Suara-suara rintihan mereka, sesaat masih terdengar lirih, sampai akhirnya benar-benar hilang dibungkam tanah. Teriakan-teriakan kalimat suci, lagi-lagi, memenuhi isi hutan. Tidak lama kemudian pimpinan dan anggota laskar, meninggalkan lima kuburan dan hutan itu.
Ya, orang-orang yang katanya beragama, berbudaya, berperikemanusiaan, dan berbudi-luhur, telah meninggalkan itu semua dalam jejak-jejak yang ditutup rapat oleh sang pagi, kicauan burung cucak ijo, segarnya dedaunan, serta oleh batang, cabang, dan ranting pohon-pohon besar yang tinggi menjulang.
Ya, semua kebiadaban itu akan segera diyakini sebagai sebuah kebenaran, ketika mereka membasuh tubuh mereka dengan air suci, sembari menghadap dan berdoa kepada Sang Penghidup. Ya, mereka telah menyimpan sebuah rahasia senyap di sebuah hutan. Ya, sebuah hutan yang kelak dinamai hutan larangan; sebuah nama yang diberikan oleh para anggota laskar agar orang-orang tidak berani masuk ke hutan itu, agar kebiadaban itu tetap menjadi rahasia yang terlarang untuk diungkap.
***
Jember kota, tengah malam, pertengahan Maret 2000.
Perempuan muda itu—berusia 21 tahun, berparas ayu, kulit kuning langsat, rambut panjang sampai punggung, mata bulat, tinggi 170 cm, mengenakan celana jeans biru dan kemeja putih lengan panjang—tengah berdiri mematung, diliputi rasa tidak percaya atas apa yang dilihatnya: seorang lelaki—berambut gondrong-kriting, berkulit sawo matang, mata setengah sipit, mengenakan celana robek di bagian lutut berwarna blue black, kemeja biru muda kota-kota kecil—tengah berdiri mematung pula, di tepi sebuah sungai yang airnya deras mengalir, menyapa jajaran bebatuan besar di dalamnya.
Wajah lelaki itu dipenuhi rasa takut ketika menatap pohon-pohon bendo yang berdiameter 1 meter tinggi menjulang, menjadi penahan sebenarnya dari bukit di seberang sungai. Di sungai itulah, si perempuan yang kini melangkah untuk mendekati si lelaki seringkali bermain bersama teman-teman sebayanya, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, meskipun orang tuanya sering melarang.
Nandita Bela Sesama, begitulah kedua orang tuanya menamai perempuan itu. Lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, bapaknya berharap ia akan menjadi perempuan cantik yang kuat dan bisa mengembangkan rasa welas asih untuk membelas sesama manusia, tak peduli agama, suku, pilihan politik, ataupun kebangsaan mereka.
Di masyarakat desa, nama itu memang tampak aneh khususnya dua kata terakhirnya. “Nama kok Bela Sesama, kayak ndak ada nama lain,” begitulah gerutu beberapa tetangga selepas mereka menghadiri slametan selapan sekaligus pemberian nama.
Memang, pada masa kelahirannya, nama-nama untuk anak perempuan masih sangat sederhana, seperti Wiwik, Puji, Ningsih, Ratna, maupun Wati. Namun, bapaknya mempunyai alasan sendiri kenapa harus menamai anaknya seperti itu.
“Saat ini dan pada masa-masa mendatang, kita akan menjumpai banyak orang yang kurang mempedulikan sesama, meskipun mereka beragama. Kebutuhan ekonomi yang dari hari ke hari semakin meningkat, menjadikan banyak orang mengutamakan kepentingan pribadi, tanpa mau menoleh kepada tetangga yang kelaparan. Aku tidak ingin anak pertama kita seperti itu, Bu. Aku ingin anak kita menjadi perempuan yang mau membantu dan membela sesama yang membutuhkan.” Begitulah alasan bapak ketika istrinya menanyakan alasan pemberian nama itu pada sebuah malam ketika mereka berdua ngeloni bayi Nandita.