Dalam minggu-minggu ini kepalaku dipenuhi tiga hal. Pertama, Diah. Kedua, Diah. Ketiga, aduh, Diah lagi. Sebenarnya, kalau aku sebut "minggu-minggu", itu ada pemalsuan sejarah. Yang sebenarnya terjadi, sudah lebih dari setengah tahun.
Siapa Diah? Dia kawan sekantorku dan satu divisi denganku, yang tentu saja kami selalu berada di ruangan yang sama.
Kenapa Diah? Kalau aku ceritakan sebenarnya mungkin sedikit lebay, karena ini menyangkut perasaan. Bicara perasaan, sori, aku bukan penyair. Jadi, aku tidak tahu metafora atau ungkapan apa yang pas untuk menggambarkan sosok Diah.
Baiklah, kukutip saja apa yang dibicarakan teman-teman kantorku.
Budi Susilo: "Diah anaknya ramah, supel kepada siapa saja, hingga banyak yang senang menjadi temannya."
Tonny Syiariel: "Cantik."
Rudy Gunawan: "Kayaknya dia belum pacar."
Nah, ucapan Rudy ini aku beri huruf tebal. Kalau saja, kalau saja ...! Aku mulai menghayal. Kesempatanku lebih terbuka, karena Diah satu ruangan denganku, yang memudahkanku mendekatinya lebih jauh. Tapi Diah selalu ramah kepada setiap orang, jadi sulit menduga-duga hatinya.
Hal lain -- ini hal yang keempat -- yang luput aku ceritakan adalah tentang sosok satu ini. Dengan penuh rasa jengkel aku harus menuliskan: Felix!
Ngapain makhluk satu ini ikut-ikutan lirak-lirik kepada Diah. Dia kan lain ruangan? Kenapa tiap sebentar ke ruangan kami? Ada saja yang diomongkannya, tapi matanya selalu menuju ke arah meja Diah.