Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Panggilan dari Hutan Larangan (1)

17 Juni 2020   23:40 Diperbarui: 17 Juni 2020   23:43 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpapermaiden.com

Hanya Mbah Karso, pemilik gubuk di tepi kali, yang tidak pernah bercerita yang seram-seram. Kepada mereka, sambil membagi singkong bakar yang membuat mereka senang, dia mengatakan, “Kalau sudah tiba saatnya nanti, kalian semua akan tahu, ada apa di hutan itu. Tunggu saja. Pada suatu ketika, Mbah yakin, salah satu dari kalian akan terpilih untuk pergi ke hutan itu.”

“Apakah mimpi itu penanda kalau aku menjadi yang terpilih? Ah, tidak, itu terlalu jauh,” sekali lagi ia dilanda rasa penasaran. Tapi, yang masih membuatnya heran, kenapa harus ada Ivan dalam mimpi itu. 

Bukankah, Ivan belum pernah ke tempat itu? “Mungkin munculnya Ivan dalam mimpi itu dikarenakan baru kemarin ia tiba-tiba muncul di kosku, setelah satu minggu lebih aku tidak menemuinya di Kampus.” Sekali lagi, ia berusaha meyakinkan pikiran dan batinnya perihal keanehan mimpi itu. 

Ketika bertamu, wajah Ivan tampak kusut dan rambut kritingnya semakin panjang. Ternyata ia baru saja berdiam diri di Pantai Tanjung Papuma, di selatan Jember, selama satu minggu, berusaha mengubur semua kenangan dengan Dev, mantan kekasihnya.

“Kamu itu romantis banget, ya?”

“Maksudmu?”

“Iya, romantis, setiap ada masalah yang merisaukan batinmu, kamu pergi menyepi, berkawan semesta, Pantai Papuma, misalnya. Van, sesering apapun kamu berkeluh kesah kepada alam, ndak ada gunanya. Mereka ndak akan dengar. Kamu akan semakin tenggelam dalam pengembaraan batin yang membentur batu karang, diombang-ambingkan oleh segara luas. Kenapa tidak berperilaku wajar saja? Oke, kamu sudah berpisah dari Dev, itu kenyataan yang harus kamu alami dan hadapi. Oke, kamu masih mencintainya, itu kenyataan juga. Kenapa tidak biarkan perpisahan dan cintamu itu menjadi kenyataan yang harus kamu hadapi dan jalani, meskipun berat? Mungkin dengan seperti itu kamu akan semakin terbiasa berpisah darinya. Masih banyak yang bisa kamu kerjakan untuk kehidupanmu, kawan-kawanmu, organisasimu, kuliahmu, atau, mungkin orang tuamu.”

Lelaki yang mengenakan celana jeans robek itu menundukkan mukannya. Nandi tahu baginya Dev terlalu istimewa. Dulu waktu masih bareng perempuan itu, setiap kali selesai rapat senat, ia selalu bercerita hubungan mereka berdua. 

Dalam keyakinannya, Dev-lah yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Seperti kebiasaan yang ia lakukan setiap kali curhat persoalan yang ia hadapi, Ivan menggenggam tangannya. 

Nandi membiarkannya karena mungkin dia perlu meminjam energi darinya untuk saat ini. Paling tidak, sekedar menyalurkan segala kepenatan yang ia rasakan agar bisa sedikit menguap bersama udara.

“Ya, sudahlah, yang mesti terjadi terjadilah, meskipun masih terasa berat. Kamu sendiri gimana, Dee? Bagaimana hubunganmu dengan Rudy?” tanya Ivan sambil melepaskan tangan Nandi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun