Wajah lelaki itu benar-benar terlihat cengeng ketika ia meraba wajah Dev, begitu ia biasa memanggil perempuan asal Puger itu. Betapa gairah yang berkobar ketika ia ikut demonstrasi Reformasi 1998 bersama Nandi dan mahasiswa Universitas Jember seolah hilang ditelan meloisme yang kini melandanya.
“Menjadi aktivis adalah pilihan rasional dan batin untuk mendapatkan pengalaman. Menjalani cinta adalah pilihan rasional dan batin untuk merasakan kehidupan.” Begitu keyakinan yang selalu ia tularkan kepada para mahasiswa adik angkatannya ketika mereka berdiskusi santai sambil nyruput kopi di Warung Bu No, di sebelah timur Fakultas Sastra.
Di warung itulah, para mahasiswa Sastra—khususnya lelaki—biasa ngobrol, baik tentang aktivitas kuliah, kegiatan intra dan ekstra kampus, sampai soal-soal meloisme ditemani berbatang-batang rokok.
Tapi, apakah hidup dalam keputusasaan karena putus cinta adalah pilihan yang masuk akal? “Kadang akal memang tidak bisa menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi,” begitu jawaban diplomatis yang ia lontarkan setiap kali ia sendiri menggugat keputusasaan yang sama sekali tidak sesuai dengan idealismenya.
***
Aneh juga. Kisah kehidupan Pak Tarji yang mestinya menjadi data untuk skripsinya, ternyata ia rangkai menjadi tulisan yang menyerupai kisah fiktif, tepatnya mirip cerpen, dengan judul "Sebuah Sujud Selepas Subuh. Nandi mengetahui sosok Pak Tarji dari seorang kawannya, mahasiswa Universitas Airlangga yang pernah melakukan riset di Kalisosok tentang kehidupan narapidana.
Pilihan untuk menulis skripsi tentang kehidupan anggota PKI pasca 65 memang bukan ide orisinilnya. Pak Tono, dosen walinya yang nyentrik dan sering memprovokasi mahasiswa untuk berpikir kritis, menantangnya untuk menulis tema tersebut.
“Terlalu banyak kisah yang sengaja disenyapkan di Republik ini, khususnya terkait para anggota PKI pasca 65. Mereka benar-benar menjadi manusia-manusia senyap, karena memang dijadikan demikian. Kalau kamu bisa menulis kisah hidup mereka sebagai skripsi, itu akan menjadi karya akademis yang luar biasa, Nan,” begitulah ucapannya ketika Nandi mengutarakan keinginannya untuk menulis skripsi.
Karena merasa tertantang, ia memutuskan untuk mengerjakan tema kehidupan anggota PKI. “Hemmm, skripsi model cerpen pasti belum bisa diterima oleh para dosen”, begitu gerutunya dalam batin. Ia merasa perlu memolesnya kembali, biar kesan tulisan akademisnya lebih kentara. Selama hampir 15 menit ia berusaha menulis kerangka tulisan yang lebih tepat dalam selembar kertas buram.
Selesai membaca tulisan itu sembari membuat kerangka tulisan baru, pikiran Nandi masih saja memikirkan keanehan-keanehan dari mimpi itu. Sejak kecil, orang tua dan warga desanya selalu mengatakan kalau ada hutan di balik bukit itu yang tidak boleh dimasuki; hutan larangan.
Nandi dan kawan-kawan sepermainan yang suka main di sungai mendapat bermacam cerita yang membuat mereka takut, sekaligus penasaran. Ada yang bilang di hutan itu banyak binatang jadi-jadian, dari macan Jawa, ular raksasa, sampai anjing hutan yang suka daging anak-anak. Ada juga yang bilang, di hutan itu banyak sekali hantu yang menyeramkan, dari kuntilanak, banaspati, genderuwo, hingga wewe gombel.