Bisa kulihat mimik wajah Reno memucat, tengah menelan air liurnya sendiri. Bak mengatakan, "idemu gila, Nino!"
"Sekarang, tidurlah. Kamu boleh di sofa ruang ta..." ucapanku dihentikan oleh suara isak tangis dari samping jendela. Spontan, aku dan Reno saling melempar pandangan. Udara malam berubah semakin dingin.
Was-was, aku melangkah ke jendela. Menggeser gorden, hingga bulan purnama bisa terlihat. Isakan itu berhenti sejenak, namun dilanjutkan kemudian.
'Krekk.' kutarik besi pengunci jendela.Â
Kutengok ke luar, namun tak ada siapa-siapa. Bulu kudukku makin berdiri, setelah isak tangis itu lenyap.
Kututup jendela kembali, kemudian kutatap Reno yang terlihat makin memucat. Tubuhnya sudah terlihat gemetar.
"Tidak ada siapa-siapa," ucapku.
Entah datang dari mana, suara cekikikan mengema di dalam kamar. Aku dibuat mematung seketika. Kutatap Reno, yang sudah pipis di sana.
"Ngihihihi," lagi, suara itu menggema membuat mataku menancap menatap Rea yang tiba-tiba membuka mata. Reno pinsan kemudian. Aku, juga ngompol tak tertahan.
Tanpa kedip, Rea membawa tubuhnya turun dari ranjang. Dia melangkah melewatiku, lalu terbang ke pintu jendela.Â
Sebelum akhirnya dia terbang lagi, kudengar samar dia berucap, "Kembalikan perawanku."