Berbicara mengenai silsilah tentu ingatan kita melayang pada gambaran pohon keluarga, genealogi yang secara umum terpateri sejak usia kanak-kanak hingga menua. Menurut KBBI online "silsilah/sil*si*lah/ n 1 asal-usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan): menurut -- nya, ia berasal dari keluarga baik-baik; 2 catatan yang menggambarkan hubungan keluarga ternak sampai beberapa generasi" (https://kbbi.web.id/silsilah, 2021) Silsilah dalam pembahasan ini mungkin saja tidak akan berbicara tentang nasab atau keturunan secara detail namun akan jauh melampaui batasan masa. Mengapa? Karena pembahasan silsilah ini didasarkan pada buku puisi Bambang Widiatmoko yang bertajuk "Silsilah yang Gelisah".Â
Bambang Widiatmoko, penyair kelahiran Yogyakarta yang berprofesi sebagai dosen Universitas Mercu Buana sekaligus peneliti tradisi lisan ini telah melahirkan banyak buku puisi. Tema pembahasan kali ini diangkat dari bukunya yang ke sekian. "Silsilah yang Gelisah" diterbitkan tahun 2017 oleh Penerbit Kosa Kata Kita (KKK) Jakarta. Buku setebal 168 halaman ini berbicara mengenai banyak hal. Namun dalam buku ini kentara sekali bahwa aroma Jawa mewakili totalitas Bambang Widiatmoko sebagai penyair. Hal ini terjadi karena latar belakang budaya dan kreativitas yang menyatu dalam diri penyairnya. Sebagaimana dinyatakan bahwa "sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, sebuah karya seni" (Wellek & Warren, 2016) maka itulah yang dilakukan oleh Bambang Widoatmoko dengan dominasi kegelisahan silsilahnya sebagai manusia Jawa.
Dominasi tulisan Bambang Widiatmoko dengan kejawaannya tercermin dalam puisi pertama dan kedua dengan judul sama "Akulah Manusia Jawa"
"Akulah manusia Jawa, generasi penerus Pithecantropus Erectus
Nenek moyangku terkubur di bumiSangiran ribuan tahun lalu
Lalu aku merangkak dan tumbuh tegak bersama pepohonan
Akarnya menembus jauh melintasi daratan" (Widiatmoko, 2017)
Penggalan puisi "Akulah Manusia Jawa,1" tersebut menguatkan identitas Bambang Widiatmoko sebagai manusia Jawa. Dengan menempatkan puisi tersebut di halaman 1 dan 2, seakan Bambang Widiatmoko ingin menguatkan silsilahnya bahwa ia benar-benar manusia Jawa yang dikuatkan dengan bukti arkeologis situs Sangiran dan penyebutan Pithecantropus Erectus secara gamblang. "Temuan pertama manusia purba pada tahun 1891 yang akhimya melegenda di dunia -Pithecanthropus erectus- berasal dari endapan volkanik Kala Plestosen Tengah dijajaran Pegunungan Kendeng di Trinil, Ngawi, yang telah menjadikan polemik panjang pada akhir abad 19." (Widianto, 2006). Sebagaimana dikatakan bahwa "sajak yang baik merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan manusia dengan segala pengalaman dan suka-dukanya" (Teeuw, 1983) maka puisi pertama Bambang Widiatmoko merupakan bangunan bahasa yang mempunyai otoritas dalam pernyataannya sebagai manusia Jawa.Â
Sangiran kembali muncul dalam puisi "Jejak Kubur" di halaman 6. Meskipun dalam puisi ini terdapat terdapat lokasi lain seperti bengawan Solo, pegunungan Kendeng, bahkan Gunung Lawu namun pencarian Bambang Widiatmoko tetap terfokus pada jejak di Sangiran yang telah membatu (Widiatmoko, 2017). Ini menjelaskan bahwa ke mana pun Bambang Widiatmoko pergi, tujuan utamanya tetaplah mencari silsilahnya sebagai manusia Jawa. Hal ini tercermin dari penggalan puisinya sebagai berikut:
"Aku telah merasa lelah mencari jejakmu
Di sepanjang aliran bengawan Solo, di pegunungan Kendeng
Gunung Lawu, bahkan jauh melintas abad
Sekadar mencari jejakmu di Sangiran yang membatu" (Widiatmoko, 2017)
Dalam pengembaraan silsilahnya, Bambang Widiatmoko telah berkelana ke berbagai penjuru bumi di sejumlah Negara yang tercermin dalam puisi-puisinya ketika berada di Jepang, Thailand, dan berbagai daerah di Indonesia. Lagi-lagi Bambang Widiatmoko tetap kukuh dengan kejawaannya. Terbukti dengan adanya puisi "Keris di Atas Pintu" yang menjadi saksi atas pudarnya sebuah peradaban (Jawa). "Walaupun tergolong jenis senjata tikam, keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh, keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik." (Darmojo). Karena itulah Bambang Widiatmoko mengatakan "mungkin karena berdarah biru" sehingga disimbolkan dengan adanya keris di atas pintu. Â Puisi di halaman 50 -- 51 tersebut menyebutkan sederet nama wilayah seperti Purwosari, Wonogiri, Solo yang kental dengan aroma Jawa. Bahkan Bambang Widiatmoko mempertegas ciri kejawaan tersebut dengan panggung wayang Sriwedari dan alun-alun yang identik dengan keraton Jawa sebagaimana dinyatakan dalam penggalan puisinya berikut ini:
"Pada akhirnya makin merasa perlu
Mewarisi tanah nenek moyang berpagar batu
Belajar memahami sekalipun tak pernah menyatu
Mungkin karena darah berwarna biru
Keris yang diletakkan di atas pintu
Belajar memahami meski sedikit tahu dan keliru
Tak akan ragu lagi -- Solo pun merasa jemu" (Widiatmoko, 2017)
Dalam perjalanan rohaninya, Bambang Widiatmoko telah melampaui berbagai pengalaman batin dari wilayah Indonesia bagian barat hingga ke timur. Namun lagi-lagi pengembaraan batin Bambang Widiatmoko kembali pada "Sangkan Paraning Dumadi" sebagai manusia Jawa sebagaimana tertulis di halaman 62.Â
"Sangkan Paraning Dumadi, 1
Jika terdengar gemerincing membangunkan lelap tidur
Angin pun terdiam bersembunyi di atas daun-daun
Lihatlah dalam mata batinmu
Kereta yang ditumpangi Nyai Roro Kidul
Dengan cepat meluncur di atas permukaan kali Code
Menuju gunung Merapi, sebagai pertanda bakti
Menyapa penguasa, mengabarkan akan terjadi bencana
Bersiap-siaplah menyelamatkan diri
Dari terjangan awan panas dan lahar dingin erupsi Merapi" (Widiatmoko, 2017)
Lebih dalam lagi, Bambang Widiatmoko melukiskan kejawaannya dengan sosok Nyai Roro Kidul yang melesat melewati kali Code dan gunung Merapi sehingga pada akhirnya Bambang Widiatmoko memutuskan untuk membangun rumah di kaki gunung Merapi sebagai pangejawantahan sangkan paraning dumadi (Widiatmoko, 2017). Sangkan paraning dumadi merupakan falsafah Jawa yang membahas asal manusia dari titik awal hingga kembali ke tempat akhirnya. "Ilmu sangkan paraning dumadi mengajarkan tentang hakikat kehidupan yang berasal dari Tuhan dan tuntunan bagaimana cara kembali kepada Tuhan." (Kholis & Ajhuri, 2019) sedemikian sehingga manusia dapat memahami hakikat kehidupannya dari lahir sampai meninggal.
Pola yang sama kembali terulang saat pengembaraan spiritual Bambang Widiatmoko telah mencapai wilayah-wilayah barat dan utara Nusantara hingga ke tanah suci. Bahkan perjalanan spiritual Bambang Widiatmoko telah mencapai puncaknya di Arafah. Namun Bambang Widiatmoko tetap berteguh hati bahwa "Makam Imogiri" adalah tempat kembali. Hal ini dinyatakan dalam puisinya di halaman 95 betapa sulitnya menghitung usia sendiri yang diibaratkan sebagai menghitung anak tangga menuju ke makam Imogiri.
"Makam Imogiri
Menghitung tangga makam Imogiri
Mengapa sulit menghitung usia sendiri
Jika lelah telah mengubah sudut pandang
Deretan tangga pun seperti jalanan pedang" (Widiatmoko, 2017)
Ketika Bambang Widiatmoko jauh berkelana hingga Palangkaraya, Kyoto, naik Pinisi ke pulau Menjangan hingga ke Morella, namun tetap saja "Sangkan Paraning Dumadi 2" di halaman 103 menjadi tempat kembali.Â
"Setiap kali mengingat aliran sungai
Yang bersumber dari kaki Merapi
Inilah sungai yang penuh misteri
Menyimpan mitos dengan rapi
Manunggaling kawula Gusti" (Widiatmoko, 2017)
Pun ketika sudah berkelana di Puri Agung Klungkung, Ujungkulon, Kualalumpur, Cimanuk, dan berburu sejarah di makam Tuanku Imam Bonjol hingga pantai Balong, tetap saja Bambang Widiatmoko terikat pada sendang Semanggi dengan kembang tujuh rupanya dan "Tembi" dengan pelataran yang menyongsongnya kembali sebagaimana tertuang di halaman 114.Â
"Pelataran menyongsongku datang kembali
Dengan menjatuhkan daun di gigir sepi
Lantas kata apakah yang kueja pertama kali
Selamat datang sepi -- menusuk sanubari" (Widiatmoko, 2017)
Aktivitas membaca yang ditekuni Bambang Widiatmoko ke berbagai sumber dan literatur suci dalam ayat-ayat Al Quran, memahami kenikmatan kopi di bibir Manado, persinggahannya ke Meratus hingga penjelajahannya ke alam bebas dalam berdialog dengan Tuhan pun terjawab dalam "Serat Jiwa". Lagi-lagi, dalam puisi di halaman 125 ini Bambang Widiatmoko kembali menyinggung Imogiri sebagai tempat kembali.Â
"Di halaman samping tangga makam Imogiri
Ibu-ibu membatik dengan tekunnya
Ditiup perlahan canting yang berisi cairan malam
Lalu digoreskan di selembar kain mori
Dengan segenap goresan jiwanya
Selembar kain batik akan mencerminkan pemakainya
Karena tak hanya sekadar menggambarkan motif
Tapi tradisi membatik yang telah berabadabad
Tak akan terhenti sampai ujung usia" (Widiatmoko, 2017)
Dan identitas manusia Jawa dalam dirinya diperkuat dengan kecintaannya pada batik dan malam yang menggoreskan motif truntum sebagai serat jiwa untuk menemukan kesejatian. "Kata Batik berasal dari Bahasa Jawa yaitu "amba" yang artinya tulis dan "nitik" yang berarti titik." (Trixie, 2020). Pada praktiknya aktifitas membatik merupakan kegiatan menulis dan menitik di atas kain mori, yakni kain putih polos yang digunakan sebagai bahan dasar kain jarik atau kain batik.
"Aku memesan selembar kain bermotif Truntum
Untuk menikahkan anakku nanti
Simbol cinta kasih yang tulus dari orang tua
Semoga turun temurun selalu tetap terjaga
Meski pada saatnya aku tiada
Selembar kain batik bermotif Truntum
Adalah serupa goresan serat jiwa
Dekapan kasih sayang orangtua terhadap anaknya
Yang telah dicelup kehangatan air mata" (Widiatmoko, 2017)
Motif Truntum dipesan untuk menikahkan anaknya karena "Menurut pandangan masyarakat umum, batik Truntum memiliki makna -menuntun-, yaitu menuntun kedua mempelai dalam memasuki liku-liku kehidupan baru, yaitu berumah tangga." (Hastangka, 2013)
Kesetiaannya pada batik dibuktikan dengan puisi-puisi berikutnya di halaman 126 dengan motif "Sekar Jagad" yang merogoh sukma. "Sekar Jagad merupakan motif perpaduan dari beberapa motif batik, menggambarkan muatan lingkungan hidup, ekologi, flora fauna, kosmos dan air dalam kehidupan yang menampakkan keanekaragaman dan kebersamaan dalam kehidupan yang menyatu." (Surya). Bagi Bambang Widiatmoko, selembar kain bati Sekar Jagad selalu membawa kesadaran pada nilai-nilai hidup nenek moyang secara universal. Nilai-nilai kehidupan yang penuh makna dan pesan mendalam untuk hidup berdampingan dengan berbagai elemen yang membentuk dunia ini.
"Sebagai pewaris tradisi keluarga
Aku menyimpan selembar kain batik Sekar Jagat
Kain batik yang selalu mengingatkan
Pada nenek moyang yang bersimpuh di amben kayu jati
Melipat-lipat kain batik yang tercium bau wangi
Selembar kain batik Sekar Jagat
Selalu mengingatkan antara ada dan tiada
Kecantikan dan keindahan melingkup semesta
Dan harum bunga menyertainya
Serupa serat jiwa -- merogoh sukma" (Widiatmoko, 2017)
Dalam pemahaman Bambang Widiatmoko, batik Sekar Jagad merupakan serat jiwa yang mampu merogoh sukma. Asal kata merogoh sukma menurut Wikipedia adalah meraga sukma. Bagi Bambang Widiatmoko, Sekar Jagad merupakan simbol sacral yang mengantarkannya dalam penyatuan diri dengan alam semesta yang hanya dapat dicapai dengan keluar dari raga. Dengan demikian, kesatuan kosmos hanya dapat dialami dengan ruh dan bukan pengalaman fisik semata.
"Ragasukma (aksara Jawa: ; alternatif: ngraga sukma, meraga sukma; ejaan tidak baku: rogosukmo, ngrogosukmo) adalah sebutan untuk sejenis proyeksi astral yang dikenal dalam masyarakat Indonesia. Orang yang melakukan ragasukma dipercaya dapat mengeluarkan jiwa dari badannya tanpa menyebabkan kematian. Ragasukma dilakukan dengan tujuan perjalanan spiritual dan lain-lain." (https://id.wikipedia.org/wiki/Ragasukma, 2021)
Filosofi batik tetap berlanjut ke halaman 127 dengan "Sidoluhur" yang ditutupkan pada jenazah sebelum dikubur. Makna dari motif ini yaitu berupa harapan agar orang yang memakainya dapat mencapai kedudukan yang lebih tinggi sehingga dapat menjadi panutan di dalam masyarakat (Wijaya) bahkan hingga saat meninggal. Oleh karena itulah jenazah yang belum dimakamkan akan dilurubi atau ditutup dengan kain batik Sidoluhur hingga saatnya dikubur.
"Serupa denyut nadi aku memahami dan memaknai
Keluhuran hidup adalah tujuan akhir dari kehidupan
Seperti yang tergambar dari motif batik Sidoluhur
Sebelum pada akhirnya kita dikubur" (Widiatmoko, 2017)
Sejauh apapun Bambang Widiatmoko mengembarakan diri, dari Sindoro hingga ke berbagai situs di dalam dan luar negeri, tetap saja karakter manusia Jawa tak lepas dari asal-usulnya. Terbukti dengan kembalinya penyair untuk berziarah sebagaimana karakteristik manusia Jawa yang tak pernah lupa asal-usulnya. Terutama menjelang bulan suci sebagaimana ditulis dalam puisi "Ziarah Menjelang Ramadan" pada halaman 163:
"Telah lama alpa ziarah kuburku
Di makam para wali
Juga makam leluhur sendiri
Dan di awal ramadan ini
Sejenak kusinggah di makam
Dalam ziarah yang terasa sunyi
Adakah doa serupa catatan Panjang
Dalam kehidupan seseorang
Sejak kelahiran hingga kematian
Lantas dalam deretan batu nisan
Selalu mengingatkan -- takdir seseorang
Di makam ini para peziarah datang
Untuk menyuncikan [menyucikan] jiwa yang tampak gersang
Lalu lahir batin siap menyambut ramadhan [ramadan]
Betapa ikatan naluri tak bias dilepaskan
Dalam kematian yang menunggu di pintu gerbang" (Widiatmoko, 2017)
Namun pada akhirnya Bambang Widiatmoko kembali mempertanyakan keinginan untuk mengenang perjalanan. Hal ini tercermin dalam puisinya "Ziarah Yang Tenggelam" pada halaman 166. Inilah kegelisahan silsilah manusia Jawa dalam pandangan Bambang Widiatmoko:
"Adakah keinginan untuk mengenang perjalanan
jika air telah menggenang di seluruh permukaan
aku telah kehilangan jalan dan kenangan
dalam ziarah tapi bukan melakukan pertapaan
dan kini yang kudapat hanyalah puncak kesunyian" (Widiatmoko, 2017)
Puisi terakhir ini sebenarnya menceritakan musibah runtuhnya waduk Jatigede yang menenggelamkan desa di bawahnya. Namun puisi penutup ini tidak mengurangi esensi kejawaan Bambang Widiatmoko karena secara fisik lokasi waduk Jatigede terletak di Pulau Jawa. Secara keseluruhan, buku puisi Bambang Widiatmoko yang berjudul "Silsilah yang Gelisah" merupakan dokumentasi pengembaraan pribadi penyairnya. Dalam kunjungannya ke berbagai wilayah di dalam dan luar negeri, Bambang Widiatmoko selalu mengabadikan kunjungan tersebut dalam format puisi. Maka tak heran apabila puisi-puisi Bambang Widiatmoko dalam buku ini tampak dan terasa nyata karena penulisnya sendiri hadir secara wadhag dalam suasana yang disyairkan dalam puisi-puisinya.Â
Pada dasarnya kegelisahan silsilah yang dirasakan Bambang Widiatmoko sebagai manusia Jawa merupakan kegelisahan seluruh umat manusia secara universal. Oleh karena itu, sebagaimana Bambang Widiatmoko yang selalu kembali kepada akar budaya nenek moyangnya, maka sudah selayaknya manusia pun kembali pada akar keberadaannya di dunia ini. Sejauh apapun kecanggihan teknologi yang mampu dilampaui oleh manusia, maka kembali lagi pada fitrahnya sebagai insan biasa yang tak dapat menandingi Sang Khalik.Â
Pembelajaran-pembelajaran arkeologis manusia purba dan evolusinya, penelusuran artefak-artefak peninggalan masa lalu, pelestarian karya seni khususnya batik dengan kedalaman filosofi dalam setiap proses pembuatan dan motif-motifnya merupakan pesan istimewa bagi setiap manusia. Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Bambang Widiatmoko, setiap manusia akan kembali ke akarnya dan menziarahi kuburnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, K. W. (n.d.). Eksistensi Keris Jawa dalam Kajian Budaya. texture, art & culture journal, 49-60.
Hastangka. (2013). Ontologi Batik: Melacak Dimensi Metafisis Batik Klasik Jawa. Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 3, 199-214.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ragasukma. (2021, Desember 26). Retrieved from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki
https://kbbi.web.id/silsilah. (2021, Desember 26). Retrieved from KBBI online: https://kbbi.web.id/silsilah
Kholis, N., & Ajhuri, K. F. (2019, Juni). Sangkan Paraning Dumadi (Eksplorasi Sufistik Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam Jawa Prespektik Kunci Swarga Miftahul Djanati). Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial, 17(1), 1-20.
Surya, M. C. (n.d.). Sekar Jagad in Victorian Style. Bandung: UPI.
Teeuw, A. (1983). Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Trixie, A. A. (2020). Filosofi Motif Batik Sebagai Identitas Bangsa Indonesia. Folio Volume 1 Nomor 1, 1-9.
Wellek, R., & Warren, A. (2016). Teori Kesusastraan. (M. Budianta, Trans.) Jakarta: Gramedia.
Widianto, H. (2006). Dari Pithecantropus Ke Homo Erectus: Situs, Stratigrafi, dan Pertanggalan Temuan Fosil Manusia di Indonesia. Berkala Arkeologi Tahun XXVI Edisi No. 2, 114-129.
Widiatmoko, B. (2017). Silsilah yang Gelisah. Jakarta: Kosa Kata Kita.
Wijaya, I. B. (n.d.). Reaktualisasi Motif Batik Pada Elemen Desain Interior Berbasis Teknologi. Lintas Ruang Jurnal Pengetahuan & Perancangan Interior , 25-36.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H