"Aku takut Don. Pintu diketuk keras.
"Ya elah, palingan dari pak RT. Beliau tadi siang nyuruh aku nunggu, katanya mau memberikan undangan pernikahan anaknya."
Keteganganku melemas kemudian. Aku berucap syukur dalam hati.
Dono beranjak dari baringnya, melangkah ke pintu. Aku juga ikut, tak mau ditinggal sendiri.
"Hiks...hiks...hikss..." isak tangis itu spontan membuat kami terhenti, saling tatapan dengan mata melotot.Â
Tiba-tiba, pintu jendela ikut diketuk keras. Aku langsung memeluk Dono yang juga memelukku. Andai saja aku bukan penyebab Rea jadi arwah penasaran, dan jika saja Dono tidak berada di rumahku saat mayatnya terbangun, kami tidak akan setakut ini!Â
Jendela yang memang tidak sempat terkunci rapat, langsung terhempas.
Benar. Di sana ada Rea yang berdiri.
Aku kemudian melompat ke belakang Dono. Sementara Dono, hanya mematung.
Dengan mata tanpa kedip, Rea perlahan mendekat. Sesekali dia mengeluarkan suara cekikikan. Ah. Apa ingatannya sudah kembali?
Dia berhenti di depan Dono. Mengamatinya dari bawah hingga ke rambut.