Mohon tunggu...
Dealicious
Dealicious Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Maulidia, tapi lebih familiar ketika saya dipanggil Dea. Hobi saya membaca, menulis dan melakukan hal-hal baru. Saya tidak tahu harus mulai dari mana, tapi semoga Kompasiana membantu talent yg saya miliki.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anggur

1 Juni 2024   12:00 Diperbarui: 1 Juli 2024   17:43 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Klotakkk

Bunyi sepatu High Heels yg dilempar terdengar ke kamarku seperti biasa. Jam lima pagi, Mirey, ibuku dengan dress merahnya diatas lutut terhuyung kesana kemari. Aku membopong sampai ke kamarnya, aroma alkohol sangat menyengat ke hidungku, rambutnya yang panjang berwarna pirang begitu berantakan, aku melepas tangannya begitu saja setelah sampai ke atas kasur lalu segera menutup pintu. Aku mengambil air madu untuk ibu minum, aku pernah diberi tahu ayah bahwa air madu akan menghilangkan pengar pada orang yg mabuk alkohol. “Ayo diminum” aku mengangkat kepalanya dan meminumkannya pada Mirey.

“Kamu tidak sekolah” tanyanya dengan keadaan setengah sadar

“Tidak, kan sudah mau wisuda” kata ku sembari menaruh air madu di meja sebelah tempat tidurnya. Aku menyelimuti ibu dan keluar dari kamar. Begitulah kurang lebih kehidupan kami sehari-hari, Mirey menjadi pelacur ketika ayah sudah meninggal dunia. Aku sudah terlalu lelah untuk terus berusaha menghentikannya, kata bibi Ayu aku tidak perlu mencegahnya lagi. Bibi ayu ini tetangga yang rumahnya bersebelahan denganku, dia sudah lansia dan hidup sendiri, tapi aku selalu sering mengunjunginya entah sekedar bermain-main ke rumahnya yg terbuat dari kayu untuk mengajaknya ngobrol, atau mungkin akan membantunya memasak kerupuk untuk dijual dan dititipkan ke warung atau toko-toko. Aku rasa dia sudah seperti nenekku sendiri karena kedekatan kami meskipun hanya sebatas tetangga.

Aku selalu berdoa pada Tuhan agar hal-hal berbahaya selalu dijauhkan dari Mirey, aku tidak akan mencegahnya lagi, aku akan menghargai sekaligus menghormati keputusannya, apapun itu. Entah nantinya aku akan menyerah atau aku akan terus kuat menghadapi jalan hidupku yang sekarang.

Aku mengambil buku catatan ku dan mulai menulis beberapa catatan disana.

“Ketika semua orang beramai ramai memilih jalan kanan untuk menjauhi dan mengucilkan mu, aku akan jadi satu satunya orang yg memilih berjalan di kiri untuk tetap berada disana dengan mu”

-Alpha-

Aku tidak tahu sesakit apa luka Mirey

Aku tidak tahu apa yang akan Mirey lakukan untuk

menyembuhkan lukanya

Aku hanya sebagai anak yang begitu mencintainya

Aku tidak akan menambahnya luka lagi

Aku akan menghargai keputusannya

Bahkan jika Mirey tidak menemukan jalan keluarnya, aku yg akan menjadi salah satu celah untuk mengeluarkan Mirey dari neraka kehidupannya

-Alpha-

Aku keluar dari rumah berharap bertemu dengan bibi Ayu disana entah sedang menjemur nasi nya yg basi atau menjemur pakaiannya yang sudah di cuci. Tapi kali ini aku ingin benar-benar berbicara banyak dengan-nya.

Aku tidak menemui bibi Ayu, yang ku dapatkan malah dua orang tetangga dengan tatapan sinis dan sedikit berbisik-bisik ke arahku. Benar-benar membuatku muak, aku masuk lagi ke dalam rumah dan pergi ke kamar. Aku menatap langit-langit kamarku yang berwarna coklat muda perpaduan ungu lilac. Mirey yang memilih dua perpaduan warna ini, waktu itu ketika ayah masih hidup dan mereka sempat berdebat tentang warna. “Baiklah, ayah tidak akan berdebat lagi. Alpha, cat lah dengan warna sesukamu dan senyamanmu. Karena kenyamanan bukan ditentukan dari bagusnya warna yang kamu pilih, tapi bagaimana suasana hatimu menjadi merasa tenang dengan hal itu”   katanya waktu itu, dengan senyum tulus terpancar di wajahnya yang sudah mulai keriput dan lelahnya yang sangat tampak. Kata-katanya amat ambigu, dan agak-agak nya ayah tidak sedang membicarakan warna.

Sekitar jam sepuluh aku pergi ke kamar Mirey dan melihatnya sudah terduduk disana dengan rambut berantakannya. Aku duduk di sebelahnya “Mau sarapan?“ tanyaku pada Mirey yg duduk tercengang disana. “Maaf, ibu jadi membuatmu memasak lagi”

“Tidak apa, aku ini anakmu. Ayo segera mandi dan aku akan menyiapkan sarapannya” aku mengulurkan tangan dan membantu Mirey turun dari kasur.

Kami sarapan berdua di ruang depan, dengan TV menyala dan kartun Chaplin & Co.

“Selama kamu bekerja malam, apa ada hal yang menyakitimu atau seseorang yang menindasmu?“ aku membuka percakapan ditengah-tengah sarapan

“Tidak” singkat Mirey

“Apapun yang terjadi padamu, aku orang pertama yang harus kamu hubungi”

“Ah baiklah Alpha anakku yang sangat pintar dan tampan”

Dia mendapati ku seolah-olah sedang mengomeli kucing yang selalu kencing sembarangan.

Setelah selesai sarapan, aku pergi untuk menemui pak RT karena akan ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan dengan beliau. Dulunya memang akrab dengan Ayah dan sempat jadi teman masa kecilnya.

Sesampai dirumahnya aku melihat beliau sedang memberikan makan kelinci nya, dan segera aku hampiri. “Siang pak RT” sapa ku

“Halo Alpha, ada apa? Ayo duduk dulu“ tanya pak RT sembari mengajak duduk didepan teras nya.

“Tidak serius amat kok pak RT, hanya ada sesuatu yang mau saya tanyakan sama Bapak”

“Silahkan William kecil”

“Saya agak berat untuk menanyakan ini sebenarnya, tapi demi ketenangan saya yang memikirkan ini terus menerus makanya saya memberanikan diri. Pak RT, apa akhir-akhir ini ada hal yang mungkin menjadi perbincangan tentang ibu saya?“ aku menatapnya, nafasnya berat dan pandangannya tidak ke arahku. Tampaknya dia berat untuk mengatakan hal ini.

“Sebenarnya ada beberapa dari mereka berbisik pada saya tentang ibu mu akhir-akhir ini, namun saya sangat paham dengan hal itu. Dulu William ayahmu, orang yang sangat baik dan disegani disini. Tak heran jika ibumu tidak bisa melupakan William dan bahkan mungkin frustasi setelah kepergiannya. Dan saya mengatakan pada beberapa orang yang berbincang-bincang mengenai hal ini, untuk tidak membicarakannya lagi, dan tetap bersosialisasi sebagaimana mestinya. Menghargai sesama manusia itu adalah hal sederhana yang memiliki nilai tinggi di bab kemanusiaan, tetap bertoleransi adalah penting, nah Gibran, kamu jangan terlalu memikirkannya lagi. Saya sebagai teman baik William paham betul dengan kekhawatiran mu saat ini. Oke anak pintar?“

“Oke. Pak RT saya terimakasih banyak, maaf waktunya telah terpotong karena saya kesini”

“Bukan apa-apa, segera pulang takut dicari Ibu”

“Baik pak RT, mohon pamit” 

Aku bersalaman dan bergegas kembali ke rumah.

(Satu Minggu setelah wisuda Alpha)

-Mirey Nabila-

Aku Mirey, ibu kandung Immanuel Gibran. Aku baru saja bangun dari mimpi terburuk ku, iya benar. Aku kehilangan William yang begitu mencintaiku, dan saat ini aku juga kehilangan Alpha. Aku begitu kaget ketika mendapati kamarnya yang acak acakan, lemarinya dalam keadaan terbuka, gitar dan bulu tangkis nya yang biasa dipajang dan akan terlihat pertama kali setelah masuk ke kamarnya, tiba-tiba kosong. Aku tidak menangis, bahkan tidak lagi berteriak-teriak seperti orang gila. Mungkinkah tenagaku telah terkuras habis setelah kehilangan William, atau mungkin ini sudah menjadi masalah yang biasa bagiku. Entahlah, kurasa Alpha telah mengkhianati ku, aku menemukan secarik kertas yang telah di remas-remas, disana tertulis catatannya yg berisi

Aku tidak tahu sesakit apa luka Mirey

Aku tidak tahu apa yang akan Mirey lakukan untuk

menyembuhkan lukanya

Aku hanya sebagai anaknya yang begitu mencintai Mirey 

Aku tidak akan menambahnya luka lagi

Aku akan menghargai keputusannya

Bahkan jika Mirey tidak menemukan jalan keluarnya, aku yg akan menjadi salah satu celah untuk mengeluarkan Mirey dari neraka kehidupannya

-Alpha-

 

Apa yang kau tulis anak kecil, kau bahkan tidak menjadi celah. Kau justru adalah neraka yang kau sebutkan di akhir kalimat, kau menambah luka, kau tidak mencintaiku.

Kepalaku mulai pening, hanya tersisa bibi Ayu. Memang tidak bisa bergantung sepenuhnya, namun setidaknya dia satu-satunya orang yang paham keadaanku. “Nanti jangan bekerja dulu Mirey, aku akan ada disini selama kamu masih butuh teman bercerita. Percayalah bahwa Alpha akan baik-baik saja dan dia tidak pergi tanpa alasan” ujarnya menenangkan ku

“Tapi dia tidak berpamit pun, ataupun sekedar meninggalkan secarik surat” aku terus membendung air mata, untuk berbicara sedikitpun rasanya sangat mengganjal di tenggorokan.

“Kalau begitu banyaklah berdoa Mirey”

Aku hanya mengangguk kecil dan kembali tidur.

(Hari-hari, bulan-bulan, aku telah melaluinya)

(3 tahun setelah kepergian Alpha)

Didalam telfon..

“Bisa kamu bertugas disana? Tempatnya masih baru sekali. Kamu bisa kesana setelah kamu siap”

“Baik, nanti saya pikir lagi. Apalagi sekarang saya sudah tidak sesering dulu dan bekerja begitu serius” 

“Okay, kabari saja”

“Yep”

Tut-

Aku mendapat telfon dari Fred, bos yang memiliki kelab tempat aku bekerja malam selama ini. Dia tahu bahwa aku sudah tidak se-semangat dulu sejak Alpha turut menghilang dari ku. Dan dia berusaha untuk mengajakku untuk kembali bekerja di kelab nya. Aku akan meminta waktu satu Minggu lagi untuk bekerja di kelab yang baru. Akhir-akhir ini aku sering menyibukkan diri dirumah dan membantu bibi Ayu menyelesaikan pekerjaan sehari-harinya, aku menjadi lebih sering diam dan tidak banyak omong. Kepergian William dan Alpha jelas merenggut semangat dan tenagaku.

Setelah seminggu berlalu, aku dihubungi lagi oleh Fred. Aku mengiyakan dan segera bersiap-siap. Aku menggunakan dress diatas lutut berwarna gold perpaduan coklat tua dengan looks yang glamor. Heels ku tidak seberapa tinggi, hanya dua senti dengan ujung Heels yang tidak begitu lancip. Aku membuat Curly hair dengan semprotan parfum rambut bermerek Dior. Rasanya seperti pekerja baru, aku semakin terlihat seperti anak muda yang nakal.

Aku menuju kelab dengan supir khusus yang sudah diberitahu lokasinya oleh Fred. Aku terkejut, bagaimana bisa tidak ada orang sama sekali? Hanya bartender saja?

Drrrrtttt

Hp ku bergetar didalam tas mini ku, Fred menelfon.

“I'am so sorry Mirey, kalau sudah sampai, kamu menuju kamar diatas. Maaf baru memberitahu mu”

“Aku baru saja sampai, apa kamu bercanda? kelab ini tidak ada orang sama sekali kecuali bartender yang bekerja disini”

“Ayolah Mirey jangan bercanda dengan alasan tidak masuk akal, segeralah kesana. Orang yang membooking mu sudah menunggu”

“Persetan Fred-”

Tut-

Telfon mati, aku tidak percaya bagaimana bisa aku ditempatkan di kelab yang bahkan hanya terdapat bartender seorang saja?.

Aku menuju keatas untuk pergi ke kamar yang diberitahu Fred. Setelah sampai didepan pintu kamar itu, rasanya sesuatu semakin mencekam karena diatas pun justru lebih sepi dan musiknya tidak sekeras di bawah. Aku membuka pintu. Alangkah tertegunnya ketika aku mendapati seorang Alpha disana, aku mematung, air mataku pecah seketika. Aku benar memandang orang yang telah aku cari dan aku pikirkan selama ini, bagaimana air mataku tidak pecah, anak ini begitu berubah. Tubuhnya semakin tinggi dari ku, wajahnya semakin manis dan rambutnya yang agak gondrong. Tapi kenapa? Tapi kenapa dia meninggalkan tanpa memberiku selembar surat pun. Perasaan ku campur aduk, antara emosi dan terharu yang jadi satu dengan tak karuan.

Gibran memelukku, aku benar tidak bisa menolak pelukan itu, aku tersungkur tanpa sepatah kata pun. Tenggorokan ku seakan ada bola besar yang membuatku tak bisa bicara. Gibran semakin mengeratkan pelukannya. Rasanya dunia kembali berpihak padaku, rasanya seluruh energi yang telah hilang kembali lagi meski tak seutuhnya.

“Apa kabar ibuku yang cantik” bisik Gibran ke telinga ku sembari mengelus punggungku

“Gibran telah melakukan kesalahan besar, Gibran telah membuat bidadari Gibran khawatir selama dua tahun yang menyiksa. Sekarang, marahlah padaku, pukul aku kalau itu membuat ibu lebih lega, lima botol miras dibelakang ibu akan kuterima jika ibu melemparkannya ke kepalaku” Gibran melepaskan pelukannya dan menatap mataku, dia mengusap air mata ku dengan sapu tangan yang dia keluarkan dari kantongnya. Aku justru semakin terisak-isak, aku kembali memeluk Gibran, benar, rasa rindu pada Gibran jauh lebih kuat daripada emosiku yang membara. 

Gibran mengusap-usap rambutku.

“Sudah, ayo duduk dulu. Gibran akan menjelaskan semua apa yang telah terjadi”

Setelah beberapa jam terlewati. Aku sudah lumayan lega, meskipun dengan keadaan mata sembab dan bengkak.

-Alpha-

Benar, aku telah kembali. Mirey tidak salah lihat, aku menjelaskan panjang lebar dan se detail mungkin penyebab aku pergi meninggalkannya. Dua tahun yang lalu setelah aku pergi dari rumah pak RT aku mendapatkan pengumuman lowongan kerja untuk menjadi guru les pribadi, anak SD. Aku mengurungkan niatku hingga aku selesai wisuda. Setelah selesai wisuda, aku menghubungi nomor telfon yang tertera di pamflet pengumuman loker. Akupun dengan sembunyi-sembunyi pergi ke tempat tersebut. Setelah aku sampai, aku telah ditipu. Ternyata yang ku ajari bukanlah anak SD melainkan orang yang telah masuk kuliah sebagai mahasiswa baru. “Pamflet lowongan kerja itu ditujukan padamu bukan tidak direncanakan, saya dengar-dengar kamu orang yang pintar dan jenius. Bahkan pelajaran yang belum dipelajari, kamu sudah mengerti. Saya Julius ayah dari anak yang akan kamu ajari” ucap seorang pria seumuran Mirey berseragam “Pulanglah, dan kembalilah bawa pakaianmu atau apapun yang penting kesini, jika kamu bersedia bekerja. Aku akan memberimu seperempat saham yang kumiliki jika kamu mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas kuliah puteraku”. Akupun tergiur dan bertekad untuk bekerja meskipun aku harus menanggung resiko besar. Hingga akhirnya aku memutuskan meninggalkan Mirey dan bibi Ayu secara diam-diam. Satu setengah tahun berlalu berjalan dengan sangat bagus dan aku cukup di apresiasi oleh sekeluarga ini, namun ketika hampir menginjak semester empat, Asta, putera Julius jatuh sakit dan dalam keadaan sangat kritis, kini aku tahu mengapa Julius mencari orang untuk mengerjakan semua perkuliahannya. Asta adalah autis dan memiliki banyak keterbatasan didalam tubuhnya. Siapa yang menyangka bahwa dia akan meninggal pada malam hari, lima jam setelah dia kritis. Julius dan istrinya terpukul, namun mereka telah siap dan ikhlas menerima semua itu. Apapun yang masih berkaitan dengan dunia, percayalah tidak akan ada yang abadi.

Sebulan setelah kepergian anaknya, Julius memberikan ku seperempat saham yang dimilikinya sesuai janji pada saat itu. Dan itulah yang terjadi dua tahun berjalan bagaimana aku bisa membeli kelab dan sengaja mendatangkan tamu pertama yaitu Mirey ibuku.

“Kurang lebih itu yang terjadi padaku selama tiga tahun Bu"

Mirey memelukku lagi, aku benar-benar merasa bersalah ketika dia kembali memelukku. Kesedihannya tumpah ruah didepan mataku, namun ini semua aku lakukan untuk Mirey agar berhenti dari pekerjaannya dan akan ku jadikan Mirey ratu yang sebenarnya. Mirey bak warna pelangi sehingga terbentuk sosok indah dan tulus sepertinya.

“Ibu mencintaimu Alpha, kamu satu-satunya yang tersisa, jangan pernah menghilang lagi” lirihnya membuatku yang sedari tadi tegar akhirnya menitikkan air mata juga

“I promise mom” aku semakin mengeratkan pelukanku.Klotakkk

Bunyi sepatu High Heels yg dilempar terdengar ke kamarku seperti biasa. Jam lima pagi, Mirey, ibuku dengan dress merahnya diatas lutut terhuyung kesana kemari. Aku membopong sampai ke kamarnya, aroma alkohol sangat menyengat ke hidungku, rambutnya yang panjang berwarna pirang begitu berantakan, aku melepas tangannya begitu saja setelah sampai ke atas kasur lalu segera menutup pintu. Aku mengambil air madu untuk ibu minum, aku pernah diberi tahu ayah bahwa air madu akan menghilangkan pengar pada orang yg mabuk alkohol. “Ayo diminum” aku mengangkat kepalanya dan meminumkannya pada Mirey.

“Kamu tidak sekolah” tanyanya dengan keadaan setengah sadar

“Tidak, kan sudah mau wisuda” kata ku sembari menaruh air madu di meja sebelah tempat tidurnya. Aku menyelimuti ibu dan keluar dari kamar. Begitulah kurang lebih kehidupan kami sehari-hari, Mirey menjadi pelacur ketika ayah sudah meninggal dunia. Aku sudah terlalu lelah untuk terus berusaha menghentikannya, kata bibi Ayu aku tidak perlu mencegahnya lagi. Bibi ayu ini tetangga yang rumahnya bersebelahan denganku, dia sudah lansia dan hidup sendiri, tapi aku selalu sering mengunjunginya entah sekedar bermain-main ke rumahnya yg terbuat dari kayu untuk mengajaknya ngobrol, atau mungkin akan membantunya memasak kerupuk untuk dijual dan dititipkan ke warung atau toko-toko. Aku rasa dia sudah seperti nenekku sendiri karena kedekatan kami meskipun hanya sebatas tetangga.

Aku selalu berdoa pada Tuhan agar hal-hal berbahaya selalu dijauhkan dari Mirey, aku tidak akan mencegahnya lagi, aku akan menghargai sekaligus menghormati keputusannya, apapun itu. Entah nantinya aku akan menyerah atau aku akan terus kuat menghadapi jalan hidupku yang sekarang.

Aku mengambil buku catatan ku dan mulai menulis beberapa catatan disana.

“Ketika semua orang beramai ramai memilih jalan kanan untuk menjauhi dan mengucilkan mu, aku akan jadi satu satunya orang yg memilih berjalan di kiri untuk tetap berada disana dengan mu”

-Alpha-

Aku tidak tahu sesakit apa luka Mirey

Aku tidak tahu apa yang akan Mirey lakukan untuk

menyembuhkan lukanya

Aku hanya sebagai anak yang begitu mencintainya

Aku tidak akan menambahnya luka lagi

Aku akan menghargai keputusannya

Bahkan jika Mirey tidak menemukan jalan keluarnya, aku yg akan menjadi salah satu celah untuk mengeluarkan Mirey dari neraka kehidupannya

-Alpha-

Aku keluar dari rumah berharap bertemu dengan bibi Ayu disana entah sedang menjemur nasi nya yg basi atau menjemur pakaiannya yang sudah di cuci. Tapi kali ini aku ingin benar-benar berbicara banyak dengan-nya.

Aku tidak menemui bibi Ayu, yang ku dapatkan malah dua orang tetangga dengan tatapan sinis dan sedikit berbisik-bisik ke arahku. Benar-benar membuatku muak, aku masuk lagi ke dalam rumah dan pergi ke kamar. Aku menatap langit-langit kamarku yang berwarna coklat muda perpaduan ungu lilac. Mirey yang memilih dua perpaduan warna ini, waktu itu ketika ayah masih hidup dan mereka sempat berdebat tentang warna. “Baiklah, ayah tidak akan berdebat lagi. Alpha, cat lah dengan warna sesukamu dan senyamanmu. Karena kenyamanan bukan ditentukan dari bagusnya warna yang kamu pilih, tapi bagaimana suasana hatimu menjadi merasa tenang dengan hal itu”  katanya waktu itu, dengan senyum tulus terpancar di wajahnya yang sudah mulai keriput dan lelahnya yang sangat tampak. Kata-katanya amat ambigu, dan agak-agak nya ayah tidak sedang membicarakan warna.

Sekitar jam sepuluh aku pergi ke kamar Mirey dan melihatnya sudah terduduk disana dengan rambut berantakannya. Aku duduk di sebelahnya “Mau sarapan?“ tanyaku pada Mirey yg duduk tercengang disana. “Maaf, ibu jadi membuatmu memasak lagi”

“Tidak apa, aku ini anakmu. Ayo segera mandi dan aku akan menyiapkan sarapannya” aku mengulurkan tangan dan membantu Mirey turun dari kasur.

Kami sarapan berdua di ruang depan, dengan TV menyala dan kartun Chaplin & Co.

“Selama kamu bekerja malam, apa ada hal yang menyakitimu atau seseorang yang menindasmu?“ aku membuka percakapan ditengah-tengah sarapan

“Tidak” singkat Mirey

“Apapun yang terjadi padamu, aku orang pertama yang harus kamu hubungi”

“Ah baiklah Alpha anakku yang sangat pintar dan tampan”

Dia mendapati ku seolah-olah sedang mengomeli kucing yang selalu kencing sembarangan.

Setelah selesai sarapan, aku pergi untuk menemui pak RT karena akan ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan dengan beliau. Dulunya memang akrab dengan Ayah dan sempat jadi teman masa kecilnya.

Sesampai dirumahnya aku melihat beliau sedang memberikan makan kelinci nya, dan segera aku hampiri. “Siang pak RT” sapa ku

“Halo Alpha, ada apa? Ayo duduk dulu“ tanya pak RT sembari mengajak duduk didepan teras nya.

“Tidak serius amat kok pak RT, hanya ada sesuatu yang mau saya tanyakan sama Bapak”

“Silahkan William kecil”

“Saya agak berat untuk menanyakan ini sebenarnya, tapi demi ketenangan saya yang memikirkan ini terus menerus makanya saya memberanikan diri. Pak RT, apa akhir-akhir ini ada hal yang mungkin menjadi perbincangan tentang ibu saya?“ aku menatapnya, nafasnya berat dan pandangannya tidak ke arahku. Tampaknya dia berat untuk mengatakan hal ini.

“Sebenarnya ada beberapa dari mereka berbisik pada saya tentang ibu mu akhir-akhir ini, namun saya sangat paham dengan hal itu. Dulu William ayahmu, orang yang sangat baik dan disegani disini. Tak heran jika ibumu tidak bisa melupakan William dan bahkan mungkin frustasi setelah kepergiannya. Dan saya mengatakan pada beberapa orang yang berbincang-bincang mengenai hal ini, untuk tidak membicarakannya lagi, dan tetap bersosialisasi sebagaimana mestinya. Menghargai sesama manusia itu adalah hal sederhana yang memiliki nilai tinggi di bab kemanusiaan, tetap bertoleransi adalah penting, nah Gibran, kamu jangan terlalu memikirkannya lagi. Saya sebagai teman baik William paham betul dengan kekhawatiran mu saat ini. Oke anak pintar?“

“Oke. Pak RT saya terimakasih banyak, maaf waktunya telah terpotong karena saya kesini”

“Bukan apa-apa, segera pulang takut dicari Ibu”

“Baik pak RT, mohon pamit”

Aku bersalaman dan bergegas kembali ke rumah.

(Satu Minggu setelah wisuda Alpha)

-Mirey Nabila-

Aku Mirey, ibu kandung Immanuel Gibran. Aku baru saja bangun dari mimpi terburuk ku, iya benar. Aku kehilangan William yang begitu mencintaiku, dan saat ini aku juga kehilangan Alpha. Aku begitu kaget ketika mendapati kamarnya yang acak acakan, lemarinya dalam keadaan terbuka, gitar dan bulu tangkis nya yang biasa dipajang dan akan terlihat pertama kali setelah masuk ke kamarnya, tiba-tiba kosong. Aku tidak menangis, bahkan tidak lagi berteriak-teriak seperti orang gila. Mungkinkah tenagaku telah terkuras habis setelah kehilangan William, atau mungkin ini sudah menjadi masalah yang biasa bagiku. Entahlah, kurasa Alpha telah mengkhianati ku, aku menemukan secarik kertas yang telah di remas-remas, disana tertulis catatannya yg berisi

Aku tidak tahu sesakit apa luka Mirey

Aku tidak tahu apa yang akan Mirey lakukan untuk

menyembuhkan lukanya

Aku hanya sebagai anaknya yang begitu mencintai Mirey 

Aku tidak akan menambahnya luka lagi

Aku akan menghargai keputusannya

Bahkan jika Mirey tidak menemukan jalan keluarnya, aku yg akan menjadi salah satu celah untuk mengeluarkan Mirey dari neraka kehidupannya

-Alpha-

Apa yang kau tulis anak kecil, kau bahkan tidak menjadi celah. Kau justru adalah neraka yang kau sebutkan di akhir kalimat, kau menambah luka, kau tidak mencintaiku.

Kepalaku mulai pening, hanya tersisa bibi Ayu. Memang tidak bisa bergantung sepenuhnya, namun setidaknya dia satu-satunya orang yang paham keadaanku. “Nanti jangan bekerja dulu Mirey, aku akan ada disini selama kamu masih butuh teman bercerita. Percayalah bahwa Alpha akan baik-baik saja dan dia tidak pergi tanpa alasan” ujarnya menenangkan ku

“Tapi dia tidak berpamit pun, ataupun sekedar meninggalkan secarik surat” aku terus membendung air mata, untuk berbicara sedikitpun rasanya sangat mengganjal di tenggorokan.

“Kalau begitu banyaklah berdoa Mirey”

Aku hanya mengangguk kecil dan kembali tidur.

(Hari-hari, bulan-bulan, aku telah melaluinya)

(3 tahun setelah kepergian Alpha)

Didalam telfon..

“Bisa kamu bertugas disana? Tempatnya masih baru sekali. Kamu bisa kesana setelah kamu siap”

“Baik, nanti saya pikir lagi. Apalagi sekarang saya sudah tidak sesering dulu dan bekerja begitu serius”

“Okay, kabari saja”

“Yep”

Tut-

Aku mendapat telfon dari Fred, bos yang memiliki kelab tempat aku bekerja malam selama ini. Dia tahu bahwa aku sudah tidak se-semangat dulu sejak Alpha turut menghilang dari ku. Dan dia berusaha untuk mengajakku untuk kembali bekerja di kelab nya. Aku akan meminta waktu satu Minggu lagi untuk bekerja di kelab yang baru. Akhir-akhir ini aku sering menyibukkan diri dirumah dan membantu bibi Ayu menyelesaikan pekerjaan sehari-harinya, aku menjadi lebih sering diam dan tidak banyak omong. Kepergian William dan Alpha jelas merenggut semangat dan tenagaku.

Setelah seminggu berlalu, aku dihubungi lagi oleh Fred. Aku mengiyakan dan segera bersiap-siap. Aku menggunakan dress diatas lutut berwarna gold perpaduan coklat tua dengan looks yang glamor. Heels ku tidak seberapa tinggi, hanya dua senti dengan ujung Heels yang tidak begitu lancip. Aku membuat Curly hair dengan semprotan parfum rambut bermerek Dior. Rasanya seperti pekerja baru, aku semakin terlihat seperti anak muda yang nakal.

Aku menuju kelab dengan supir khusus yang sudah diberitahu lokasinya oleh Fred. Aku terkejut, bagaimana bisa tidak ada orang sama sekali? Hanya bartender saja?

Drrrrtttt

Hp ku bergetar didalam tas mini ku, Fred menelfon.

“I'am so sorry Mirey, kalau sudah sampai, kamu menuju kamar diatas. Maaf baru memberitahu mu”

“Aku baru saja sampai, apa kamu bercanda? kelab ini tidak ada orang sama sekali kecuali bartender yang bekerja disini”

“Ayolah Mirey jangan bercanda dengan alasan tidak masuk akal, segeralah kesana. Orang yang membooking mu sudah menunggu”

“Persetan Fred-”

Tut-

Telfon mati, aku tidak percaya bagaimana bisa aku ditempatkan di kelab yang bahkan hanya terdapat bartender seorang saja?.

Aku menuju keatas untuk pergi ke kamar yang diberitahu Fred. Setelah sampai didepan pintu kamar itu, rasanya sesuatu semakin mencekam karena diatas pun justru lebih sepi dan musiknya tidak sekeras di bawah. Aku membuka pintu. Alangkah tertegunnya ketika aku mendapati seorang Alpha disana, aku mematung, air mataku pecah seketika. Aku benar memandang orang yang telah aku cari dan aku pikirkan selama ini, bagaimana air mataku tidak pecah, anak ini begitu berubah. Tubuhnya semakin tinggi dari ku, wajahnya semakin manis dan rambutnya yang agak gondrong. Tapi kenapa? Tapi kenapa dia meninggalkan tanpa memberiku selembar surat pun. Perasaan ku campur aduk, antara emosi dan terharu yang jadi satu dengan tak karuan.

Gibran memelukku, aku benar tidak bisa menolak pelukan itu, aku tersungkur tanpa sepatah kata pun. Tenggorokan ku seakan ada bola besar yang membuatku tak bisa bicara. Gibran semakin mengeratkan pelukannya. Rasanya dunia kembali berpihak padaku, rasanya seluruh energi yang telah hilang kembali lagi meski tak seutuhnya.

“Apa kabar ibuku yang cantik” bisik Gibran ke telinga ku sembari mengelus punggungku

“Gibran telah melakukan kesalahan besar, Gibran telah membuat bidadari Gibran khawatir selama dua tahun yang menyiksa. Sekarang, marahlah padaku, pukul aku kalau itu membuat ibu lebih lega, lima botol miras dibelakang ibu akan kuterima jika ibu melemparkannya ke kepalaku” Gibran melepaskan pelukannya dan menatap mataku, dia mengusap air mata ku dengan sapu tangan yang dia keluarkan dari kantongnya. Aku justru semakin terisak-isak, aku kembali memeluk Gibran, benar, rasa rindu pada Gibran jauh lebih kuat daripada emosiku yang membara.

Gibran mengusap-usap rambutku.

“Sudah, ayo duduk dulu. Gibran akan menjelaskan semua apa yang telah terjadi”

Setelah beberapa jam terlewati. Aku sudah lumayan lega, meskipun dengan keadaan mata sembab dan bengkak.

-Alpha-

Benar, aku telah kembali. Mirey tidak salah lihat, aku menjelaskan panjang lebar dan se detail mungkin penyebab aku pergi meninggalkannya. Dua tahun yang lalu setelah aku pergi dari rumah pak RT aku mendapatkan pengumuman lowongan kerja untuk menjadi guru les pribadi, anak SD. Aku mengurungkan niatku hingga aku selesai wisuda. Setelah selesai wisuda, aku menghubungi nomor telfon yang tertera di pamflet pengumuman loker. Akupun dengan sembunyi-sembunyi pergi ke tempat tersebut. Setelah aku sampai, aku telah ditipu. Ternyata yang ku ajari bukanlah anak SD melainkan orang yang telah masuk kuliah sebagai mahasiswa baru. “Pamflet lowongan kerja itu ditujukan padamu bukan tidak direncanakan, saya dengar-dengar kamu orang yang pintar dan jenius. Bahkan pelajaran yang belum dipelajari, kamu sudah mengerti. Saya Julius ayah dari anak yang akan kamu ajari” ucap seorang pria seumuran Mirey berseragam “Pulanglah, dan kembalilah bawa pakaianmu atau apapun yang penting kesini, jika kamu bersedia bekerja. Aku akan memberimu seperempat saham yang kumiliki jika kamu mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas kuliah puteraku”. Akupun tergiur dan bertekad untuk bekerja meskipun aku harus menanggung resiko besar. Hingga akhirnya aku memutuskan meninggalkan Mirey dan bibi Ayu secara diam-diam. Satu setengah tahun berlalu berjalan dengan sangat bagus dan aku cukup di apresiasi oleh sekeluarga ini, namun ketika hampir menginjak semester empat, Asta, putera Julius jatuh sakit dan dalam keadaan sangat kritis, kini aku tahu mengapa Julius mencari orang untuk mengerjakan semua perkuliahannya. Asta adalah autis dan memiliki banyak keterbatasan didalam tubuhnya. Siapa yang menyangka bahwa dia akan meninggal pada malam hari, lima jam setelah dia kritis. Julius dan istrinya terpukul, namun mereka telah siap dan ikhlas menerima semua itu. Apapun yang masih berkaitan dengan dunia, percayalah tidak akan ada yang abadi.

Sebulan setelah kepergian anaknya, Julius memberikan ku seperempat saham yang dimilikinya sesuai janji pada saat itu. Dan itulah yang terjadi dua tahun berjalan bagaimana aku bisa membeli kelab dan sengaja mendatangkan tamu pertama yaitu Mirey ibuku.

“Kurang lebih itu yang terjadi padaku selama tiga tahun Bu"

Mirey memelukku lagi, aku benar-benar merasa bersalah ketika dia kembali memelukku. Kesedihannya tumpah ruah didepan mataku, namun ini semua aku lakukan untuk Mirey agar berhenti dari pekerjaannya dan akan ku jadikan Mirey ratu yang sebenarnya. Mirey bak warna pelangi sehingga terbentuk sosok indah dan tulus sepertinya.

“Ibu mencintaimu Alpha, kamu satu-satunya yang tersisa, jangan pernah menghilang lagi” lirihnya membuatku yang sedari tadi tegar akhirnya menitikkan air mata juga

“I promise mom” aku semakin mengeratkan pelukanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun