"Tapi Nin, Rea tidak akan kembali ke sini lagi kan?" tanya Dono, setengah berbisik.
Kujawab hanya dengan gelengan. Sejujurnya, itu juga salah satu hal yang kukhawatirkan. Apakah Rea tidak akan datang ke rumah ini? Tapi ke mana semalam dia pergi?
***
3 Juli 2011
Hari demi hari, tidak terasa sudah memakan waktu beberapa tahun. Sekalipun, aku tidak pernah ke rumahku setelah memilih tinggal di rumah Dono. Semua pakaianku kuambil tanpa sisa.Â
Kampung makin hari cuacanya menjadi selalu dingin. Meski terlihat terik, bahkan. Apalagi, ucapan para penduduk selalu saja membuat tidurku tak nyenyak. Yah, entah bagaimana dengan keluarga Rea, pasti mereka sangat terpukul.
Kabarnya, Rea beberapa kali terlihat di jalanan dengan tatapan kosong. Sesekali menangis sesekali tertawa. Dia menjadi buah bibir masyarakat karena mengatakan arwahnya tidak tenang sebab matinya tidak damai. Seringkali aku menjumpai Bu Maya, ibunya Rea, diceramahin sama penduduk. Katanya, "Penyesalan memang selalu ada di belakang Bu'. Harusnya memang dari dulu Rea itu dididik sedemikian rupa agar tidak tersesat sendiri dalam pergaulannya."
Aku yang menyaksikan itu, langsung memanas. Ingin kubantah, tapi nyawaku yang jadi ancamannya. Kasihan aku melihat Bu Maya yang memilih diam kemudian.
Seperti biasa, setelah pulang dari markas narkoba, aku akan memilih berhenti di depan gang hanya sekedar untuk mendengar percakapan ibu-ibu penggosip. Yah, menjadikan mereka sebagai ladang mendapat informasi baru.Â
Aku duduk seperti sedang menunggu jemputan, dengan sesekali melihat jam. Padahal, itu hanya akal-akalan 'ku saja agar tidak ketahuan ingin menguping.
"Tadi malam, aku kembali melihat Rea di samping rumahnya sedang duduk-duduk." ucap salah satu ibu-ibu kompleks.