Mohon tunggu...
Callmehai
Callmehai Mohon Tunggu... Konsultan - Astrophile || Mahasiswa Farmasi STIKES Andini Persada Mamuju

Bercanda bersama kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orgasme Berbuah Petaka

3 April 2022   21:19 Diperbarui: 3 April 2022   21:24 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

#CiwiTugas&Challenge_CerpenHoror

Genre : Fiksi

Jumlah kata : 1976

*

ORGASME BERBUAH PETAKA

___

2 Desember 2019.

Malam ini, udara dingin sekali. Mengingatkanku pada kejadian masa lalu. Peristiwa ngeri yang memberikan pelajaran hebat. Karena sejak saat itu, aku tidak lagi melakukan pekerjaan yang melanggar hukum, juga dengan sendirinya kuserahkan diriku kepada pihak yang berwajib.

Mumpung masih subuh, aku akan sedikit menceritakan pengalamanku beberapa tahun silam. Tidak menyeramkan, namun semoga memberi pelajaran bahwa 'kita perlu memimpin diri kita sendiri agar tidak terjerumus ke dalam jurang luka. Apalagi sex, di luar pernikahan jangan pernah menyentuhnya jika tidak ingin mendapat petaka'.

***

12 Januari 2008.

Kubersihkan tubuhnya. Kubuang kain kafannya. Kuletakkan dia terlentang di atas ranjang. Kupakaikan pakaian tidur, lalu kupeluk penuh syukur. Diam-diam aku bangga dengan aroma formalin yang baru saja kutancapkan ke tubuhnya.

Namanya Rea. Wanita yang memilih bunuh diri setelah kurenggut perawannya. Yang dikebumikan tadi malam, namun kukeluarkan kemudian. Pedih, namun apa boleh buat? Orgasmeku yang kenikmatannya masih bisa kurasakan, harus dilukai oleh berita kematiannya. Ah. Salahnya juga yang menolak lamaranku!

Kubiarkan cahaya purnama merembes melewati jendela. Kutak pedulikan gordeng melayang-layang sebab angin, selama tidak menimbulkan suara. Aku tetap terbaring damai merasakan tubuh Rea. Bukan lagi hayal, bahwa dia tidur di sampingku tanpa berontak. Yah, meskipun hanya mayat.

"Meski terdengar kurang ajar, aku bersyukur kamu memilih mati, Rea," ucapku, lalu mencium keningnya.

***

Suara kicau burung memecah tidurku. Mentari juga tanpa tahu malunya mengganggu malam baikku. Seperti mengira aku adalah penyuka senja dan pengagum kicau. Aku bahkan tidak menyukai apapun di dunia ini kecuali wanita. Ralat. Kecuali Rea!

Kutatap lekat mayat di sampingku. Cukup pucat, dan sepertinya perlu kusewa Dono yang memang ahli dalam hal mendandani. Perihal ketahuan? Aku tidak yakin kalau Dono akan begitu tega melaporkan hal ini pada pihak keluarga Rea. Yah, Dono adalah sahabatku dan menjadi parner sejatiku dalam mengedar narkoba.

***

Setelah kutelpon, tidak cukup lima menit akhirnya Dono tiba. Terkejut campur takut bisa kulihat dari raut wajahnya. Agak aneh menurutku. Wanita cantik seperti Rea, bagaimana mungkin bisa terlihat sangat menakutkan di matanya?

"Nin! Dia sudah meninggal kemarin. Bagaimana mungkin?"

Kusimpan handuk yang barusan kugunakan untuk mengeringkan rambut ke balik sampiran. Setelah memakai kaos oblong, kudekati Dono yang duduk di sofa.

"Aku tidak akan rela melihatnya sendirian di dalam tanah."

"Kamu gila?" 

Kuangkat bahu sebagai jawaban.

"Ini tindakan kriminal, bodoh! Di mana kamu letakkan kepalamu, huh? Bagaimana jika keluarga Rea tahu?"

Kutarik nafas panjang, lalu kutatap Rea yang tertidur pulas.

"Tidak akan ada yang tahu, jika kamu tidak membeberkan. Lagi pula, jika ini tindakan kriminal, bagaimana dengan pekerjaan kita sebagai 'bandar narkoba' ?"

"Sangat berbeda! hal ini sangat tidak waras!" ucapnya lagi setengah berteriak.

"Mau bagaimana lagi. Aku merasa harus bertanggung jawab karena telah merebut harta tubuhnya."

"Cih. Kamu sungguh benar-benar gila, Nino!"

"Terserahlah. Kamu hanya perlu melakukan tugasmu. Dandangi dia sebagaimana kamu mendandani para manusia di salonmu."

"Kamu benar-benar dibutakan oleh cinta! Dia adalah ma..."

'Brak, brak, brak!'

Pintu terketuk-ketuk keras. Dono diam, aku juga. Kami saling tatap, bak sama resah, jangan sampai itu adalah ketukan keluarga Rea. Bisa-bisa kepalaku dipenggal saat ini, jika memang demikian.

Tidak lama, jendela tiba-tiba ikut diketuk keras. Udara terasa begitu dingin, padahal hari sudah siap memasuki siang. Masih sama-sama tidak mau menjawab, akhirnya ketukan itu reda juga. 

Dono menatapku lalu beralih menatap mayat Rea. Tidak mungkin kalau ketukan tadi memang dari keluarga Rea. Tadi malam, aku benar-benar yakin tidak ada yang menyaksikanku menggali kubur lalu menimbunnya kembali. Apakah dari tetangga sebelah? Ah.

***

Wajah pucat yang kini ditutupi bedak juga merah pipi, bibir tipisnya yang dibaluti lipstik merah muda, alis yang dihitamkan, sederhana namun amat memukau. Dono benar-benar lihai membuatnya makin menggiurkan. 

"Nin, makan malamku sudah habis. Aku akan pulang," ucap Dono, menenteng tas alat make_up nya.

"Nginap di sini saja."

Kulihat matanya melotot. Ah. Apa dia masih takut pada mayat Rea?

"Tidak mungkin. Aku harus pulang," tegasnya.

"Tidak! Kamu tetap di sini. Kamu ingat tadi siang ada yang mengetuk kan? Kalau itu dari keluarga Rea, aku bisa berbicara padanya, dan kamu bawa mayat Rea."

Bisa kulihat mimik wajah Reno memucat, tengah menelan air liurnya sendiri. Bak mengatakan, "idemu gila, Nino!"

"Sekarang, tidurlah. Kamu boleh di sofa ruang ta..." ucapanku dihentikan oleh suara isak tangis dari samping jendela. Spontan, aku dan Reno saling melempar pandangan. Udara malam berubah semakin dingin.

Was-was, aku melangkah ke jendela. Menggeser gorden, hingga bulan purnama bisa terlihat. Isakan itu berhenti sejenak, namun dilanjutkan kemudian.

'Krekk.' kutarik besi pengunci jendela. 

Kutengok ke luar, namun tak ada siapa-siapa. Bulu kudukku makin berdiri, setelah isak tangis itu lenyap.

Kututup jendela kembali, kemudian kutatap Reno yang terlihat makin memucat. Tubuhnya sudah terlihat gemetar.

"Tidak ada siapa-siapa," ucapku.

Entah datang dari mana, suara cekikikan mengema di dalam kamar. Aku dibuat mematung seketika. Kutatap Reno, yang sudah pipis di sana.

"Ngihihihi," lagi, suara itu menggema membuat mataku menancap menatap Rea yang tiba-tiba membuka mata. Reno pinsan kemudian. Aku, juga ngompol tak tertahan.

Tanpa kedip, Rea membawa tubuhnya turun dari ranjang. Dia melangkah melewatiku, lalu terbang ke pintu jendela. 

Sebelum akhirnya dia terbang lagi, kudengar samar dia berucap, "Kembalikan perawanku."

Jleb. 

Aku ambruk, sebab gemetar karena takut. Nyawaku serasa di ujung telunjuk. Menyadari bahwa Rea menjadi arwah penasaran, aku menyesal telah melakukan hal gila. Ucapanku yang mengatakan Rea tetap cantik tadi, kucabut. Dia bahkan lebih menyeramkan dari kuntilanak dengan muka campur darah di dalam film horror. 

Di sini, nyawaku yang terancam! Meski dia menjadi arwah penasaran hingga ingatannya pada orang yang ingin dibalas dendam menghilang, tapi akan ada masa sang arwah akan mengingat semuanya meski samar. Itu yang pernah kubaca dalam buku mistis milik ayahku, namun kuabaikan karena menganggapnya hanya mitos.

***

13 Januari 2008.

Cahaya fajar lagi-lagi mengusik tidurku. Aku langsung bangun, menyadari hari sudah siang. Yah, setidaknya siang tidak semenyeramkan malam. Secara sadar, aku bersyukur, Tuhan telah menghadirkan matahari.

Merasakan celanaku lengket, aku segera ke kamar mandi membersihkan diri. Gemerincik air yang terdengar, membuatku yakin yang di dalam ada Dono yang sedang mencuci tubuhnya.

"Woi. Main masuk aja! Tidak lihat aku lagi mandi?" geram Dono.

"Dih! Kamu tidak takut kalah Rea tiba-tiba datang lagi?"

Dia langsung melemparkan sampo kepadaku. "Jangan membahasnya! Aku merasa hanya sedang bermimpi."

Kuangkat bahu sebagai jawaban. 

"Tapi Nin, Rea tidak akan kembali ke sini lagi kan?" tanya Dono, setengah berbisik.

Kujawab hanya dengan gelengan. Sejujurnya, itu juga salah satu hal yang kukhawatirkan. Apakah Rea tidak akan datang ke rumah ini? Tapi ke mana semalam dia pergi?

***

3 Juli 2011

Hari demi hari, tidak terasa sudah memakan waktu beberapa tahun. Sekalipun, aku tidak pernah ke rumahku setelah memilih tinggal di rumah Dono. Semua pakaianku kuambil tanpa sisa. 

Kampung makin hari cuacanya menjadi selalu dingin. Meski terlihat terik, bahkan. Apalagi, ucapan para penduduk selalu saja membuat tidurku tak nyenyak. Yah, entah bagaimana dengan keluarga Rea, pasti mereka sangat terpukul.

Kabarnya, Rea beberapa kali terlihat di jalanan dengan tatapan kosong. Sesekali menangis sesekali tertawa. Dia menjadi buah bibir masyarakat karena mengatakan arwahnya tidak tenang sebab matinya tidak damai. Seringkali aku menjumpai Bu Maya, ibunya Rea, diceramahin sama penduduk. Katanya, "Penyesalan memang selalu ada di belakang Bu'. Harusnya memang dari dulu Rea itu dididik sedemikian rupa agar tidak tersesat sendiri dalam pergaulannya."

Aku yang menyaksikan itu, langsung memanas. Ingin kubantah, tapi nyawaku yang jadi ancamannya. Kasihan aku melihat Bu Maya yang memilih diam kemudian.

Seperti biasa, setelah pulang dari markas narkoba, aku akan memilih berhenti di depan gang hanya sekedar untuk mendengar percakapan ibu-ibu penggosip. Yah, menjadikan mereka sebagai ladang mendapat informasi baru. 

Aku duduk seperti sedang menunggu jemputan, dengan sesekali melihat jam. Padahal, itu hanya akal-akalan 'ku saja agar tidak ketahuan ingin menguping.

"Tadi malam, aku kembali melihat Rea di samping rumahnya sedang duduk-duduk." ucap salah satu ibu-ibu kompleks.

"Sangat jelas lagi, Bu?" respon ibu yang satunya.

"Sangat jelas Bu'. Bahkan terlihat sangat cantik." 

Dalam hati aku bergumam, "Make_up nya tidak luntur?"

"Kok bisa gitu yaa?" tanya ibu yang lain.

"Hei. Kudengar, mayat Rea hilang."

Bulu kudukku langsung berdiri. Tegang. Kenapa dia bisa tahu?

"Karena Rea sangat sering nampak, Pak Zaenal, ayahnya Rea, menyuruh membuka kuburannya. Namun, tidak didapati apapun meski itu hanya tengkorak. Atau bahkan, bau busuk juga tidak ada."

Tidak mau mendengar lagi, aku segera pulang ke rumah Dono. Kalau sampai malam itu ada yang melihatku ketika mengambil mayar Rea, lalu memberitahu Pak Zaenal, entah bagaimana nasib leherku.

***

Malam makin meninggi, bulu kudukku makin merinding. Di luar kesadaran, aku masuk ke kamar Dono lalu memeluknya dari belakang. Bagaimana tidak! Dari tadi pintu selalu diketuk-ketuk entah oleh siapa.

"Apasih Nin!" kesal Dono.

"Aku takut Don. Pintu diketuk keras.

"Ya elah, palingan dari pak RT. Beliau tadi siang nyuruh aku nunggu, katanya mau memberikan undangan pernikahan anaknya."

Keteganganku melemas kemudian. Aku berucap syukur dalam hati.

Dono beranjak dari baringnya, melangkah ke pintu. Aku juga ikut, tak mau ditinggal sendiri.

"Hiks...hiks...hikss..." isak tangis itu spontan membuat kami terhenti, saling tatapan dengan mata melotot. 

Tiba-tiba, pintu jendela ikut diketuk keras. Aku langsung memeluk Dono yang juga memelukku. Andai saja aku bukan penyebab Rea jadi arwah penasaran, dan jika saja Dono tidak berada di rumahku saat mayatnya terbangun, kami tidak akan setakut ini! 

Jendela yang memang tidak sempat terkunci rapat, langsung terhempas.

Benar. Di sana ada Rea yang berdiri.

Aku kemudian melompat ke belakang Dono. Sementara Dono, hanya mematung.

Dengan mata tanpa kedip, Rea perlahan mendekat. Sesekali dia mengeluarkan suara cekikikan. Ah. Apa ingatannya sudah kembali?

Dia berhenti di depan Dono. Mengamatinya dari bawah hingga ke rambut.

Aku yang sudah gemetaran takut, tanpa tercegah kukeluarkan kalimat yang asli membuat mata Dono menatapku kaget.

"Dia yang merebut perawanmu, Rea!"

Mata Rea langsung tertancap pada mata Dono yang hampir keluar dari peraduannya. Dono menggeleng, perlahan mundur. Belum sempat dia membela diri, Rea sudah mencekik tenggorokannya di sana.

Rasa bersalah campur takut menghujamiku. Aku telah melakukan kesalahan fatal. Dono telah kuhianati! 

Setelah mayat Dono tergeletak, Rea tertawa terbahak-bahak. Sampai arwahnya kulihat ke luar dari tubuhnya, lalu ditelan oleh udara. Dua mayat ini kini bersimpuh di depanku. Ngeri dan takut, segera aku berlari ke rumah Pak Zaenal.

"Pak, Pak! Mayat Rea ada di rumah Dono."

Tidak menunggu lama, semua orang berkumpul. Kutuntun mereka sambil menceritakan hal yang hanya kukarang-karang. Ada sesak saat mengatakannya, namun apa boleh buat. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Dono sudah menjadi mayat, dengan fitnah yang kubangun sendiri.

Mayat Dono ikut di bawah ke rumah Pak Zaenal. Di mandikan, dikafani, disholati di sana. Kuburnya juga berdekatan dengan kubur Rea. 

***

Tidak terasa, malam berubah siang. Padahal mataku belum pernah terpejam. Rasa takut masih menyapaku. Bukan ke Rea lagi, tapi ke Dono. Tidak menutup kemungkinan, bukan? kalau saja Dono juga akan menjadi arwah penasaran dan mencariku kemudian. Ah. Membayangkannya saja, aku bisa frustasi!

Tidak tahu akan berhasil atau tidak, aku melangkah mengambil kertas besar yang ada di laci kerja Dono. Merangkai kata di atasnya menggunakan spidol. Tidak berlangsung lama, aku membaringkan kertas itu terlentang di atas kasur.

Langkah selanjutnya, aku memasukkan semua barangku ke dalam koper. Aku akan pergi? Tentu saja! Mungkin ini adalah petaka sebab kejahatanku pada Rea dan pada dunia. Aku harus menyerahkan diri kepada Polisi, bukan? Berat memang, namun harus kulakukan. 

***

2 Desember 2019.

Pukul 04.00

Sebentar lagi adzan subuh. Namun cerita ini belum kelar-kelar. Apa aku perlu menjadikannya cerita bersambung saja? Hahaha. Aku hanya bercanda! Jadi mari kita selesaikan. Sebentar lagi akan ending.

***

Dengan tarikan nafas panjang, aku berdoa sambil menatap poster yang kubuat itu. "Semoga Dono bisa tenang di alam sana," batinku bergumam. 

"JANGAN SALAHKAN AKU ATAS KEMATIANMU, DONO. SALAHKAN, REA! DIA YANG MUDAH PERCAYA, BUKAN? MAKA, MUNGKIN AKAN LEBIH BAIK KAMU MENGUNJUNGINYA. BUKANKAH KUBURMU BERDEKATAN? BAHAGIALAH BERSAMANYA. MAAFKAN AKU."

Demikianlah isi kertas itu. 

Akhirnya, aku keluar. Berharap semuanya akan baik-baik saja. 

***

2 Desember 2019.

"Mas..."

Istriku sudah memanggil. Sepertinya, adzan subuh sudah terdengar. Lagi pula, ceritanya sudah kelar, bukan?

Demikianlah kisahku di masa lalu. Tidak semenarik yang kamu pikirkan, namun cukup membuatku merinding saat mengingatnya. Yah, biarbagaimanapun, ini adalah Kisah yang membuatku sadar kemudian.

***

END

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun