Tiba-tiba aku teringat bahwa tempat sesuci ini tentunya dijaga oleh banyak Malaikat. Lalu kucoba membuka komunikasi, meminta mereka untuk mendoakan kami. “Wahai para Malaikat yang menjaga tempat ini, tidakkah kalian ketahui bahwa selama ini aku selalu mengakui keberadaan kalian dengan berdzikir kepada Allah. Dengan membacakan ayat suci Al Quran yang mengabadikan pernyataan kalian pada saat-saat awal penciptaan Adam.”
Sepulang haji sering kurenungkan mengapa kata "kalian" terpilih digunakan kepada Malaikat yang suci? Rasanya pilihan kata itu arogan. Apakah kata itu terpaksa kupilih sekedar untuk mendudukkan keistimewaan manusia dibanding Malaikat di hadapan Allah?
Setelah membaca super-istigfar aku lalu melafazkan Al Baqarah ayat 32 yang memuat pengakuan para Malaikat. “Subhanaka laa ilmalanaa illa maa allam tanaa innaka antal ‘alimul hakiim.” Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Terdengar kembali suara, “Bersabarlah sebentar di sini.” Tidak ada lagi yang kukerjakan kecuali bersabar. Tidak memaksakan diri. Tenang-tenang saja menunggu giliran. Kami semakin mendekati Hajar Aswad. Terlihat dua orang wanita tipikal Timur Tengah. Salah satu dari keduanya berteriak lantang kepada orang-orang sekitar. Mungkin mereka mengharapkan para laki-laki memberi mereka kesempatan mencium Hajar Aswad.
Rasanya tidak terduga kami sudah berada tepat di depan Hajar Aswad. Kucermati penampilannya. Nampak banyak tonjolan seperti batu bopeng. Tanganku bergerak mengusap. Dingin. Tak terasa istimewa. Aku tidak menciumnya. Mungkin karena tadi tanganku telah kukecup. Kemudian kuminta istriku untuk menciumnya.
Dia kaget dengan kesempatan ini. Dia nampak ragu dan memberikan dulu kesempatannya kepada dua orang wanita tadi dengan bahasa Inggris seadanya. “Sisters, kiss kiss.” Kedua wanita itu mencium Hajar Aswad bergantian. Istriku tetap bengong menatap Hajar Aswad. Suatu kesempatan yang sangat langka mengingat demikian banyaknya orang di situ. Waktu serasa berhenti untuk kami. Hingga aku terpaksa berteriak, “Adek, cepat cium!” Lalu istriku menciumnya. Dua kali. Aku melihat seorang di depan kami berteriak lantang menunjuk ke arah kami. “Barkah. barkah. barkah!”
Oh, anak-anak kami. Pahamilah kesaksikan ini sebagai tanda keberadaan Tuhan kita. Berislam sesungguhnya mendidik jiwa menghayati ketentuan dan pewalian Allah sajalah yang terbaik. Ya Allah, karuniakan kepada kami lebih banyak kesaksian nikmatnya hanya menjadi hambaMu.
Doa Di Depan Multazam
Setelah Hajar Aswad kami mendapat kesempatan berdoa di depan Multazam, pintu Kabah yang terbuat dari emas. Tempat terbaik untuk berdoa. Allah kembali menjaga disiplin kami. Dengan penuh keharuan, aku berseru sambil menunjuk Multazam, “Kami tidak datang ke sini untuk melihat gedung ini. Tetapi kami ingin bertemu dengan Pemiliknya!”
Rasa haru semakin meliputi dada. Air mata hangat menetes mengaliri pipi. Merasakan kenikmatan itu sebagai pertanda penerimaan Pemilik rumah tua itu. Namun masih tersisa keraguan. “Ya Allah, jangan sampai air mata yang mengalir ini dari seorang yang munafik. Karena seorang munafik menitikkan air mata dengan menggersangkan hatinya.”
Sahabat, kenikmatan saat itu tidak terbelikan uang. Air mata tumpah semakin deras. Sementara dada terasa terangkat mengembang. Nikmat. Tenang. Damai. Tak terlintas kuatir atau cemas. Ya Allah, hambaMu datang memenuhi panggilanMu.
Kupanjatkan doa dengan terlebih dahulu memohon ampun atas segala dosa dan kesalahanku selama ini. Termasuk atas kebodohanku meminta sesuatu yang tidak pantas. Tidak pantas dalam ilmuNya. Tidak sesuai dengan yang telah ditetapkanNya untukku.