Urf Secara bahasa urf berasal dari kata arafa, yarifu ( ( dan kemudian sering diartikan dengan al maruf ( ( yang diartikan dengan "sesuatu yang dikenal". Di kalangan masyarakat, urf ini sering disebut sebagai adat. Kata adat dapat diartikan demikian karena dilakukan oleh masyarakat secara berulang ulang, sehingga dapat menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Adat atau urf tersebut dapat berupa perkataan ataupun perbuatan.Â
Misalnya, urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan kabul. Contohnya urf yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata allahm (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadi bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalahmasalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur'an dan SunnahÂ
Meskipun dapat dikatakan serupa, akan tetapi urf dan adat juga memiliki perbedaan. Kata adat dalam bahasa arab ( ( memiliki akar kata ada, yaudu ( -- .( ) pengulangan arti mengandung yang ) Karena itu adat di dasarkan pada pengulangan suatu perbuatan, meskipun tidak ada ukuran seberapa banyak pengulangan dilakukan. Sementara urf tidak mengacu pada pengulangan suatu perbuatan tetapi perbuatan yang telah dikenal dan diakui masyarakat dan tidak bertentangan dengan al Quran atau Sunnah dan akal sehat. Â
TINJAUAN 'URF PADA TRADISI PERKAWINAN TEMU MANTENÂ
A. Pelaksanaan Tradisi Temu Manten
 Tradisi Temu Manten diadakan setelah akad nikah, biasanya dilaksanakan setelah prosesi panggih bila dalam pernikahan menggunakan adat Jawa lengkap, atau diadakan pada sore harinya bila dalam pernikahan hanya diadakan akad nikah saja. Dalam pelaksanaanya pengantin akan ditandu oleh warga dari rumah menuju ke sendang. Bila dalam keraton Pengantin akan ditandu menggunakan tandu Joli Jempana, akantetapi di dusun Sendang tidak ada, jadi pengantin akan ditandu menggunakan tangan dua orang yang disusun secara menyilang.
Kemudian apabila dalam acara pernikahan menggunakan keramaian atau hiburan seperti karawitan atau campursari maka salah satu alat musik Jawa akan ikut dibawa dan dibunyikan di sendang. Hal tersebut dimaksudkan agar tetap memelihara budaya alat musik yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam
Setelah sampai di sendang pengantin akan duduk ditikar yang telah disiapkan oleh warga. Setelah itu para pengantin akan diberi doa dan nasihat oleh seorang Juru Kethur yang memimpin prosesi temu manten. Juru Kethur Mbah Tenem mengatakan doa yang dibacakan biasanyan adalah berharap keberkahan dan keselamatan dalam perkawinan serta dibacakan al Fatihah. Sementara nasihatnya tentang bekal dalam kehidupan berrumah tangga dan juga agar selalu senantiasa bersyukur kepada Tuhan, dan agar masyarakat tetap menjaga sendang tersebut.
Setelah selesai diberi doa dan nasihat pengantin akan saling bertukar kembang mayang. Setelah itu Juru Kethur akan menuangkan air dari sebuah kendi kemudian akan berjalan memutari tempat berdoa tadi. Kemudian pengantin akan mengikuti berjalan memutari tempat berdoa mengikuti alur air yang ditunagkan oleh Juru Kethur. Setelah semua prosesi telah dilalui pengantin akan ditandu lagi kerumah untuk melanjutkan acara pernikahan. Pada saat sampai di rumah tugas Juru Kethur juga telah berakhir dan pengantin akan diserahkan kepada pihak keluarga.Â
B. Presepsi Masyarakat Pada Tradisi Temu Manten
 Masyarakat dusun Sendang menganggap tradisi temu manten merupakan sebuah tradisi yang unik dan sakral. Dianggap unik karena dalam tradisi ini pengantin tidak hanya ditemukan dalam acara resepsi saja seperti kebanyakan prosesi temu manten dalam adat jawa, akan tetapi pengantin dipertemukan pula di sendang. Sementara maksud dari sakralnya tradisi ini kareana tradisi sebagai bentuk nasihat yang baik dan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Oleh sebab itu masyarakat menganggap bahwa tradisi temu manten ini tidak boleh ditinggalkan.