Aku gelisah sejak dini hari dan selama makan sahur. Biaya ONH harus segera dilunasi dalam beberapa hari kemudian. Setelah subuh aku tidak ingin tidur. Istriku memahami kekegelisahanku. Kami harus rela menjual mobil untuk menutupi ongkos haji. Akhirnya kami putuskan untuk pasrah saja. Kami isi waktu dengan jalan-jalan pagi di sekitar kompleks sambil mengarang lagu Islami untuk anak-anak. Aneh, inspirasi mengarang lagu demikian lancar mengalir. Setiba kembali di rumah aku menulis bait-baik itu dengan komputer dan mencetaknya untuk dibagi kepada teman-teman.
Aku terlambat tiba di kantor. Tidak sempat ikut rapat pagi. Melewati ruangan atasan dengan sungkan. Terbersit prasangka negatif saat tangannya melambai memanggilku. Duh, mau diapain aku?
Rupanya ia ingin mengajakku bicara mengenai hal yang paling ditunggu semua orang hari itu. Atasanku belum lama mengisi jabatan di bagianku. Aku dimintai saran sebab menurutnya aku staff paling senior. Dia belum tahu cara menyampaikan kepada bawahannya keputusan manajemen perusahaan mengenai THR dan bonus serta pesan pimpinan tertinggi.
Kepadanya kusarankan untuk memanggil karyawan satu per satu masuk ke dalam ruangannya untuk diberikan penjelasan secara pribadi. Atasanku mengganguk setuju. Karena aku sudah berada di ruangannya, dia memutuskan menjadikanku bawahan pertama yang menerima penjelasan. Kepuasan hakikatnya adalah posisi relatif antara harapan dan kenyataan. Aku tidak berharap banyak. Takut kecewa.
Lega rasanya hati ini saat atasanku menyampaikan keputusan rapat pimpinan untuk tetap memberikan bonus meski kondisi bisnis saat itu kurang menggembirakan. Suka cita itu bertambah setelah mengetahui besar bonus sebanding dengan tahun sebelumnya. Alhamdulillah, terbayang bonus itu melebihi ongkos haji kami. Pak Ustadz itu benar!!!
Ya Allah, telah Engkau cukupkan rezeki untuk biaya perjalanan haji kami. Maka karuniakan pula kepada kami keselamatan dalam perjalanan, kelancaran segala urusan, dan yang terpenting karuniakan kepada kami kekhusyukan selama peribadatan. Lindungi pula harta dan keluarga yang kami tinggalkan.
Salam untukmu wahai Nabi
Perjalanan haji dimulai menyelesaikan ritual sholat Arbain dan berziarah ke tempat-tempat bersejarah di Madinah. Roudoh, wilayah sempit antara makam dan mimbar Nabi, sebagai tempat ijabah berdoa menjadi incaran para jamaah. Aku memutuskan untuk mengunjungi Roudoh di malam hari. Allah mengabulkan doaku. Tepat jam 2:30 aku terbangun, lalu mandi dan memilih pakaian bersih terbaik. Sepanjang jalan menuju masjid Nabawi dan Raudoh aku berdoa dan banyak mengirim sholawat untuk Nabi. Sepagi itu kulihat banyak orang berduyun ingin masuk Roudoh. Aku ikut antri. Informasi yang kuketahui Roudoh ditandai dengan karpet putih.
Ketika merasa karpet yang diinjak berwarna putih, aku bertanya kepada seorang jamaah untuk menghilangkan keraguan. “Excuse me brother, where is Roudoh?”
“This is Roudoh! Shalat here two rakaat.” Jawab laki-laki itu sangat bersahabat sambil memberikan tempatnya kepadaku untuk sholat. Saat selesai sholat dan berdoa, aku mendengar suara riuh askar yang melarang orang sholat di sekitar makam Nabi. Demikian kuat Islam menolak syirik.
Aku ingin mendekat menuju mimbar untuk sholat dan berdoa sekali lagi. Dengan perlahan berjingkat melewati celah sempit jemaah yang sedang sholat atau duduk. Dari arah berlawanan, nampak seorang laki-laki ingin keluar. Ia juga harus melewati barisan jemaah. Tiba-tiba badannya agak oleng, hampir terjatuh. Alhamdulillah, lengannya dapat kutahan supaya tidak jatuh. Aku tidak persis ingat mukanya, namun laki-laki itu mengecupkan tangan kanan di bibirnya. Nampak berdoa. Kemudian ia menempelkannya tangannya di dadaku.
Suatu kenangan yang tidak terlupakan. Sebab ketika mengunjungi lagi Roudah, ada tangan yang menahanku agar tidak terjatuh. Barangsiapa mengerjakan kebajikan dengan penuh keikhlasan, maka Allah tidak pernah menyia-nyiakan amalannya.
“Suara-Suara” Itu Kembali Terdengar