berani ya.”

“Memangnya, hanya lelaki yang boleh memutuskan cinta. Boleh dong perempuan memutuskan cinta.”

Ketika mengambil air wudhu untuk sholat Subuh, benak perempuan itu masih saja diliputi tanda tanya, kenapa Ivan yang muncul dalam mimpinya. Kenapa bukan Rudy, lelaki yang masih menjadi kekasihnya? Apakah ini menjadi sebuah penanda dari peristiwa yang akan terjadi? Atau, apa?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun