"yang mana?"
"perihal iblis itu"
"tidak berani memberikan pendapat"
"kenapa?"
"itu ranah iman"
"apakah segala macam ketidaktahuan harus berlindung di kata itu?"
"ayolah kita tidak sedang membicarakan hal itu, aku tadi mennyakanmu hal sederhana itu pun kamu belum jawab"
dia terus mendesakku dengan pertanyaan pertanyaan itu
"bagaimana dengan aku yang pada suatu nanti jauh dari kenyataan harapan kamu, seperti iman yang tak mampu di rasionalkan, bagiamana jika aku menjadi orang yang seperti itu, apakah harapan kamu bisa berdamai dengan kenyataan diriku yang tidak kamu harapkan karena bedanya persfektif?"Â
"aku tidak mengerti maksudmu"
"sebaiknya kita hentikan pertemuan ini, aku takut semuanya lebih dalam dan pada saat itu kita tidak menemukan pintu keluar"