Tidak lama kemudian, jemari telunjuknya dia arahkan ke bukit. Beberapa saat Nandi terdiam, berusaha memahami makna dari penanda itu. Apakah Ivan takut kepada bukit itu? Ataukah, ia ingin menaiki bukit itu, tetapi takut? Tetapi, bukankah bukit itu dianggap keramat oleh warga desa? Tidak lama pertanyaan-pertanyaan itu bersemayam di benaknya, Nandi tiba-tiba, Nandi merasakan sebuah kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya; mengalir dari dada menuju otaknya.
Tanpa pikir panjang, Nandi segera menggandeng tangan kanannya, menuntunnya menyeberangi sungai. Awalnya Ivan menolak karena takut. Nandi terus meyakinkannya bahwa ia akan membantunya. Akhirnya, dia mau juga. Pelan sekali mereka menyeberangi sungai, sembari berpegangan pada batu-batu besar.
Separuh celana mereka basah. Beberapa kali Ivan terjatuh, membuat pakaiannya basah kuyup. Nandi menariknya, lalu memegang tangannya untuk kembali menerobos arus air, hingga akhirnya mereka sampai ke tepi.
Setelah beristirahat sebentar, menyandarkan tubuh pada pohon bendho, Nandi mengajaknya menaiki bukit. Ia berada di depan, menarik tangan Ivan. Beberapa kali Ivan terjatuh, untung Nandi bisa menariknya dengan berpegangan pada akar pohon-pohon besar. Ketika sampai di puncak bukit, telunjuknya menunjuk ke arah bawah. Di kejauhan, sebuah perkampungan tersembunyi di balik rimbunnya pohon.
Tanpa bisa ia cegah, Ivan segera berlari menuruni bukit. Tidak seperti waktu hendak naik ke bukit, tak ada lagi rasa takut. Ivan memanggil-manggil namanya beberapa kali, mengajaknya turun. Kini Nandi yang dilanda ketakutan. Ia berteriak-teriak memanggilnya, berulang kali. Percuma Ivan sudah semakin jauh.
Tiba-tiba, air matanya menetes, menangisi kepergiaannya. Ia berteriak lagi, keras dan semakin keras bersama tangisnya. Dalam batinnya, ia sendiri tidak mengerti, mengapa harus menangisi kepergiannya.
Pikirannya mulai dipenuhi bermacam pertanyaan. Perkampungan apa itu? Masyarakat seperti apa yang menghuninya? Kenapa Ivan begitu bersemangat menuju perkampungan itu? Apakah ada yang menarik di sana?
Gedoran pintu membangunkannya. Rupanya, Mbak Mina, Penjaga Kos. “Ya, Tuhan, ternyata aku bermimpi,” gumamnya lirih. Kenapa harus ada sungai dan bukit itu? Kenapa harus ada Ivan? Sungguh aneh. Waker sudah menunjukkan pukul 03.30. Setelah meminum air putih, ia masih memikirkan mimpi itu.
Tiba-tiba, ia berpikir jangan-jangan ungkapan warga desanya tentang keramatnya bukit itu ada kaitannya dengan keanehan mimpi tadi. Ah, mungkin itu terlalu berlebihan. Untuk mengusir semua pertanyaan itu, Nandi menenggelamkan pikiran dalam gugusan kata dalam puluhan kertas yang semalam ia ketik sebagai bahan skripsi, sembari menunggu Subuh menyapa, di sebuah rumah kos di Jl. Jawa VI Jember.
Di tempat terpisah, tepatnya di sebuah rumah kos di Jl. Kalimantan 10, di depan pintu gerbang Universitas Jember, Ivan baru saja terbangun. Bukan buku yang ia pegang, bukan pula niatan untuk mengambil wudlu yang ia pikirkan. Mengeluarkan sebatang rokok putihan produksi sebuah perusahaan di Kediri—pengganti rokok putihan produksi Amerika Serikat yang tak mampu ia beli untuk beberapa hari ini karena uang saku sudah semakin menipis—dan menyulutnya setelah minum segelas air. Lelaki dengan rambut gondrong-keriting itu menghisap dan mengeluarkan asap dengan penuh penghayatan, seolah-olah: “Aku merokok maka aku ada”.
Kembali, ia pandangi selembar foto: seorang perempuan berjilbab dengan kulit kuning bersih dan hidung mancung tersenyum. Ya, perempuan itu, Yuni Devi Susanti, satu bulan lalu masih menjadi kekasihnya, sebelum mereka mengakhiri cinta yang sudah berjalan hampir satu tahun.