"Kamu nggak lagi becanda, kan?" tanya Diah.
"Aku serius," jawabku yakin.
***
Di kantor kulihat seperti tak ada perubahan apa-apa. Diah masih menikmati pekerjaannya, masih sering tersenyum menyapa rekan-rekan, termasuk kepada diriku. Aku yang menjadi salah tingkah, tak bisa fokus dengan pekerjaanku. Untunglah selama itu Felix jarang nongol ke ruanganku. Kalau tidak, tentu ia akan tahu perubahan yang aneh pada diriku.
Aku gelisah. Diah sendiri langsung mengalihkan pembicaraan ketika kusinggung apa jawabannya.
Dan malam itu kurasakan seperti ada ledakan. Ada pesan we-a masuk dari Diah. Aku langsung panas-dingin, sesak napas, dan ruh-ku serasa lepas dari tubuhku. Inti pesan itu: Kita berteman saja, ya?
Hingga pagi aku tak dapat tidur. Puntung rokok berserakan. Kopi sudah gelas yang kelima. Kuharap Diah salah kirim, atau keliru menulis. Bolak-balik aku buka hp kalimat itu tetap tak berubah.
Dulu aku sering menertawakan kawan-kawanku yang patah hati. Kalau mereka tahu keadaanku sekarang mungkin mereka akan mengatakan, "Rasain!"
***
Sampai sore aku merasa tubuhku meriang. Pagi tadi tak sarapan, hanya segelas kopi. Itu pun tak kuhabiskan. Rokok lagi. Berdiri lagi. Duduk lagi. Membuka hape, berharap ada keajaiban. Meriang lagi.
Aku pergi ke gardu ronda Gang Sapi, melepaskan kesuntukan. Di gardu ronda kulihat seseorang berbaring lesu di lantai keramik. Kakinya menjuntai. Felix?