"Felix? Lesu amat? Motorlu ditarik debt collector?" Kusepak kakinya.
Felix hanya melirik sekilas. Tiba-tiba ia bangkit dan menyalamiku. "Selamat, selamat! Kau memang lebih cocok dengan Diah. Biarlah, walaupun sakit tapi aku ikhlas kalau kau yang mendapatkan Diah."
"Gua nggak ngerti."
" Semalaman aku nggak bisa tidur. Napasku sesak, dadaku berdentum-dentum. Coba, apa kekuranganku? Aku sudah mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen. Tapi Diah menganggapku hanya sebagai sahabat."
"Mak-sud ... lu?"
"Ya. Diah menolakku." Berat sekali Felix mengucapkan itu.
"Sama."
"Sama apanya?" Felix heran.
"Aku juga. Aku juga hanya dianggap sebagai teman. Aku ditolak."
"Kau?"
Aku mengangguk.