Kami berpelukan berlima. Hatiku rasanya sakit sekali. Sesakit ketika eskrim itu meluncur di kerongkonganku. Melihat semuanya, aku semakin terpuruk ......
"Ah, Tuhan..... sampai kapan aku mengalami kesakitan seperti ini? Hatiku sakit sekali melihat mereka ketakutan dan sedih karena keadaanku? Sampai kapan, Tuhan?"
Setelah reda, suapan kedua mulai lagi dengan kesakitan yang sama, dan kembali aku terbatuk2 dan memegang dadaku lagi sambil terbungkuk2. Mataku sembab karena terus menangis. Menangis karena kesakitan .....
Suapan ketiga dan seterusnya, aku harus jalani dengan sepenuh hati, jika aku mau sembuh! Ya! Aku mau sembuh! AKU MAU SEMBUH !!!!!
Dan, suapan demi suapan, kutelan, dengan kesakitan yang lama kelamaan semakin berkurang.
"Puji Tuhan! Aku berhasil menelan! Aku berhasil makan dan minum! Astagaaaaaa ..... aku menuju sembuhhhhhh ......"
Aku berdendang, aku bernyanyi. Tralala ... trilili ... aku kenyang makan eskrim dan aku bersiap terapi2 makan dan minum selanjutnya .....
"Suster, apakah putri saya sudah bisa makan lebih baik?", tanya bapakku.
"Ya, pak. Ketika dia menelan eskrim itu, tetap mulanya masuk ke paru2, bukan ke lambung. Sakitnya lebih berat dibanding dengan paru2nya kemasukkan air.Â
Mengapa kami memberi eskrim awalnya?Â
Karena eskrim cukup padat tetapi bisa mencair, sehingga bisa luruh dengan sendirinya ....."