Mohon tunggu...
Azmul Warid
Azmul Warid Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya warid, saya suka menulis membaca dan berdiskusi, sejak kecil saya suka dengan hal hal yang bernuansa dengan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warna Perjalanan

14 September 2024   16:06 Diperbarui: 14 September 2024   16:07 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

  aku menatap bandung di usianya yang sudah tua, kota itu sudah di penuhi sesak dan jeritan tangis keterasingan hidup, melalui perjalanan takdir ku menemu di sana, jalannya bercerita dan stasiun adalah bahasa yang mendalam.

  keterasingan kota dan tuntutan hidup jutaan manusia memenuhi sesak, di pagi hari jalanan di penuhi mobil dan motor, siang sore pun menjadi hal yang sama, wajah kota yang selalu berbeda dari desa.

  entahlah seribu kata ingin mewakili, aku menatap diriku semakin jauh, realita dan keinginan bertengkar penuh arti, barangkali jalan waktu selalu berproses yang sama, pada letih keasaan dan jiwa rindu kedamaian.

  Di sudut kota aku menatap ribuan kisah dengan warna warni emosi, sedih bahagia kecewa marah damai bersatu membentuk pelangi, jutaan anak kecil, jutaan dewasa, jutaan orang tua mengambil peran masing masing.

   huhh,, sebuah pemandangan yang ramai oleh sepi aku berdiri di sisi jalan sebuah halte yang terlihat rapuh, tubuhnya di kikis waktu, kecoklatan karatan dan garis kedewasaan membekas, menahan panas dan dingin menjadi peneduh meski dalam kesepiannya bertanya semuanya untuk apa?

   pertanyaan itu nampaknya bukan untuk dia semata, namun bagi mereka yang berteduh juga, bagi mereka yang yang tubuhnya di sini namun pikiran dan jiwanya entah kemana, bagi mereka yang selalu hidup di masa depan dan harapan.

   Di halte itu juga sudut pandangku tentang bandung mulai berubah, pergulatan antara hal yang tidak pernah menjadi harapan dan hal yang tidak pernah di rencanakan. ah, aku ingat bagaimana logika sulit mendeskripsikan senyum dan sesal dalam muara yang setubuh.

 dari kejauhan terlihat warna hijau perlahan mendekat, sebuah angkutan umum dengan kernetnya yang khas

  aku duduk di samping seorang ibu, di depanku seorang gadis yang kalau di taksir terlihat seperti mahasiswa, matanya gelap kelam dan alisnya selurus harapan manusia yang kadang nihil pada kenyataan, entahlah ia menikmati suasana kota di angkutan ini atau tidak, pada akhirnya yang terlihat jelas ialah caranya membunuh kenyataan, dengan mendengarkan audio dari handphone nya, pandangannya lurus kedepan berusaha menembus dinding yang di depan ialah aku, aku tahu ia tidak sedang menatpku, sorot itu terlihat melumat dimensi masa depan atau berkecimpung mengenang masa lalu, seorang nenek akhirnya menegurnya, ada posisi duduk yang di isyaratkan oleh nenek itu karena merasa tak nyaman,

 wanita itu tersenyum plastik sambil membenarkan posisi duduk, aku tau itu senyum plastik.!!

dan andai dia bisa baca pikiranku barangkali dia akan membantah" apakah di dunia ini ada seuatu yang tidak plastik,

melihatku yang sedang menatapku ia menglihkan pandangan, aku juga merasa lancang menatap wanita itu tanpa izin, kendati memang tidak ada aturan yang tertulis pada akhirnya itu menjadi etika sosial, 

bandung hujan waktu itu, bersamaan dengan gerimisnya aku turun di tempat yang sama dengannya, entah itu sinyal alam atau bukan, yang jelas ada senyum tuhan yang membasahi cakrawala,wanita itu merogoh dompetnya bolak balik dengan wajah datar, seakan muak memanjakan emosi yang yang selalu kian menjajah manusia,

"kamu ada uang kecil" tanyanya saat aku selesai membayar ke sopir angkotnya

kamu mungkin akan menganggapku berlebihan menceritakan suaranya, ada suara khas yang terdengar, suara yang akan tertelan lumpur kepahitan,  yang di gelombangi untaian indah, suara yang terus menuntut ku menyelami malam malam tanpa lelah suara yang mengajarkan ku dunia baru yang terbantahan logika.

"ada" jawabku. langit masih gerimis, tak ada kilatan petir, hanya angin yang berhembus mesra menyapu kota dan bangunan, menyapu juga hijab yang di pakainya seenaknya

"nih" aku menyodorkan beberapa lembaran uang kertas rupiah"

"besok aku ganti, sama aku mau minta nomer kamu biar gampang di hubungi"

"ngga usah, ambil aja" kataku

"baiklah nomer kamu aja" 

"buat?"

"bilang terima kasih" 

"kenapa ga sekarang?"

"biar aku punya alasan menghubungimu"

"mengapa kamu harus jujur?, tunggu dulu, ini bukan karena kamu tidak benar benar mengerti apa yang kamu lakukan kan?,                   bukankah beberapa hal harus menjadi privasi dari sebuah sikap?" tanyaku, heran!

"memang sengaja, bukankah itu adalah topeng yang selalu dikenakan manusia untuk menjaga image nya?"

"lantas?"

"aku ngga mau kamu mengenalku dalam kebohongan, aku ingin kamu mengenal diriku, bukan mengenakan topeng yang ku kenakan    agar terlihat seperti orang lain"

     wanita itu menatapku sebentar setelah mendapatkan nomer handphone, di persekian detik ia langsung pergi meninggalkanku menuju gang kecil, meninggalkanku sendirian atas penjelasan yang belum selesai dan mungin tak harus supaya esok memiliki alasan untuk mempertemukan.

   pertemuan itu menjadi awal mulainya babak kisah itu, dimana perjalanan usia tak hanya bercerita tentang tua dan muda, namun lebih dari itu bagaimana kita memaknai segala macam rotasi waktu dengan ragamnya emosi, atau mungkin menganggap emosi adalah siklus waktu yang akan pudar dalam kenangan dan di abadikan ingatan, entahlah semuanya belum jelas  dan memang semua tak harus jelas agar hidup lebih menarik dan esok selalu menjadi kejutan kejutan yang tak terduga, bukankah manusia suka surprise dalam hidupnya?

  semenjak pertemuan itu juga aku banyak mengenalnya, kita menjadi sering bertemu baik itu di rencanakan maupun tidak, dunia kampus tidak hanya menyuguhkan fasilitas untuk mendapatkan pengetahuam, lebih dari itu mengajarkan pengetahuan tentang ketidaktahuan kita, kenapa di senyum wajahnya terihat seakan guguran bunga yang di paksakan tumbang?senyum palsu atau apapunlah namanya, sebuah peristiwa kehidupan yang tak disetiakan oleh waktu.

 pagi ini aku akan bertemu dengannya, dia menjanjikan di bawah pohon rindang, sebuah tempat yang begitu akrab di telinga mahasiswa, orang orang menyebutnya (DPR), tepat di jam sepuluh pagi dia datang dari pojok menyapaku yang sedang menikmati sebatang rokok,

"sudah lama ya?maaf"suaranya

dia mengambil duduk di sampingku, suasana DPR setengah ramai, di ujung gerbang pak prof sedang sibuk melayani pelanggan, lalu tawa dari mereka terdengar hantarakan angin dan gelombang, pak prof melambaikan tangan ke arahku, aku melambaikan tersenyum tipis

"kamu mau cuangki?" aku membuka pertemuan itu dengan menawarkan suatu kuliner yang khas di dunia kampus

dia menggeleng

"kenapa?seleramu hilang karena dosen killer yang selalu kau gosibkan dengan ku hampir di setiap kali bertemu?"tanyaku, aku mencoba mencarikan suasana, memancingnya tersenyum

  dia menatap lurus kedepan seperti pertama kali kita bertemu di angkutan umum, angin nakal menyapu hijabnya sembarangan

"lantas kenapa?"aku kembali bertanya

"kamu pernah dengar cerita tentang iblis yang di takdirkan menjadi jahat oleh tuhan namun di beri konsekuensi neraka?"

aku mengangguk

"bagaimana jika iblis yang di takdirkan itu adalah aku?"

"kamu di takdirkan menjadi malaikat dalam hidupku"

"menurutmu gimana?"

"yang mana?"

"perihal iblis itu"

"tidak berani memberikan pendapat"

"kenapa?"

"itu ranah iman"

"apakah segala macam ketidaktahuan harus berlindung di kata itu?"

"ayolah kita tidak sedang membicarakan hal itu, aku tadi mennyakanmu hal sederhana itu pun kamu belum jawab"

dia terus mendesakku dengan pertanyaan pertanyaan itu

"bagaimana dengan aku yang pada suatu nanti jauh dari kenyataan harapan kamu, seperti iman yang tak mampu di rasionalkan, bagiamana jika aku menjadi orang yang seperti itu, apakah harapan kamu bisa berdamai dengan kenyataan diriku yang tidak kamu harapkan karena bedanya persfektif?" 

"aku tidak mengerti maksudmu"

"sebaiknya kita hentikan pertemuan ini, aku takut semuanya lebih dalam dan pada saat itu kita tidak menemukan pintu keluar"

"kamu mau kemana?"tanyaku, mengehntikan langkahnya sambil memegang tangannya 

"kehabitatku, mau ikut?"

tak ada yang memperhatikan, di tempat itu semua orang sibuk dengan permasalahannya sendiri, masing masing  mahasiswa berkumpul membuat circelnya sendiri, angin kembali menyapu hijabnya membuat rambutnya hampir di telanjangi seluruhnya 

aku mencoba merapihkan hijabnya, baru setengah sentuhan dari tanganku dia kembali memotong

"tidak usah, tidak ada sesuatu yang perlu di perbaiki, atau karena kamu malu bersama dengan orang yang berpakaian sepertiku hijab seenaknya seakan akan hanya formalitas?"

dia tidak kesal, aku tahu itu adalah caranya menggugurkan kata kesal yang sering di anggap buruk oleh manusia , karena seluruhh keragaman emosi di ciptakan tuhan, lantas kenapa hadirnya manusia di bumi ini menjadi penghakim atas ciptaan tuhan yang dirinya adalah ciptaan tuhan juga. kita pernah berbincang perihal itu, namun yang belum aku menngerti adalah kalimatnya yang terakhir 

kenapa takut harus terlalu dalam?

bukankah kedalaman adalah bukti keseriusan?

apa yang menyusun pikirannya sehingga ia banyak mempertimbangkan?

bukankah yang harus di usahakan adalah cara kita menyusun ruang ruang pertemuan dan ruang ruang kehangatan?

semua pikiranku membantahnya, entahlaah apa masa lalunya yang begitu berat sehingga tak mampu di satukan dengan kenyataan ku hari ini 

"aku anter kamu "tiba tiba itu kalimat yang mampu keluar dari multku, seakan akan mengamini kepergiannya

"tidak usah, aku bisa pake ojek"

setelah itu aku tak  bisa mencegahnya, ku biarkan ia menyusuri jalan kampus, di pertigaan perpustakaan wajahnya tertelan.

semenjak itu juga aku tak pernah mendengar kabar tentangnya, bukan karena tak pernah mengabarinya atau mencari tahu tentang keberadaan dan jejak wanita itu, lebih tepatnya aku sudah kehilangan cara, teman teman nya yang aku tanyakan menjawab nihil, tak ada jawaban yang jelas, wanita itu sudah hampir 2 minggu absen kelas, tak pernah mengikuti matkul, entahlah segala macam pertanyaan ku panjatkan ke langit dan tuhan pun menjawab melalui peristiwa yang sakit.

malam itu purnama di taburi bintang, ribuan cahaya menstubuhi bandung, dalam getir kehampaan aku duduk merenung di salah satu dataran tinggi yang berada di sana, di antara putus harapku aku memutuskan untuk menenangkan pikiran, mempercayai pada alam semoga ia dapat menyembukan

di sana suasana begitu syahdu, petikan gitar dan lirik lagu yang yang di bawakan seorang penyanyi menyelip dalam relung malam menghangatkan pembuluh darahku, pelarian atas kenyataan ini cukup mengobati kendati dalam malam malamku yang kelam cuma aku dan kesendirian ku rindu kembali datang mengambil jatahnya

nada dering terdengar dari handphone ku, malas malasan aku menyentuh panggilan jawab tanpa melihat dari siapa

"hey" suara itu terdengar

butuh keseimbangan mendengar suara itu, suara yang mendamparkan ku kesini, suara yang membuatku rela menghabiskan sisa malam sekedar hanya untuk mengenang dirinya, mengenang wajahnya yang di terpa cahaya, mengenang pertemuan itu dan kemisteriusannya, mengenang tikungan senyumnya yang mampu meluruskan jalan hidupku,

aku membetulkan suara, berusaha terdengar baik baik saja 

"kemana aja? " tanyaku langsung tak mau basa basi, aku yakin dia sudah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan ku ini

"aku disini nggak pernah kemana mana"jawabnya dari seberang terdengar santai 

"kenapa hilang?" aku bertanya suapaya dia sadar

"sebaiknya kita bicara sekarang kamu dimana?"
 aku menahan emosi, suaranya tanpa merasa bersalah dan baik baik saja setelah ketidak jelasan ini

"aku selalu di sini menunggumu, menanyakan kabarmu, mencarimu, tak ada jawaban atas kepergianmuyang terasa di telan bumi" setengah emosi ku tak mampu tertahan

"aku butuh waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya"

aku tertawa getir, dia mungkin mendengarku, tak peduli,

"menjelaskan semua ketidak jelasan ini maksudmu? menjelaskan bahwa aku memang tak pernah penting? meski aku bukan siapa siapa paling tidak beri kabar, kamu kira indah di perangkap rindu, sementara pertemuan belum menemukan kepastian" ucapku tak mampu mengendalikan emosiku

"kamu sudah bisa rindu sekarang, sudahlah setelah pertemuan ini aku yakin kamu akan menyesal pernah merindukanku" ucapnya seenaknya

"kamu dimana?" dia kembali bertanya

"cartil" jawabku malas

"baiklah aku sharelok" ucapnya telpon pun di tutup

  malam serasa di bakar siang waktu itu, dengan kecepatan tinggi aku mengendarai motor, menyusuri turunan turunan, langit masih purnama, bintang berkerlip layaknya biasa, hanya beberapa awan awan tipis yang berlalu lalang menutupi sepertiga cahaya bintang, menutupi juga rinduku yang di bakar emos, entahlah penjelasan apa yang akan dia sampaikan, yang jelas aku ingin mencaci sekaligus memeluknya, mencaci atas ketegaannya yang membiarkan ku terombang ambing dalam lautan rindu, memeluknya karena dalam sentuhan itu aku selalu merasa tenang dan baik baik saja

  butuh waktu lima menit hingga akhirnya aku sampai di dataran kota, jalanan penuh, hiruk pikuk pengendara mensesaki jalan, aku mencaci dalam hati, entahlah siapa yang ingin ku salahkan  pada akhirnya aku hanya ingin dunia berbaik hati malam ini, dengan memberikan kerenggangan pada jalan agar aku cepat sampai tujuan 

  setelah menyalip beberapa motor entahlah aku tak ingin menghitungnya, pada akhirnya aku sampai di lokasi yang ia kirim, sebuah lokasi bar yang di permak seperti cafe, aku turun dari motor lantas memandang sekitar pengunjung berharap menemukan dirinya di sekumpulan orang orang itu, dan benar saja, aku melihatnya duduk di pojok kiri sendiri sedang melambaikan tangan, aku langsung menghampirinya 

"gimana perjalanan kesini,?aman? " tanyanya saat aku sudah di posisi duduk berhadapan dengannya 

"hatiku yang tak aman" jawabku seenaknya 

ia tersenyum kecil,ia tak pernah tersenyum baru kali ini aku melihatnya 

" oh ya, mau pesan apa?"

"aku kesini bukan untuk makan, mau ketemu kamu, minta penjelasan" jawabku menegaskan

"baiklah mau mulai dari mana?"

"awal sampai akhir"

"baiklah selama ini aku menghilang karena kerja, aku kerja untuk menghidupi tubuhku, kamu mau nanya aku kerja apa kan?"

 

dia memotong pertanyaan ku, dan malam ini ada yang berbeda dari penampilannya yang luput aku perhatikan, wanita itu hanya menggunakan rok sampai lutut, dengan atasan baju tanpa lengan,

"kamu kaget melihat penampilanku??" tanyanya sinis

dia tertawa lagi, tapi itu bukan tawa bahagia, ada genangan dalam pelopak matanya yang di tahan untuk tumpah 

"ini sisi gelap dari diriku, dan malam ini kamu harus tau semuanya, agar kamu tidak punya alasan lagi untuk mencariku"

satu bulir air matanya pecah,

aku mengangkat satu tanganku ingin menghapus, dia menolak, menggeleng.

"apa kamu ingat dengan pertanyaan ku tentang iblis bagaimana dia ditakdirkan menjadi jahat?"

aku mengangguk

"akulah iblis itu, aku bukan malaikatmu seperti yang kamu bayangkan" ucapnya serak

"sudah sejak lama semenjak pertemuan itu, aku takut kita terlalu dekat sebab kalau kita terlalu dekat kita akan semakin dalam, tetapi kamu tidak pernah mau mengerti dengan simbol yang aku berikan , semakin aku mencoba menjauh kamu melakukan ribuan cara untuk mendekatiku, dan layaknya wanita wanita yang lain , aku luluh dengan segala perhatian yang kamu berikan"

 dia menahan nafas, kini tangisnya benar benar tumpah tak tertahan lagi

"aku merasa di istimewakan , aku merasa di akui, kamu datang keduniaku membawa pesan damai, membawa berita kebahagiaan, bahwa cinta adalah satu satunya sesuatu yang membuat kita hidup, dan aku akui itu, namun dalam malam malamku bayanganmu datang menusukku, kenyataan diriku yang sebenarnya pasti tak akan kamu terima, hidup kita begitu jauh berbeda" ucapnya dia menahan sengguk

tak ada sepatah kata yang mampu keluar, aku bukan baru saja kesini, aku paham ini tempat apa, dan melihat pakaian yang dia gunakan dan dan kalimat yang dia utarakan sudah cukup membuatnya semakin jelas

"aku wanita malam!! baru kali ini aku menyesali pekerjaan ku, kamu hadir seperti cahaya dari timur lalu tenggelam dari barat, memberikan kehangatan dan cahaya, lalu di malam hari aku sadar bahwa aku membutuhkan cahaya itu lagi"

 

para pengunjung hilir mudik berganti, tak ada yang memperhatikan semua orang sibuk dengsn kesenangan sendiri, dengan secangkir minuman beralkohol di atas meja

"aku pelacur!! kehormatan yang kamu bayangkan dari ku sudah tidak ada, lantas sekarang apakah kamu tidak menyesal merindukanku?"

mulutku kelu membisu, ego dan cinta merebut hatiku, entahlah mataku gelap, belum sanggup mengetahui kenyataan ini,

"dan lihatlah, malam ini aku sudah tidak bisa membohongi semuanya, aku tak bisa membohongi perasaanku, aku teramat mencintaimu"

 seorang laki laki berbadan kekar datang menghampiri , berdiri di belakang wanita itu

"mbak, pelanggan sudah datang dia menunggu di kamar" kata laki laki berbabdan kekar itu

wanita itu mengambil tisu, membersihkan sisa sisa air matanya yang hampir mengering

"baik, saya akan segera kesana" ucap wanita itu baru laki laki itu pergi meninggalkan kita berdua

"aku pergi dulu ya,  lupakan semuanya, tidak ada yang menarik dari diriku dan kapan kapan tertawakan rindu itu"

dia berdiri lalu berjalan melangkah ke belakang meninggalkanku sendirian hingga tubuhnya hilang di telan pintu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun