'Brak, brak, brak!'
Pintu terketuk-ketuk keras. Dono diam, aku juga. Kami saling tatap, bak sama resah, jangan sampai itu adalah ketukan keluarga Rea. Bisa-bisa kepalaku dipenggal saat ini, jika memang demikian.
Tidak lama, jendela tiba-tiba ikut diketuk keras. Udara terasa begitu dingin, padahal hari sudah siap memasuki siang. Masih sama-sama tidak mau menjawab, akhirnya ketukan itu reda juga.Â
Dono menatapku lalu beralih menatap mayat Rea. Tidak mungkin kalau ketukan tadi memang dari keluarga Rea. Tadi malam, aku benar-benar yakin tidak ada yang menyaksikanku menggali kubur lalu menimbunnya kembali. Apakah dari tetangga sebelah? Ah.
***
Wajah pucat yang kini ditutupi bedak juga merah pipi, bibir tipisnya yang dibaluti lipstik merah muda, alis yang dihitamkan, sederhana namun amat memukau. Dono benar-benar lihai membuatnya makin menggiurkan.Â
"Nin, makan malamku sudah habis. Aku akan pulang," ucap Dono, menenteng tas alat make_up nya.
"Nginap di sini saja."
Kulihat matanya melotot. Ah. Apa dia masih takut pada mayat Rea?
"Tidak mungkin. Aku harus pulang," tegasnya.
"Tidak! Kamu tetap di sini. Kamu ingat tadi siang ada yang mengetuk kan? Kalau itu dari keluarga Rea, aku bisa berbicara padanya, dan kamu bawa mayat Rea."