"Heh, ini soal cewek, Bro. Soal asmara. Apa hubungannya dengan Pancasila?"
"KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB!"
***
Ini tak dapat dibiarkan!
Ternyata Felix tak main-main. Aku harus lebih cepat daripada Felix dalam mendekati Diah. Berhari-hari aku memikirkan bagaimana cara yang pas mengutarakan isi hatiku. Menyatakan secara langsung? Tapi di mana? Di kantor, di rumahnya? Atau ...? Hatiku semakin tak karuan.
Akhirnya dalam suatu kesempatan aku menelpon Diah. Kurasakan jantungku berdetak lebih kencang. Gugup, cemas, kalimat berputar-putar.
"Heh, hampir sepuluh menit ngomong, udah tiga kali kamu menanyakan kabarku, dua kali aku ditanya sedang apa, empat kali aku sedang sibuk apa nggak. Kamu nggak sedang mensurvei orang, kan?" Diah bercanda, tapi malah membuatku makin keluar keringat dingin.
Bisul itu pecah juga, akhirnya.
"Aku, aku ... mm, Diah ... aku sudah lama suka dengan kamu. Kamu mau nggak ... jadi, jadi pacarku."
Diam sebentar, lalu terdengar tawa Diah. Tubuhku limbung. Tapi lega.
Diam lagi.