Alasan itulah yang memotivasi mereka berdua sebagai orang tua untuk mengajarinya berbuat baik kepada sesama sejak kecil. Ajaran sejak kecil itulah yang menjadikan Nandi—yang di desanya biasa dipanggil Nan—mudah bergaul dengan teman-temannya di Kampus Sastra Universitas Jember yang sebagian berasal dari berbagai kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, sebagian kecil Jawa Barat dan Jakarta, serta Bali, Sumatra, Sulawesi, Nusatenggara, Kalimantan, Timor-timur, dan Irian Jaya.
Namun, di antara teman-temannya, ada seorang lelaki yang menjadi sahabat lelaki pertamanya ketika masa awal kuliah. Dia berasal dari Lamongan, sebuah kabupaten yang terkenal dengan banjir Bengawan Solo-nya, tetapi juga terkenal dengan soto dan wingko-nya.
Persahabatan mereka bermula dari sebuah perkenalan saat mereka sama-sama bertemu pada acara Penataran P-4 [Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila] bagi calon mahasiswa baru Universitas Jember; sebuah acara yang cukup membosankan, tapi wajib dilakoni karena terkait indoktrinasi Pancasila sebagai ideologi negara. Kebetulan, si lelaki duduk tepat di belakangnya bersama seorang temannya yang berasal dari Medan.
Mereka berkenalan setelah si lelaki mengambil bulpen Nandi yang terjatuh ke arah belakang. Perkenalan itu berlanjut menjadi persahabatan, ketika si lelaki sering berkunjung ke tempat kosnya.
Bersamanya, Nandi banyak berdiskusi tentang kuliah dan kegiatan di Kampus. Dari perbincangan itulah, mereka berdua memutuskan untuk aktif di kegiatan kampus, bukan sekedar menjadi mahasiswa yang belajar dan belajar. Nandi memilih jurnalistik, sementara si lelaki memilih kesenian.
Persahabatan mereka semakin akrab ketika mereka sama-sama menjadi pengurus Senat Mahasiswa Sastra. Sering juga, setiap kali habis menerima kiriman uang dari ibunya, Nandi mentraktir lelaki itu makan malam Warung Oyi, warung langganan mahasiswa di Jalan Jawa. Begitu pula sebaliknya.
Anehnya, mereka berdua tidak pernah membicarakan cinta, meskipun terkadang Nandi ingin menanyakan hal itu kepada si lelaki, niat itu selalu diurungkannya. Sampai suatu saat, ketika seorang lelaki bernama Rudy berusaha mendapatkan cintanya, lelaki itu mulai jarang mengunjungi Nandi, bahkan akhirnya tidak pernah sama sekali.
“Aku lelaki. Dan, aku tahu bagaimana rasanya ketika sedang mengejar cinta seorang perempuan. Aku tak ingin mengganggu keseriusannya, Dee. Dia berhak mengusahakan cintanya.”
Begitulah jawaban lelaki itu ketika Nandi menanyakan perihal perubahannya; sebuah jawaban yang membuatnya terperangah, karena semula ia mengira lelaki itu menaruh hati kepadanya. Sejak saat itulah, ia menyadari bahwa persahabatannya dengan lelaki itu mungkin tidak membutuhkan cinta, tetapi cukuplah rasa sayang yang dihayati.
Lelaki itulah yang sekarang berdiri dengan wajah ketakutan di tepi sungai sambil menatap bukit di seberang. Semakin Nandi melangkah mendekatinya, semakin ia tak percaya bahwa yang lelaki yang dilihatnya adalah Ivan Sandyawan—sebuah nama pemberian Budhe-nya, seorang guru sekolah dasar.
Pikirannya diliputi rasa penasaran, kenapa Ivan berada disungai itu. Apakah ia hendak menaiki bukit itu? Dia mencoba menyapanya sembari menyentuh bahunya. Tetapi, Ivan hanya menatapnya, tidak memberikan respons lain. “Ini aku, Dee, sahabatmu.” Berulang kali ia mengatakan ucapan itu, Ivan tetap tidak berbicara.