Sontak aku menangis terharu. Tidak mempedulikan tangis itu bakal terdengar siapa saja. Berkali-kali aku memanggil ibuku. Untuk berterima kasih. Allah menitipkan kasihNya kepada setiap orang tua, terutama Ibu, agar kita mengenal cintaNya.
Aku teringat "kebangkitan" spiritualku awal 1997. Hanyalah doa ibu yang menyelamatkanku dari goncangan kejiwaan saat pertama kali aku mendengar "suara-suara". Saat semua orang tidak berdaya dengan masalahku, ibuku datang. Kukatakan kepada beliau bahwa aku sedang mengalami "sesuatu". Aku hanya minta didoakan keselamatan. Aku sangat menyakini doa Ibu sangat mustajab. Tidak terhalang atau mampu dihalangi oleh syetan atau iblis durjana sekalipun.
Ibuku lalu mengajarkan sepasang doa. Doa pertama dibaca oleh sang anak. Kemudian dibalas oleh orang tua. Doa itu kami senantiasa ajarkan kepada anak-anak kami. Dan Ibuku benar. Setelah didoakan keadaanku membaik. Kemudian "suara" itu menjelaskan banyak hal, termasuk kandungan surat Al Fatihah. Peristiwa itu kami abadikan sebagai nama putri kami Dina Zahra Fatihah.
Dalam keharuan, aku menyampaikan kesaksian kepada Allah bahwa kedua orang tuaku telah menunaikan amanah mereka mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Aku mendoakan kebaikan untuk keduanya. Di sanalah, aku berdoa kepada Allah semoga mudah menghapalkan ayat 23 dan 24 surat Al Israa untuk bacaan sholat:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"
Sobatku, bacalah dan hafalkan ayat itu dengan tartil. Nikmatilah alunan Firman Allah itu. Resapi pesan moral yang dikandung. Ada awal untuk menghadirkan dan menikmati Tuhan melalui kepandaian kita berterima kasih menghargai pengorbanan orang tua.
Sholat Di Atap Masjid dan Jemaah Mesir
Saat sholat Jumat kali kedua, aku terlambat datang sehingga sulit mendapatkan tempat yang menyenangkan. Sholat Jumat sebelumnya, akupun tidak memperoleh tempat datar, terpaksa harus berdiri di tangga. Pengalaman pertama kali sholat Jumat yang tidak memungkinkan sujud. Demikian padatnya keadaan Masjidil Haram saat sholat Jumat.
“Suara” itu terdengar menyarankan, “Mengapa engkau tidak mencoba sholat di bagian atap Masjid?” Usulan tidak menarik. Sholat di lantai dekat pintu Babus Salam saja panas, apalagi di atap. “Nggak ah, mana tahan. Terik sekali!”
"Suara" itu kembali menjawab. Malah menantang. “Tidak! Akan menyenangkan. Ayolah.”
Kuputuskan mengikuti saran’nya’. Akhirnya terpilih tempat yang cukup strategis, tetapi tetap saja terpanggang panas. Lalu kukenakan topi payung dan selendang untuk menahan panas.
Tidak berapa lama datang seorang jamaah, yang akhirnya kukenal berasal dari Mesir. Ia membawa payung. Teduh bayangan payung jatuh tepat ke arahku, melindungiku dari sengatan panas. Ingin sekali aku mengaji. Tetapi suaraku serak. Sebab sedari selesai Subuh hingga Dhuha aku membaca Al Quran di dalam Masjid.