"kamu mau kemana?"tanyaku, mengehntikan langkahnya sambil memegang tangannyaÂ
"kehabitatku, mau ikut?"
tak ada yang memperhatikan, di tempat itu semua orang sibuk dengan permasalahannya sendiri, masing masing  mahasiswa berkumpul membuat circelnya sendiri, angin kembali menyapu hijabnya membuat rambutnya hampir di telanjangi seluruhnyaÂ
aku mencoba merapihkan hijabnya, baru setengah sentuhan dari tanganku dia kembali memotong
"tidak usah, tidak ada sesuatu yang perlu di perbaiki, atau karena kamu malu bersama dengan orang yang berpakaian sepertiku hijab seenaknya seakan akan hanya formalitas?"
dia tidak kesal, aku tahu itu adalah caranya menggugurkan kata kesal yang sering di anggap buruk oleh manusia , karena seluruhh keragaman emosi di ciptakan tuhan, lantas kenapa hadirnya manusia di bumi ini menjadi penghakim atas ciptaan tuhan yang dirinya adalah ciptaan tuhan juga. kita pernah berbincang perihal itu, namun yang belum aku menngerti adalah kalimatnya yang terakhirÂ
kenapa takut harus terlalu dalam?
bukankah kedalaman adalah bukti keseriusan?
apa yang menyusun pikirannya sehingga ia banyak mempertimbangkan?
bukankah yang harus di usahakan adalah cara kita menyusun ruang ruang pertemuan dan ruang ruang kehangatan?
semua pikiranku membantahnya, entahlaah apa masa lalunya yang begitu berat sehingga tak mampu di satukan dengan kenyataan ku hari iniÂ