Sebagian besar dari mereka adalah lelaki setengah baya. Sebagian kecil para pemuda dengan tubuh kurus dan kulit sawo matang yang kelihatan semakin gelap oleh penerangan obor. Mereka berpakaian seadanya, baju dan kaos lusuh serta celana pendek.Â
Sebagian mengenakan kopyah/kethu (songkok) berwarna hitam. Pohon-pohon bendho berukuran besar berdiri di lereng bukit di atas sungai itu, seperti raksasa penjaga yang siap memangsa orang-orang tanpa harapan itu.Â
Pohon-pohon itu selama ratusan tahun telah membentengi bukit dari jamahan tangan manusia; menahan tanah bukit dengan akar-akar tunggang mereka; menjalin kasih sayang sejati dalam puja semesta. Suara serangga-serangga malam bersautan dengan deras suara air sungai dan gemerisik; sebuah orkestra sakral yang agung dan menakutkan.
Tiga puluh lelaki anggota laskar mengawal perjalanan mereka dengan senjata masing-masing; pedang, penthungan, pisau besar, cangkul, tombak, dan arit. Beberapa dari mereka meneriakkan kalimat suci yang biasanya disampaikan para guru ngaji di masjid desa. Beberapa anggota laskar membentak mereka dengan sumpah serapa.Â
Sampai di atas sungai, lima puluh orang itu diperintahkan untuk menaiki bukit. Lima anggota laskar mendahului mereka untuk membabat semak-semak. Beberapa dari orang-orang itu jatuh, terpeleset embun yang mulai membasahi tanah bukit. Kawan-kawan mereka segera menolong. Suara teriakan para anggota laskar yang berada di barisan belakang mengagetkan puluhan burung cucak rowo yang tengah menikmati tidur.Â
Beberapa serangga berhenti bersuara, diliputi rasa heran atas kedatangan bangsa manusia itu. Hampir satu jam mendaki, rombongan itu tiba di puncak bukit. Pimpinan laskar, seorang setengah baya, memberi komando agar orang-orang itu menuruni bukit.
Pukul 02.00, mereka sampai di hutan yang sebelumnya tidak pernah didatangi manusia. Beberapa binatang berlarian takut atas kedatangan mereka. Pimpinan laskar, segera memerintah anggotanya untuk memberikan cangkul kepada sepuluh orang dari lima puluh orang itu.Â
Mereka diminta untuk menggali lima lubang. Secara bergantian, mereka mulai menggali lubang demi lubang. Tak ada lagi rasa takut atau pertanyaan, untuk apa lubang-lubang itu digali. Tiga puluh anggota laskar mengelilingi mereka.Â
Dua orang pemuda berusaha melarikan diri, tetapi sabetan pedang pimpinan laskar tepat mengenai paha mereka. Rintihan mereka berdua hilang diserap suara hutan. Kawan-kawan mereka berusaha menenangkan kedua pemuda itu. Kemudian, lamat-lamat suara adzan Subuh menggemakan doa suci kepada Gusti Allah.
Pukul 05.00, pimpinan laskar meneriaki lima puluh orang itu untuk masuk ke dalam lima lubang yang mereka gali secara bergantian. Mereka berusaha menolak dan memohon ampunan sekali lagi. Tapi, sia-sia, para anggota laskar mendorong masuk separuh mereka. Teriakan mereka di dalam lima lubang seperti menjadi puji-pujian yang mendendangkan irama riang di telinga anggota laskar.Â
Separuhnya lagi, langsung masuk ke lima lubang itu, berdesak-desakkan dengan kawan-kawan mereka yang menangis, merintih, dan senyap karena tidak bisa bernafas. Setelah mereka semua masuk ke lubang-lubang itu, pimpinan laskar langsung memerintahkan anggotanya untuk menutup kelima lubang itu.Â